Work Text:
Rey mungkin bukan orang yang tertarik dengan komitmen, namun ia cukup pengertian untuk menjaga kesepakatan jangka pendek yang mungkin diajukan oleh sosok yang ia inginkan untuk menghangatkan ranjangnya. Dan Jonathan adalah satu dari sekian kesepakatan itu.
Mereka berdua sama-sama tak mencari pasangan untuk komitmen jangka panjang, namun sepakat untuk terbuka satu sama lain bila ingin berganti partner. Mungkin bisa dibilang semacam “open relationship”.
Jo adalah sosok yang cukup menyenangkan dan mungkin salah satu yang Rey ingin jaga hubungan baiknya. Cowok itu supel, ramah, dan a truly gentleman. Jadi, walaupun tak ada yang serius di antara mereka, Rey cukup menikmati waktu yang ia habiskan bersama Jo.
The sex is great and the company is even greater.
Begitulah alasan Rey memutuskan untuk “memelihara” hubungan mereka. Dan sesungguhnya segalanya baik-baik saja. Ia sama sekali tak punya masalah dengan hubungan yang mereka jalani. Bahkan merasa sudah satu frekuensi dengan teman satu tongkrongan Jo. Hingga suatu ketika, satu nama itu muncul.
“Rey, kenalin, ini Geo. Temen aku waktu di Amrik,” Jo memperkenalkan sosok yang terlihat sedikit lebih pendek dan lebih muda darinya itu dengan bangga.
Kesan pertama Rey saat bertemu Geo? Aneh.
Cowok baby face itu super duper aneh karena saat Jo sudah begitu antusias memperkenalkan mereka, ia hanya mematung, menatap Rey dengan mata melebar sepersekian detik, sebelum akhirnya kembali melempar tatapan tak acuh.
Mereka bersalaman untuk pertama kalinya dan entah mengapa Rey merasa Geo sama sekali tak berusaha terlihat ramah kepadanya. Sikapnya tenang dan cenderung dingin, tak menunjukkan emosi yang berarti. Satu-satunya reaksi yang bisa Rey tangkap mungkin hanya ujung telinganya yang memerah, sedangkan air mukanya sepenuhnya datar.
Rey merasa terusik dengan sikap itu karena sejujurnya hampir semua teman Jo selalu menyapanya dengan ramah. Saat melihat Rey, mereka biasanya langsung banyak ingin tahu tentangnya. Minimal basa-basi agar tak terlihat ketus. Rey sudah sangat terbiasa dengan segala perhatian orang dan antusiasme mereka terhadapnya. Tapi Geo sama sekali tidak menunjukkan antusiasme itu. Bahkan, segera setelah diperkenalkan dan Jo melepaskan rangkulannya, Geo bergerak menuju sofa table dan memilih tempat paling ujung, secara non-verbal seolah menolak berinteraksi dengan Rey dalam bentuk apapun.
Jo tampak biasa saja dengan reaksi itu, tapi Rey sungguh merasa terganggu. Belum lagi cowok itu selalu menatapnya tajam setiap Rey sibuk bergerak lincah di dance floor atau saat Jo dengan sengaja merangkul pinggang mungilnya dan menciumi wajahnya di depan teman-temannya.
Geo sama sekali tak berusaha menyembunyikan ketidaksukaannya dan itu membuat Rey bertanya-tanya. Salah apa sebenarnya dirinya?
Ditambah lagi, entah hanya perasaannya saja atau memang benar itu yang terjadi, sejak Geo hadir di antara mereka, Jo semakin jarang menyentuhnya. Pacarnya itu selalu punya alasan agar tak perlu menginap di tempat Rey atau menolak saat Rey menawarkan menghabiskan malam di tempatnya. Sentuhan kecil dan kecupan yang biasa Jo berikan di depan umum juga semakin berkurang, membuat Rey merasa semakin terusik.
Tak hanya itu, Jo juga kadang tampak sengaja meninggalkan Rey di tangan Geo. Misalnya, tiba-tiba saja Jo membatalkan janji nonton padahal Rey sudah memegang tiket dan menunggunya di bioskop. Kesal? Jangan ditanya. Ditambah lagi, pada akhirnya Jo mengim Geo begitu saja untuk menggantikannya. Tak merasa perlu bertanya apakah Rey keberatan atau tidak.
Geo pun tampak tak kalah terkejutnya saat mendapati Rey berdiri muram di depan pintu studio, seolah ia sendiri tak tahu bahwa partner nontonya hari itu adalah Rey. Tapi Geo si pelit omong memang tak pernah protes atau berkata apa. Ia hanya memasuki studio bersama Rey, duduk di sampingnya, dan menonton dalam diam.
Aneh? Aneh lah.
Sejak saat itu, Geo bahkan semakin sering muncul dalam hari-hari Rey dan Jo semakin sulit ditemui. Saat belanja bulanan? Geo yang muncul di depan pintu apartemennya. Janji nonton teater? Geo yang muncul di lobby apartemen Rey dengan mobil sportnya.
Dan rutinitas mereka pun sama. Rey akan mengerenyitkan dahi dan menatap Geo bingung, sementara cowok berkulit putih (agak terlalu putih bagi Rey) itu hanya akan menunjukkan room chat-nya dengan Jo yang kurang lebih berisi “Tolong temenin Rey ya, Ge” diikuti beragam alasan mengapa ia mendadak tak bisa datang. Rey jadi bingung sendiri kenapa Jo tak mengabarinya sendiri saja dan malah mengirim makhluk yang jelas-jelas tak senang menghabiskan waktu dengannya ini.
Pernah satu waktu Rey bertanya kenapa Jo jadi senang membatalkan janji dan malah mengirim Geo alih-alih mengabarinya. Saat itu Jo dengan santainya menjawab, “Last minute soalnya, Rey. Aku nggak enak batalinnya.”
Jawaban yang membuat Rey semakin kesal karena apa yang sebenarnya membuat Jo berpikir dirinya akan lebih senang menghabiskan waktu bersama Geo daripada batal pergi dan tak melakukan apapun di rumah?
Kira-kira setelah satu bulan dinamika mereka berjalan seperti itu, Rey mulai tak tahan. Bukan apa-apa. Keberadaan Geo membuatnya terlalu bingung karena meski tak protes, cowok itu juga hampir tak pernah menginisiasi percakapan. Rey jadi tak bisa membaca sebenarnya cowok itu keberatan atau tidak menemaninya sebab mukanya selalu lempeng saja seperti jalanan tol Trans Jawa.
Tapi begitulah. Rey yang enggan mengomunikasikan keberatannya kepada Jo pada akhirnya hanya menerima saja kehadiran Geo dalam hari-harinya. Toh dibandingkan Jo, Geo tampak lebih menikmati destinasi yang Rey pilih. Saat mereka menghabiskan waktu di Kota Tua misalnya, walau tak banyak bicara, Rey bisa melihat mata Geo berpendar antusias saat mereka berkunjung ke Museum Seni Rupa. Cowok itu membaca keterangan demi keterangan di setiap lukisan dengan mata membulat kekanakan.
Rey diam-diam tersenyum memperhatikannya. Dalam kepala ia mencatat jenis hiburan apa yang mungkin mereka berdua sama-sama sukai. Dan benar saja. Rey akan menemukan reaksi serupa saat mengajak Geo ke pameran lukisan, pertunjukan orchestra, hingga pameran barang antik yang rutin Cikal bagikan padanya dan biasanya enggan ia kunjungi.
Saat ke pameran barang antik itulah Rey jadi tahu Geo tampaknya menyukai vinil. Si mungil sempat kehilangan manusia es itu saat sedang asyik bercakap dengan Kunto, sahabatnya yang menyelenggarakan pameran itu. Namun akhirnya menemukan Geo menjulang dan bersinar di depan salah satu stand, tampak sedang manyun dengan kening mengkerut bingung, menatap kedua vinil yang ada di tangannya. Ia tampak sedang menimbang mana yang sebaiknya ia beli dan Rey harus terkekeh ringan sebab akhirnya, untuk pertama kalinya, cowok itu ingin membeli sesuatu untuk dirinya sendiri saat mereka menghabiskan waktu bersama.
Pada akhirnya Geo membeli dua-duanya. Jadi sesungguhnya sekian waktu yang ia habiskan untuk berdiri dan bingung sendiri itu sia-sia. Namun Rey tak berkomentar. Ia memilih untuk pura-pura tak memperhatikan kelakuan aneh manusia itu, namun tanpa sadar kembali mencatat apa yang membuat Geo tersenyum kecil dan memasang ekspresi lain di wajahnya, selain muka datar bengong andalannya.
Dengan dinamika dan kebiasaan yang mulai terbentuk lebih dari dua bulan seperti itu, Rey tak lagi terkejut saat pada suatu ketika Jo akhirnya mengajaknya bertemu dan berkata…
“Kayanya kita sampe sini aja deh, Rey,” ucap Jo setelah mereka tak bertemu hampir satu purnama penuh dan komunikasi yang timbul tenggelam dua minggu terakhir.
Rey mengangkat sebelah alisnya, kemudian berkata sinis, “Kirain kamu nggak akan ngomongin ini dan ghosting aku gitu aja.”
Jo terkekeh ringan, namun jelas dari sepasang matanya memancarkan rasa bersalah, “Sorry. Sorry banget. Belakangan aku harus fokus urus bisnis keluarga. Bakal pulang pergi Chicago-Indo, dan mungkin tahun depan aku bakal full di sana. Dan ngeliat hubungan kita makin nggak jelas gini, kayaknya mending kita udahin aja.”
Rey mendengus sambil melipat tangan di dada, “Karena itu kamu lempar aku ke Geo?”
Sesungguhnya Rey menunggu Jo akan tertawa atau mengeluarkan guyonan lain, namun cowok itu malah tersenyum lembut dan berkata, “He is a good guy, isn’t he?”
Jujur Rey bingung harus menanggapi apa, maka ia hanya mengedikkan bahu tak acuh, “Manalah kutahu. Ngomong aja jarang.”
Jo tertawa kecil menanggapinya, “Tapi serius sih, Rey. Dia temen aku yang paling bisa aku percaya selama ini. Tapi aku nggak tau juga apakah kamu bakal cocok sama dia.”
“Kenapa tuh? Dia nggak suka cowok?”
“He is a bi. Tapi kurasa soal relasi, dia termasuk yang tradisional banget, Rey.”
Tradisional? Tampilan seperti Geo? Yang benar saja! Rey yakin cowok itu bisa membawa laki-laki atau perempuan mana saja yang ia mau hanya dengan sekali tunjuk. Sayang sekali kalau dengan wajah setampan dan tubuh seindah itu Geo memutuskan untuk menjadi seorang monogami sejati.
Wait.. apakah Rey baru saja memuji paras dan perawakan Geo?
Tapi ya… kalau bukan karena sikapnya yang sedingin es, omongnya yang irit, atau tatapannya yang creepy parah sih sebenarnya Geo masuk kategori cowok tipe Rey banget. Ganteng, tinggi, atletis, mapan, dan yang terpenting, wangi!
Sayang cowok semenarik itu sikapnya terlalu abu-abu.
“Meh, not for me, then,” Rey berkata tak acuh kemudian sambil menyesap minumannya.
Jo hanya tersenyum, kemudian mengacak pelan rambut Rey sambil berkata, “Take care, Rey.”
Sebelum berlalu, Jo kembali memastikan, “Are we cool?”
Rey hanya tersenyum miring sebelum mengangguk santai, “Yeah, we are cool.”
Jadi begitulah bagaimana kesepakatan Rey dan Jo berakhir. No hard feelings. Dan Rey kembali menjadi merpati lepas. Apakah dia lebih bahagia begitu? Tidak juga. Karena meski enggan berkomitmen serius, Rey juga bukan tipe yang mudah tidur dengan sembarang orang. Jadilah kebutuhan biologisnya tak terpenuhi dan si mungil jadi sering rungsing sendiri.
“Butuh ngewe sih lu,” kata Cikal asal saat mereka selesai meeting dan Rey terlihat sangat suntuk dan frurstrasi.
“Mulut lu anjing banget sumpah,” Rey berkata sewot sambil meletakkan barang-barangnya di meja, “Babi emang si Jo minggat gitu aja nggak pake one month notice.”
Seketika Cikal terbahak mendengarnya, “Woy lah! Partner ngewita udah macem budak korporat aja pake one month notice!”
“Ya kan gua bisa cari cadangan dulu gitu. Ini begimana coba sekarang kalau begini. Mana bisa gua cari partner sembarangan kalau belum background check segala macem.”
“Ribet lu ah!”
“Better safe than sorry, ye.”
Malam itu Rey dan Cikal memutuskan untuk nongkrong di bar langganan mereka selepas ngantor. Weekend dan suntuk memang sudah seharusnya dihapus dengan seteguk dua teguk alkohol. Hanya saja malam ini suasanya lebih ramai dari biasa. Rey yang sudah suntuk jadi semakin suntuk. Sampai akhirnya mereka dapat tempat di salah satu sisi meja bar. Bukan posisi yang nyaman, tapi ya sudah.
Jelang tengah malam, Cikal pamit duluan karena katanya harus bersih-bersih rumah. Ibunya mau datang besok. Rey yang tak bisa menahannya pun hanya memutar bola mata dan membiarkan Cikal pergi. Tinggal lah dia sendiri, setengah mabuk, di tengah lautan manusia asing yang tak ia kenali. Beberapa lelaki mencoba menawarkan membelikannya minum, namun Rey menolak halus.
Semua baik-baik saja, sampai akhirnya ada satu lelaki tambun yang mungkin beberapa tahun lebih tua darinya sedikit memaksa untuk menghabiskan waktu dengan Rey. Si mungil berkali-kali menolak halus, namun lelaki asing itu masih bersikeras. Dan saat makhluk menjijikan itu mulai berani menyentuh pahanya, Rey membeku. Mukanya seketika merah padam. Namun baru saja ia hendak mengamuk, tangan itu sudah ditarik cepat.
Rey menoleh, lelaki tambun itu tampak membelalakkan matanya menatap entah siapa yang berdiri di sisi lain Rey. Saat itulah Rey menyadari ada orang lain berdiri di sana, yang jauh lebih tinggi dari mereka berdua.
Geo.
Cowok itu berdiri bersandar di meja bar dengan tubuh menghadap Rey. Tatapannya datar dan tajam, memandang sosok tambun yang kini mengangkat kedua tangan tanda menyerah sebelum ngacir begitu saja. Tingkah ketakutan manusia itu membuat Rey mendengus sebelum melirik Geo yang kini berdiri besandar di meja bar sepenuhnya sambil melipat tangan di dada dan mengedarkan pandangannya ke sekitar.
Untuk alasan yang Rey tak ketahui, Geo terlihat kesal sendiri. Cowok itu memang sering terlihat seram kalau sedang diam, namun kali ini Rey bisa menangkap kilat amarah dalam matanya yang berusaha keras ia hapuskan. Melihat tangannya yang berulang kali menggenggam dan terbuka, Rey jadi bertanya-tanya apakah Geo sempat berniat ingin memukul laki-laki tadi?
Si mungil memilih tak berkomentar. Membiarkan Geo yang sepertinya sedang sibuk dengan isi kepalanya sendiri. Pada akhirnya Rey memutuskan untuk memandangi Geo dari ujung kepala ke kaki. Ia tampak menawan seperti biasa. Dengan jaket kulit dan celana jins hitam yang membuatnya terlihat seperti bodyguard di film action.
“Stalking gue lu, ya?” Rey menuduh setengah bercanda kemudian.
Yang tak diduganya adalah bagaimana ekspresi Geo berubah seketika setelahnya. Cowok itu mendengus geli sambil tetap mengedarkan pandangannya keliling bar. Tumbenan Geo tidak terlihat sekaku biasanya?
“Gue ama Jo udah kelar. Lo udah nggak perlu nemenin gue ke sana ke mari,” ujar Rey kemudian sambil menopang kepalanya dengan sebelah tangan. “Lu cakep tauk kalo nggak pasang muka kebelet berak kayak biasa.”
Rey pasti mabuk. Dia pasti mabuk berat. Soalnya mana berani dia berucap seperti itu dalam keadaan sober?
Dan Rey semakin yakin dirinya memang sedang mabuk saat melihat Geo terkekeh ringan. Cowok itu kemudian tersenyum miring sebelum menoleh ke Rey. Saat itulah untuk pertama kalinya Rey menjadari Geo punya lesung pipi yang cukup dalam di kedua pipinya.
Rey mabuk. Dia pasti sangat mabuk.
Sebab ternyata senyuman itu mampu menghidupkan ribuan kupu-kupu yang mendadak berterbangan brutal dalam perutnya. Si mungil kini termangu menatap sosok menawan di hadapannya. Mereka bertatapan seperti itu untuk beberapa saat dan Rey bisa merasakan wajahnya memerah panas sebelum akhirnya cegukan keluar dari mulutnya. Yang tak disangkanya membuat Geo tersenyum semakin lebar.
“Balik aja, ya? Aku anter,” kata Geo kemudian dan mengambil tas Rey tanpa banyak bicara. Si mungil masih bengong, namun tak menolak saat tangan hangat Geo menyentuh pundaknya sebelum bergerak pelan menuju pinggang saat memapahnya berjalan.
Rey sepenuhnya mematung. Ia bingung memproses semua yang terjadi.
Mungkin karena lama tak disentuh, mungkin karena ia begitu kesepian malam ini, atau mungkin karena sentuhan Geo memang semenyenangkan itu, Rey bisa merasakan dadanya lebih ringan dari sebelumnya saat tubuh mereka menempel seperti itu. Rey bahkan mengerang kesal saat Geo melepaskan tubuhnya setelah membantunya duduk di kursi penumpang.
Geo lagi-lagi tersenyum sambil memasangkan seat belt dan meletakkan tas Rey di pangkuannya. Cowok itu banyak tersenyum hari ini dan Rey tak merasa itu bagus untuk jantungnya.
Sepanjang perjalanan menuju apartemen, si mungil cuma diam sambil memandangi ke luar jendela. Ia merasa ada yang tidak beres. Ini bukan kali pertama mereka menghabiskan waktu berdua saja di dalam ruang sempit yang bergerak ini, namun kali ini Rey merasa seluruh tubuhnya panas dan dadanya sesak.
Mabuk. Pasti karena mabuk.
Saat sampai di apartemen pun, Rey berusaha untuk menolak tawaran Geo mengantarnya ke atas. Namun setelah satu dua langkah ia sempoyongan sampai hampir jatuh karena kakinya mendadak terasa seperti agar-agar, Geo akhirnya sedikit memaksa untuk mengantarnya tanpa banyak bicara.
Rey mengutuk dalam hati. Kenapa pula ia tiba-tiba saja lemah lunglai tak berdaya seperti ini? Padahal Geo tak melakukan apa-apa. Sesimpel ada di sana dan memapahnya menuju unit apartemennya. Namun Rey tak bisa mengabaikan tangan besar yang menggenggam lembut pinggang mungilnya saat ini. Si mungil meneguk ludah. Ah, ini benar-benar gawat.
Pertunjukan kebodohan Rey bahkan tak berhenti sampai di sana. Di depan pintu, dengan tangan bergetar hebat, Rey berkali-kali gagal memasukkan kunci. Di belakangnya, Geo menunggu dengan sabar. Sampai akhirnya si mungil bisa merasakan panas tubuh lelaki itu mendekat, mengurung tubuhnya di antara dada bidang Geo dan pintu.
Tangan Geo yang lebih besar dari miliknya itu pun meraih lembut kunci dari tangan mungilnya yang masih bergetar. Seketika napas Rey terasa seperti sepenuhnya meninggalkan tubuhnya. Si mungil merasa seperti terjatuh hingga menabrak dada Geo. Rey menutup mata erat-erat sambil menggumamkan “shit” pelan. Malu sekali rasanya.
Lelaki yang lebih tua darinya itu kemudian dengan tenang memasukkan kunci ke lubangnya dan memutarnya. Rey menggigit bibir. Pemandangan itu tak seharunya terlihat sensual. Geo cuma memasukkan kunci dan memutarnya dengan kasual. Namun pikiran Rey yang diselimuti kabut tebal membuatnya terbang ke sana ke mari, memikirkan apa lagi kira-kira yang bisa tangan itu lakukan.
Menyadari posisinya, Rey cepat-cepat memisahkan tubuhnya dari Geo dan berbalik badan. Jadilah mereka kini berhadapan. Si mungil berdiri di antara Geo yang tinggi menjulang di hapadannya dan pintu yang masih tertutup rapat di belakangnya. Jantung Rey seketika berdetak lebih cepat. Ia bertaruh mukanya pasti merah padam terlihat seperti orang bodoh.
Ditatapnya mata dan bibir Geo bergantian sebab sungguh, sungguh ia ingin mencicipinya sekarang. Beberapa kali Rey meneguk ludah dan Geo tak juga beranjak. Membuat tensi dan panas di antara mereka semakin meninggi dan otak berkabut Rey semakin menggelap. Si mungil kini merasa dirinya lebih mabuk dari seharusnya.
Rey berani bertaruh dirinya yang sepenuhnya sadar besok akan merutuki dirinya yang setengah mabuk malam ini. Tapi otak si mungil saat ini benar-benar tak bisa berpikir jernih. Tubuhnya penuh dengan ingin. Kepalanya penuh dengan hasrat. Dan penciumannya penuh dengan aroma tubuh Geo yang memabukkan. Maka tanpa berpikir, Rey berjinjit mendekatkan wajah mereka.
Satu inchi lagi, tinggal satu inchi lagi bibir mereka akan bertemu. Namun dua tangan besar yang menggenggam pinggangnya menarik tubuh mungil Rey kembali ke arah bumi.
Seketika Rey terkesiap, mabuknya lenyap sudah. Matanya kini membelalak memandang sepasang manik yang menatapnya lembut itu dengan tatapan penuh tanya. Apakah Geo baru saja menolaknya?
Senyuman lelaki itu membuat Rey bingung. Geo sama sekali tak terlihat tidak menikmati kedekatan fisik mereka. Rey tidak bodoh. Ia juga bisa menangkap tatapan ingin lelaki di hapadannya itu. Tapi kenapa Geo menolaknya? Jujur harga dirinya terasa sedikit terluka dan tanpa sadar erangan kesal keluar dari bibir mungilnya.
Seperti ingin menghapus salah paham dalam kepala kecil Rey, Geo kemudian menunduk dan berbisik parau, “Ask me again when you’re sober.”
Setelahnya Geo menjauhkan wajahnya dan menyetil lembut hidung Rey dengan telunjuknya. Cowok itu tesenyum jahil, mengusak lembut rambut Rey dan berlalu. Meninggalkan si mungil yang masih tercengang di ambang pintu.
Hah?
Butuh waktu beberapa saat untuk Rey mengumpulkan sisa-sisa kewarasannya. Apakah lelaki barusan benar-benar Geo? Bukankah dia lelaki yang sama dengan yang cuek dan ketus padanya sebulan terakhir? Kenapa pula tiba-tiba sikapnya berubah 180 derajat?
Jujur Rey tak menyangka Geo punya sisi playful seperti itu. Sebab sikapnya yang selalu membangun jarak, namun tak menolak menghabiskan waktu bersama selalu membuat Rey tak mengerti di mana kaki Geo sebenarnya berpijak. Jadi, meskipun menikmati waktu yang mereka habiskan bersama, dalam kepala Rey selalu membuat catatan bahwa Geo mungkin setengah terpaksa meluangkan waktu untuknya.
Malam itu, sebelum tidur, Rey merasakan tubuhnya meremang saat mengingat tiap jengkal tubuhnya yang Geo sentuh. Dan sebelum benar-benar terlelap, kepalanya berulang kali memutar kalimat itu. Kalimat yang diucapkan dengan suara dalam dan nada penuh damba, “Ask me again when you’re sober.”
Oh tentu Rey akan melakukannya.
Rey tidak akan menyia-nyiakan pintu yang telah terbuka.
Akan ia pastikan kali ini Geo tidak akan bisa menolaknya.
Sejak malam itu, dinamika keduanya sepenuhnya berubah.
Untuk satu dan dua alasan, Rey menikmati permainan mereka. Si mungil mencari-cari alasan agar Geo mau menghabiskan waktu dengannya. Dan tak peduli seremeh apapun itu, bahkan untuk sekadar membeli es krim dan ngobrol di parkiran (Rey yang banyak ngomong, Geo cuma mendengarkan sambil sesekali tersenyum), Geo menyanggupi.
Hal yang membuat Rey sedikit gemas mungkin karena Geo tak pernah menjadi pihak yang menginisasi. Cowok itu tak menolak. Bahkan saat Rey iseng memanggilnya di jam-jam tak masuk akal pun, Geo tetap datang. Tapi cowok itu tak pernah jadi pihak yang mengajak duluan.
Beberapa kali Rey dengan sengaja menciptakan suasana intim. Seperti saat satu malam ia mengundang Geo untuk nonton Netflix di apartemennya berdua saja. Rey sudah sangat siap bila sesuatu terjadi malam itu, namun Geo malah kembali ke pribadi lempengnya.
Saat Rey iseng menyandarkan kepala di pundaknya pun Geo tak menolak atau bereaksi, hanya melingkarkan tangannya dan merangkul Rey dalam diam. Hanya itu. Segitu saja. Jadilah sepanjang film, Rey merengut sambil mengerutkan dahi karena bagaimana mungkin Geo tak berusaha melakukan apapun saat dirinya sudah jelas-jelas melemparkan diri padanya?
Bahkan satu bulan setelahnya pun, hubungan mereka bisa dikatakan platonik. Niat awal Rey yang ingin memanfaatkan Geo sekadar untuk menghangatkan ranjangnya pun sirna. Ia jadi lebih tau banyak dan mempelajari banyak hal tentang cowok itu. Bahkan kini ia mulai mengerti bahwa ketika ujung telinga Geo memerah, tandanya ia sedang menahan malu.
Memahami itu membuat Rey merasa hangat. Ia jadi sadar Geo sejak awal tak pernah membencinya. Belum terungkap mengapa Geo bersikap dingin dan memasang tembok tinggi pada awal perkenalan mereka, namun setidaknya kini Rey tau tak ada kebencian atau tensi negatif di sana.
Rey juga sekarang mengerti kalau Geo ternyata suka sekali dengan binatang. Cowok itu bersikap seperti bocah saat berhadapan dengan anjing dan kucing. Sangat bukan karakternya. Geo bahkan sangat menikmati jalan-jalan mereka ke Taman Safari.
Dengan perkembangan hubungan mereka yang seperti itu, Rey mulai berpikir mungkin memang ia cuma menginginkan Geo sebagai teman. Mungkin memang ia cuma butuh sosok untuk menemani hari-harinya. Tidak semua hal harus dikaitkan hasrat dan kebutuhan biologis, kan? Iya, kan?
Uh…. well… mungkin Rey harus menarik kata-katanya itu secepat setelah muncul ke permukaan karena saat Geo menarik kaosnya untuk mengelap keringat dan memamerkan otot perut yang terpahat sempurna itu, Rey jadi menelan ludah dan seketika teringat alasan ia memulai semua ini.
Ternyata hasratnya untuk Geo masih di sana dan hanya mati suri untuk sejenak.
Rey sedang duduk termenung di ruang tengah dan Geo sedang memasak di dapur. Hari ini untuk kesekian kalinya Geo menginap dan tidur (dalam artian sebenarnya) dengannya dan seperti biasa cowok itu menyiapkan sarapan. Perangainya seperti ia telah tinggal di sini lebih lama daripada si empunya rumah sebab sungguh, Rey bahkan tak tahu di mana ia menyimpan wajan dan peralatan memasak lainnya yang selalu Geo gunakan.
Rey mengerenyitkan dahi. Perasaannya saja atau tubuh Geo semakin terbentuk akhir-akhir ini?
“Malem ini kamu ke mana, Mas? Ada acara?” Rey akhirnya bertanya saat Geo menuang kopi untuknya, sebelum duduk di kursi di hadapannya. Jangan tanya sejak kapan Rey menggunakan panggilan itu untuk Geo. Ia juga tak ingat. Seingatnya, tiba-tiba saja suatu hari ia keceplosan memanggil Geo seperti itu dan karena menyukai reaksi telinga Geo yang memerah setelahnya, Rey jadi keterusan.
Geo menggeleng sambil menyendokkan salad ke piring Rey dan piringnya sendiri, “Kenapa?”
“Cikal ulang tahun. Mau rayain di bar biasa katanya. Mas mau ikut?”
Mendengar kata “bar” membuat Geo mendongak dan menatap Rey tajam. Malam di mana Geo menjemputnya saat itu adalah malam terakhir Rey mendatangi bar itu. Seperti aturan tak tertulis, Rey sendiri jadi menghindari mendatangi tempat itu. Kalau ingin minum, mereka memilih minum dengan tenang di apartemen Rey (kalau sedang ingin minum bir atau vodka) atau Geo (kalau sedang ingin minum wine).
“Oke,” Geo kemudian menyahut santai sebelum melahap saladnya dalam diam. Ia paling enggan diganggu kalau sedang makan jadi Rey hanya mengangguk dan menyusul menikmati sarapannya.
Malam ini, entah hanya perasaan Rey saja atau bagaimana, tapi Geo terasa lebih touchy dari biasanya. Selama ini, si mungil sudah sangat terbiasa menjadi pihak yang selalu menginisiasi skinship di antara mereka. Namun saat ini, sejak turun dari mobil, tak sekalipun tangan Geo meninggalkan pinggang mungilnya.
Rey memperkenalkan Geo kepada teman-temannya untuk pertama kalinya, termasuk Cikal. Dan sejak menyadari siapa Geo, sahabatnya itu tak henti-hentinya melempar tatapan menyelidik kepada Rey yang berusaha kerasa pura-pura tak menyadarinya. Namun tentu Rey tak akan bisa menghindari Cikal dan mulut anjingnya terlalu lama. Segera saat ia bisa sebentar lepas dari cengkraman Geo, Cikal langsung menyudutkannya.
“Gadun baru?” Cikal dan mulut tanpa filternya mulai beraksi.
“Mata lu gadun!” Rey berkata sewot sambil memukul lengan Cikal sebal, “Itu si Geo, temennya Jo.”
Cikal mengerenyit bingung, “Sejak kapan lu ngewein temen mantan lu?”
“Cikal gua potong lidah lu ye anjing, sumpah dah!” Rey berkata kesal sambil menempelkan gelas dinginnya ke mulut Cikal, “Siapa yang ngewe lagian. Temenan doang.”
“Hah?” Cikal tak bisa menyembunyikan keterkejutannya, “Boong lu!”
Rey menghela napas lelah. Betapa ia juga berharap dirinya cuma bohong. Tapi kenyataannya Geo memang belum menyentuhnya in that way sampai detik ini. Hubungan mereka tiga bulan ini sepenuhnya platonik dan meskipun Rey tak keberatan, jujur ia juga mulai tak mengerti apa yang sedang ia lakukan. Sebab ini untuk kali pertama ia dekat dengan seseorang dalam waktu lama namun bukan secara seksual (Cikal adalah pengecualian).
“Masa sekian lama kaga ada khilaf-khilafnya?”
Rey menggeleng lemah sambil memandang kecut segelas bir dingin di tangannya.
“Dia straight? Nggak mungkin ah,” Cikal berkata sambil melirik Geo yang duduk diam menopang kepalanya sambil menatap bosan orang-orang yang bercakap di sekitarnya. “Atau…. elu… finally PDKT beneran?”
Omongan Cikal seketika membuat Rey tersedak, “Mana ada!”
“Ya abis aneh banget lu mau melihara lakik lama tapi nggak ngapa-ngapain.”
“Ya emang nggak boleh gue punya temen? Nggak boleh gue punya temen jalan yang asyik?”
Lagi-lagi Cikal melemparkan tatapan aneh, seolah Rey baru saja mengatakan hal paling bodoh sedunia, “Nih ya, kalau modelan gue, Yoga, atau Nanta, lu jadiin temen jalan masih oke lah. Ini modelan Geo yang jelas-jelas tipe lu banget, yang bakal lu usahain gimana pun caranya bisa lu bawa ke kasur, cuma lu jadiin temen jalan? Either ada yang salah ama isi kepala lu atau dunia emang udah mau kiamat sih ini namanya, Rey.”
Rey meletakkan kembali bir yang baru ia minum seteguk itu ke meja terdekat. Tiba-tiba saja tak selera. Ya kalau dipikir-pikir omongan Cikal ada benarnya sih. Menjaga relasi platonik semacam ini memang bukan Rey banget. Tapi si mungil juga tak bisa berbohong, keberadaan Geo di sisinya membuatnya senang dan tenang. Ada sesuatu tentang cowok itu yang Rey tak bisa jelaskan. Ia belum bisa menamai perasaannya sendiri, namun ia tahu, kadang ada rasa takut apa yang telah ia bangun bersama Geo tiba-tiba lenyap begitu saja.
Jujur Rey belum pernah merasa seperti ini. Biasanya ia ikhlas saja bila hubungan yang telah terjalin selama apapun harus kandas, entah ia atau partnernya yang mengakhiri. Namun kali ini, dengan Geo, walaupun belum ada aktivitas intim yang pernah mereka lakukan, Rey bisa merasakan ia akan sangat sedih bila kehilangan apa yang mereka miliki sekarang.
“Lu jatuh cinta ya, Rey?” tebak Cikal setelah sahabatnya itu terlalu lama diam dan merenung sendiri, membuat Rey membelalakkan matanya seketika.
“Ngaco lu!”
“Ya abis apa coba alesan lu nge-keep dia? Coba, kasih gue alesan yang make sense!”
Rey tidak bisa. Tenggorokannya terasa kering dan ia tak berani menyebut apapun yang ia rasakan ini sebagai sesuatu. Bagaimana kalau tuduhan Cikal benar? Bagaimana kalau perasaannya ke Geo selama ini lebih dari sekadar nyaman? Bagaimana kalau ternyata ia tanpa sadar jatuh cinta, sedangkan ia sendiri tak tahu betul apa yang Geo rasakan? Bagaimana kalau ternyata Rey diam-diam ingin memiliki Geo sepenuhnya untuk dirinya sendiri? Tiba-tiba saja, di tengah keramaian dan irama musik yang memekakkan telinga ini, Rey bergelut dengan pikirannya sendiri.
Cikal menatapnya khawatir. Sahabatnya itu tampak menyesal karena tiba-tiba menembaknya dengan pertanyaan yang tak siap Rey hadapi. Padahal ia yang paling tahu bagaimana Rey selalu berusaha menghindari ikatan emosional. Jadi tentu saja, pertanyaan Cikal membuatnya ketakutan setengah mati.
“Ya sebatas dia menyenangkan aja sih. Nggak ada alesan lain,” Rey tahu Cikal bisa menangkap keraguan di sana, tapi hanya ini jawaban yang bisa ia beri. Sahabatnya itu tak berusaha menggali lebih jauh setelahnya. Mereka kembali ke sofa tanpa banyak bicara dan Rey segera mengambil tempat di samping Geo. Entah mengapa merasa butuh bersandar kepada lelaki yang otomatis melingkarkan tangannya ke pundaknya agar si mungil bisa duduk lebih nyaman menempel padanya itu.
Suasana kembali mencair saat Cikal dan Nanta mulai menceritakan kebodohan-kebodohan mereka saat zaman kuliah dan menyinggung aib Rey satu per satu. Tak terima, Rey ikut membalas sama serunya dan mengklarifikasi omongan Cikal yang menurutnya hanya bumbu. Sepanjang itu, dari sudut matanya Rey bisa menangkap betapa tak sekalipun tatapan Geo beralih darinya.
Seperti malam “itu”, cowok itu menatapnya sambil menopang kepala dan tersenyum, memamerkan lesung pipinya yang mempesona itu. Tatapan itu sesekali membuat Rey tercekat gugup di tengah kalimat, membuat Geo yang tampak menyadari pengaruhnya terkekeh ringan. Karena tak tahan, akhirnya si mungil menatap sewot Geo yang masih menatapnya sama. Sepasang mata itu seperti menantang, menunggu apa yang kira-kira akan si mungil lakukan untuk protes.
“Stop looking at me like that,” ucap Rey setengah berbisik saat perhatian para sahabatnya tidak tertuju padanya.
Geo tertawa kecil, Rey sangat suka bagaimana sudut matanya mengkerut cantik saat tertawa seperti itu, “Like what?”
Like you want to kiss me, “Kayak kamu nontonin badut atraksi.”
Geo masih tersenyum, tatapannya lalu bergerak dari mata Rey ke bibir mungilnya bergantian. Membuat tubuh Rey mendadak meremang dan napasnya memburu. Dan mengingat ia minum bir tak lebih dari seteguk, Rey sangat sangat sangat yakin ini bukan pengaruh alkohol dan dia tidak sedang mabuk. Dari sudut matanya yang lain, Rey tahu Cikal sedang mengamati mereka dan tensi yang mendadak naik di antara keduanya. Damn. Ia benci harus mengakui tuduhan Cikal bahwa ketertarikannya kepada Geo mungkin adalah sesuatu yang lebih dari yang pernah ia rasakan kepada partner-partnernya sebelumnya.
“Take me home,” ujar Rey kemudian setengah sadar dengan napas tercekat, sambil menatap mabuk bibir Geo. Saat tatapannya bertemu dengan mata lelaki itu, Geo tersenyum miring dan mengangguk.
Cikal tentu tak butuh mendengar alasan kenapa Rey pulang duluan. Sahabatnya itu memberinya tatapan paham, meski senyuman meledek yang berusaha keras ia tahan terlihat jelas.
Geo membawa Rey ke apartemennya malam ini. Ketika memasuki ruang tengah, tiba-tiba saja Rey merasakan gugup merambati tubuhnya. Ia kemudian cepat-cepat ngacir ke kamar mandi, mengunci pintu, dan menyalakan shower. Untuk sejenak dipandanginya pantulan dirinya di cermin. Mendadak ragu, mendadak tak cukup percaya diri, mendadak tak yakin apakah yang akan ia lakukan adalah hal yang benar.
Perlahan Rey melucuti bajunya sendiri. Memandangi tulang selangkanya yang menonjol, hingga lekuk tubuhnya yang kurus kecil namun tak pernah gagal membuat partner bercintanya menggila.
Lalu tiba-tiba ia tak yakin dirinya cukup menarik untuk Geo. Sungguh, Rey juga tak mengerti mengapa ia jadi se-insecure ini. Ini bukan kali pertama ia akan telanjang di hadapan pria. Ini bukan kali pertama ia akan membiarkan laki-laki menjamah tubuhnya. Geo bukan yang pertama untuknya namun entah mengapa, rasa gugup Rey saat ini mengalahkan yang ia rasakan saat pertama kali bercinta dengan sosok yang bahkan Rey tak terlalu ingat.
“Enggak. Ini bukan apa-apa,” bisik Rey pada dirinya sendiri. Mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini cuma satu malam seperti yang sudah-sudah. Toh kalau Geo tak cukup memuaskannya, Rey bisa begitu saja berhenti, kan? Dan walaupun Rey bisa mendengar suara mencemooh Cikal yang menuduhnya punya perasaan lebih kepada lelaki yang mungkin sedang menunggunya di luar itu, Rey berusaha mengabaikannya.
Geo cuma laki-laki biasa.
Rey akan bercinta dengannya seperti yang biasa ia lakukan dengan partner kasualnya.
Tidak akan ada apa-apa di antara mereka.
Setelah terdiam beberapa saat untuk menenangkan diri, Rey akhirnya membersihkan makeup dan membasuh tubuhnya. Walaupun sebagian besar produk peralatan mandinya tersedia di kamar mandi Geo, malam ini ia memilih memakai sabun yang biasa lelaki itu gunakan. Entahlah. Menurutnya Geo akan menyukai gestur seperti ini. Sebab meski tak pernah mengatakannya atau menunjukkannya secara terang-terangan, Rey seperti bisa menangkap bahwa sebenarnya Geo sangat teritorial.
Meski sudah cukup tenang, Rey tak bisa menahan tangannya yang bergetar saat membersihkan dan menyiapkan dirinya di bawah sana. Rasa gugupnya kembali, membuat setengah dirinya ingin kabur saja dari semua ini. Ah, kenapa pula ia sampai sebegininya hanya karena ingin menghabiskan malam dengan satu laki-laki, sih?
Setelah selesai menyiapkan diri dan mentalnya, Rey sebenarnya berencana keluar kamar mandi dengan mengenakan bathrobe yang tersedia di kamar mandi. Namun saat melihat beberapa potong kaos Geo yang terlipat di lemari kecil di sudut kamar mandi, Rey berubah pikiran. Diambilnya salah satu kaos putih polos yang mungkin berukuran tiga kali tubuhnya itu. Benar saja, panjang kaos itu mencapai atas lututnya dan kerahnya yang terlalu besar mengekspose tulang selangkanya yang menonjol.
Keisengannya bertambah saat melihat parfum Geo di jejeran alat mandinya. Disemprotkannya parfum yang Rey taksir harganya mungkin setengah gajinya itu ke beberapa titik. Seketika pipinya memanas karena sekarang ia benar-benar beraroma seperti Geo.
Rey lalu kembali menatap dirinya di cermin. Apakah ini cukup membuatnya terlihat seksi? Apakah ini akan membuat Geo tertarik menyentuhnya? Rey menghela napas. Ini adalah kali pertama ia berusaha sebegininya untuk laki-laki. Jika kali ini Geo menolaknya lagi, Rey mungkin akan menangis sampai pagi.
Sengaja tak mengenakan apapun di balik kaosnya, Rey kemudian melangkah keluar kamar mandi dengan langkah kecil. Di atas tempat tidur, di dalam kamar yang sedikit remang, ia bisa melihat Geo dengan rambut masih setengah basah duduk tenang bersandar di sandaran ranjang dengan tangan terlipat di dada. Sebagian tubuh bagian bawahnya tertutup selimut dan cowok itu sedang menonton televisi yang memutar film….. Titanic?
Saat merasakan kehadiran Rey di kamarnya, Geo menoleh dan tersenyum. Awalnya jenis senyuman menenangkan nan lembut, namun sepasang mata itu berubah gelap saat menyadari penampilan Rey. Geo masih tersenyum, namun sepasang mata tajamnya memandang Rey dari ujung kepala ke ujung kaki seolah sedang menelanjangi. Tubuh mungil Rey terasa sedikit bergetar dibuatnya. Seketika Rey ingin menampar dirinya sendiri karena bertingkah seperti anak perawan ketika ia sendiri jauh dari kata perawan.
Sambil menggigit bibir, seperti bocah yang takut dipukul karena melakukan kesalahan, Rey melangkah malu-malu menuju ranjang. Geo membentangkan tangannya, memberi isyarat agar Rey mendekat dan bersandar di dadanya seperti biasa.
Saat menempel di dada Geo itulah Rey akhirnya dapat menghela napas lega. Cemas yang sejak tadi dirasakannya akhirnya menguap begitu saja saat ia merasakan hangat tubuh Geo menyambutnya. Telapak tangan Geo yang dengan lembut mengusap pundaknya pun membuat Rey mengerang kecil dan semakin merapatkan tubuhnya ke Geo, menenggelamkan wajahnya di ceruk leher pria itu secara insting sebab ia merasa malu sekaligus gugup.
Untuk sejenak mereka terdiam seperti itu. Rey yang menenangkan diri sambil menyembunyikan wajahnya dan menghirup aroma segar tubuh Geo banyak-banyak, dan Geo yang mengusap punggung si mungil penuh sayang. Membuat Rey merasa mengantuk, namun mati-matian menahan diri karena ia tak mau malam ini gagal lagi. Dirasakannya Geo seperti mengendus rambutnya, barang kali menyadari apa yang coba Rey lakukan.
Sentuhan Geo mulai terasa tak lagi polos setelahnya, saat tanganya semakin turun menuju pinggang. Rey semakin merapatkan tubuhnya, sementara tangan mungilnya menggenggam kaos Geo seolah itu satu-satunya pegangan hidupnya sekarang. Geo sempat membeku sejenak saat tangannya menyusup ke bawah kaos dan menyadari Rey tak mengenakan apapun di bawah sana. Awalnya Rey sempat khawatir, bahkan menahan napas. Namun saat Geo melanjutkan aksinya meraba jengkal demi jengkal kulit Rey, si mungil akhirnya mengeluarkan napas gugupnya sambil mendesah kecil.
Ah, ia benci bagaimana sentuhan sesimpel ini membuatnya hampir gila. Geo mungkin punya jampi-jampi khusus yang melekat di tangannya.
Saat merasakan kecupan di keningnya, Rey tak lagi bisa berpikir jernih. Ia mendongak. Dengan matanya yang panas dan berair, ia menatap Geo yang kini memandangnya dalam. Wajah mereka begitu dekat. Bibir mereka hampir bersentuhan. Namun untuk satu dan lain hal, Rey tak cukup berani untuk memulai.
Sikap Geo yang seolah sengaja menunggu pergerakan darinya pun membuat Rey sedikit kesal dan ingin menangis. Ia ingin merengek seperti bocah tantrum yang merengek minta dibelikan permen. Meski begitu, Rey sadar betul Geo tampaknya tak akan memberi sebelum ia meminta.
Maka dengan tangan bergetar, setelah menelan ludah gugup entah untuk keberapa kalinya, Rey menyentuh wajah Geo. Seketika lelaki berlesung pipi itu tersenyum, menunggu dengan sabar apapun yang berusaha Rey lakukan. Dengan hati-hati, Rey kemudian menyelipkan jemari mungilnya ke tengkuk Geo dan sedikit menariknya, sambil memajukan bibirnya sendiri menuju bibir pria itu. Geo tak menolak, membiarkan grafitasi membawa bibirnya jatuh ke atas bibir Rey begitu saja.
Saat bibir mereka bertemu, Rey merasakan sekujur tubuhnya seketika meremang. Lenguhan tipis keluar dari bibirnya dan dadanya mendadak terasa bergemuruh hingga sesak. Geo belum bergerak lebih, ciuman ini lebih seperti kecupan bibir bertemu bibir, namun Rey merasa sudah kehabisan napas. Rey bersumpah ia seperti merasakan ledakan ribuan kembang api di dalam dadanya. Ia kemudian menutup mata, bibirnya bergetar saat ia menariknya seinci menjauh.
Saat itulah Geo menangkup lembut wajah mungilnya dan memiringkan wajahnya untuk mengecup balik bibir ranum Rey yang memerah. Napas Rey seketika tercekat dan saat ia membuka mulut untuk menarik napas, Geo seketika menyelipkan lidahnya dan memperdalam ciumannya.
Ciuman Geo terasa intens, namun tak menuntut. Lembut, namun tegas. Posesif, namun hangat. Rey bingung istilah apa yang tepat untuk mewakili sensasi ini. Namun yang jelas, Geo berhasil membuatnya mendamba lebih dan lebih. Bahkan saat Geo menarik tubuhnya untuk duduk di pangkuannya, Rey bergerak semakin liar. Tiba-tiba ia merasa begitu haus dan Geo terasa seperti oase di tengah padang pasir. Rey ingin meneguk lebih dan lebih. Mencium Geo membuatnya merasa utuh dan penuh. Setiap lumatan yang Geo berikan membuatnya merasa satu demi satu kepingan dirinya yang tercecer berantakan menyatu.
“Shhh,” Geo akhirnya menghentikan aksi Rey dengan menggenggam lembut tengkuknya, seperti menjinakkan kucing liar yang mengamuk. Seketika Rey merengek, mencoba mengejar bibir basah yang sedikit membengkak itu, namun Geo menahannya, “Napas, Rey.”
Saat itulah Rey sadar dadanya terasa sesak dan terbakar, menuntut asupan oksigen. Dengan mata memanas dan berair, si mungil merengek gelisah karena ia tak suka sensasi ini. Ia mencoba mengatur napas, tapi masih mengejar bibir Geo seperti orang sakaw. Rey benar-benar tak tahu apa yang terjadi pada dirinya tapi ia benar-benar tak ingin lepas dari Geo sekarang.
“Rey, hey, liat aku. Aku nggak kemana-mana. Aku di sini. It’s okay,” Geo mencoba menarik perhatian Rey, mencoba mengarahkan tatapannya agar mata mereka bertemu. Rey ingin menangis. Mengapa Geo menolaknya lagi? Mengapa Geo tak mau menciumnya lebih lama?
“I will give you anything, but first, listen to me,” kata Geo lagi, kali ini dengan nada tegas, “You need to take a deep breath, Rey,” lanjutnya kemudian saat Rey akhirnya mau mendengarkan.
Si mungil akhirnya menurut. Mengikuti Geo yang menuntunnya bernapas. Ia tak sadar bahwa ia tengah menangis sebelum merasakan jemari Geo mengusap lembut air mata di pipinya, disusul bibirnya yang mengecup kedua matanya bergantian. Segera setelah kondisinya sedikit stabil, Rey kembali merengek.
“Mas Geo…”
“Iya, iya, I know,” sahutnya setengah berbisik sambil mengecupi pipi Rey lembut.
Sikap lembut Geo membuat Rey merasa begitu rapuh dan lemah. Ia yang biasanya agresif di ranjang kini hanya bisa lunglai dalam dekapan Geo dan bahkan sepenuhnya pasrah saat sosok yang lebih tua darinya itu membalikkan posisi sehingga Rey kini terlentang pasrah di bawah kungkungannya.
Geo seperti tahu betul cara menyiksanya. Tiga bulan waktu yang mereka habiskan bersama dan selama tiga bulan itu pula Rey tak pernah disentuh siapapun. Selama itu si mungil sama sekali tak memikirkannya. Mengira ia memang sedang tidak ingin. Namun detik ini, saat berada di bawah tubuh Geo, saat Geo menatapnya penuh damba seperti ini, Rey jadi sadar betapa haus dan laparnya dirinya.
Rey hanya terisak pasrah saat Geo melucuti satu-satunya kain yang membungkus tubuhnya. Berusaha menyembunyikan wajahnya di balik bantal ketika tubuhnya sepenuhnya telanjang di bawah kuasa Geo, namun lelaki itu menahannya. Memaksa mata mereka bertemu dan membuat Rey merasa begitu lemah.
“I want you,” ujar si mungil parau di tengah isakannya, “So bad,” sambungnya dengan napas tercekat.
Tatapan Geo berubah lembut sebelum mengangguk penuh pengertian. Lelaki itu tesenyum hangat sambil mengelus rambut Rey penuh sayang. Membuat isakan Rey semakin tak bisa tertahankan karena sungguh, belum ada lelaki yang memperlakukannya selembut ini. Belum ada lelaki yang membuatnya merasa begitu rapuh sekaligus begitu diinginkan sebesar ini.
Rey bukan tipikal pillow princess. Dia jauh dari itu. Namun Geo membuatnya merasa tidak ada salahnya sesekali didominasi. Tidak ada salahnya menjadi pihak yang hanya menerima dan dipuaskan.
Saat Geo membuka kaosnya sendiri dan memamerkan tubuhnya yang terpahat sempurna, Rey sepenuhnya linglung. Tangan mungilnya yang bergetar menyentuh jengkal demi jengkal tubuh hangat itu perlahan. Rasa insecure yang sempat tenggelam perlahan kembali naik, namun Geo menciumnya dan menariknya pergi sebelum sempat mendominasi pikiran mungil Rey.
Dari setiap kecupan, dari setiap sentuhan, dari setiap tanda yang Geo tinggalkan di tubuhnya, lelaki itu seperti ingin meyakinkan Rey bahwa ia menginginkan ini. Bahwa ia sama berhasratnya. Bahwa ia menginginkan Rey sama besarnya. Dan itu membuat Rey mengerang frustrasi karena Geo tampak terlalu menikmati waktunya detik demi detik dengan menjamah tubuhnya perlahan.
Geo yang tahu bahwa si mungil mulai tak sabaran hanya terkekeh ringan. Masih sambil mengecupi bibir mungil Rey, tangannya meraih laci di samping tempat tidur, mengeluarkan sebotol lube dan sebungkus kondom. Rey sedikit merengut ketika menyadari setengah botolnya telah terpakai. Berapa banyak orang kira-kira yang telah Geo bawa kemari untuk menghabiskan malam dengannya?
Wait.. apakah Rey baru saja merasa cemburu?
Tapi ya memang dasarnya Rey sedang tak dapat berpikir jernih, tangannya kemudian meraih kondom dari tangan Geo dan melemparnya begitu saja, membuat Geo yang duduk setengah telanjang di antara paha Rey yang terbuka menaikkan sebelah alisnya bingung.
“Kamu mau udahan?” Geo kemudian bertanya bingung.
Reaksi Geo yang lebih ke arah khawatir daripada kesal karena sikap kekanakan Rey yang mendadak tantrum di tengah sesi bercinta membuat si mungil bersemu merah. Setengah hati merasa bersalah, setengahnya lagi malu sendiri sebab punya hak apa dia untuk merasa cemburu? Punya hak apa dia untuk merasa kesal kepada siapapun partner Geo sebelum dirinya?
Barang kali karena tak kunjung mendapat respons dan Rey mendadak begitu murung, Geo seperti hendak memutuskan untuk menyudahi semua. Seketika Rey panik. Diraihnya kembali tangan Geo dan ditariknya agar lelaki itu kembali mengurung tubuhnya.
“I’m clean,” Rey berkata setengah berbisik. “Are you?”
Geo masih menatapnya bingung, namun mengangguk. “Aku rutin check up and yes, I’m clean.”
Saat itulah Geo tampak sadar apa yang dimaksud Rey dan apa yang diinginkan kepala kecilnya. Seketika mata Geo menggelap dan berkata dengan nada mengingatkan, “Rey?”
“Yaudah kalau nggak mau.”
“Bukan gitu.”
It’s a big deal.
Of course, it’s a big deal.
Melakukannya tanpa pengaman seperti ajakan non-verbal bahwa mereka eksklusif. Rey tahu itu. Rey tahu Geo juga menyadari itu. Tapi setelah semua yang mereka lewati bersama tiga bulan terakhir, Rey benar-benar tak ingin apapun yang ada di antara mereka berakhir dan hanya menjadi one time thing. Meski belum yakin ia menginginkan hubungan lebih dengan Geo, sisi egois Rey memang tak ingin melepaskan lelaki itu. Egonya tak senang membayangkan ada orang lain yang seintim ini dengan Geo setelah dirinya.
Singkatnya, Rey ingin jadi serakah untuk sekali saja.
Seperti mengerti isi kepala si mungil dan gemuruh di dadanya, Geo kemudian menempelkan kening mereka. Lelaki itu memejamkan matanya sejenak, kemudian menghela napas sebelum membuka mata dan berkata pelan, “Okay.”
“Okay?”
“Okay,” ulangnya sebelum menyatukan kembali bibir mereka.
Rey menghela napas lega saat tangan Geo kembali menjamah tubuhnya. Ia bahkan tak sadar tengah menahan napas sejak tadi. Dibiarkan erangan dan desahan kecil lolos dari tubuhnya saat Geo kembali menciumi leher, pundak, dan berhenti di perpotongan lehernya untuk memberikan hisapan kecil, bersamaan dengan sensasi dingin dan kurang nyaman yang mulai bergeliat di bawah sana. Geo berusaha mendistraksi sembari mempersiapkan dirinya di bawah sana. Dan untuk satu dan lain hal, Rey tiba-tiba menegang.
“Rileks, Rey. Ini cuma aku,” bisik Geo menenangkan. “Sakit ya? Maaf ya?”
Rey cepat-cepat menggeleng. Takut bila Geo menganggap tubuhnya menolak kehadirannya. Hampir tiga bulan penuh tak ada yang memasuki dirinya (bahkan Rey sendiri tak terpikir melakukannya sendiri), jadi wajar saja jika butuh usaha lebih untuk mempersiapkan dirinya. Diam-diam si mungil bersyukur juga Geo termasuk partner yang sabar, membuka dirinya perlahan dengan satu, dua, hingga akhirnya Rey bisa menerima tiga jemari yang bergerak mahir di bawah sana. Sementara bibir dan tangan Geo yang menganggur sibuk mengecup dan menyentuh bagian tubuh Rey yang dapat dia raih. Memetakan dan mempelajari setiap jengkal bagian tubuhnya yang sensitif.
Rey kembali merengek gelisah, “Mas Geo…”
Dan Geo menanggapi rengekan itu sigap. Mereka kini bertatapan dan Rey bisa menangkap dari sepasang mata yang memandangnya sendu itu betapa Geo berusaha mengendalikan dirinya sendiri. Dada si mungil seketika menghangat. Bisa saja Geo memaksakan dirinya, namun lelaki itu memilih sabar, memastikan Rey juga menikmati apapun yang hendak mereka lakukan.
Geo kemudian mengelus wajah Rey. Sama seperti si mungil, manik kecoklatan Geo juga memerah dan sedikit berair. Lelaki itu meminta izin, dan tanpa bicara, Rey mengangguk pasrah. Sepanjang penyatuan itu tak sekalipun mereka memutus kontak mata. Dan ketika akhirnya Geo sepenuhnya memasuki dirinya, Rey melenguh lemah.
Geo tak langsung bergerak, memberikan Rey waktu untuk terbiasa dan menerima dirinya. Momen itu Rey gunakan untuk mempelajari wajah rupawan itu lekat-lekat, memperhatikan setiap kilat emosi yang muncul dan tenggelam di sana sambil terisak pelan. Tiba-tiba ia merasa bersalah. Merasa jahat dan khawatir bila Geo tak benar-benar menginginkan ini dan ia sudah berlaku terlalu egois.
“M-mas..”
“I want this too, Rey,” seperti telah membaca isi kepala si mungil, Geo berkata tenang, “I want you too.”
Barang kali itu adalah kalimat terakhir yang muncul dari bibir Geo karena setelahnya….. setelahnya ia lebih banyak bekerja daripada bicara. Giliran Rey yang berisik, mengabaikan tetangga atau siapa saja yang mungkin lewat di depan unit Geo karena well, siapapun yang tinggal di lantai ini sepertinya harus mulai membiasakan diri.
Kalau sebelumnya Rey bilang bahwa ini cuma satu malam seperti yang sudah-sudah, setelah mencicipi dan dicicipi Geo (his words, not mine), ia memutuskan tidak akan mengakhiri ini. Setidaknya…. tidak dalam waktu dekat.
Jadi malam itu Rey memutuskan membuang jauh-jauh keraguan dan kegelisahannya. Bodo amat dengan bagaimana hubungan mereka setelahnya. Malam ini (dan malam-malam selanjutnya) Geo adalah miliknya. Sebagai apa? Ia akan memikirkan itu nanti. Akankah ada komitmen di antara mereka? Rey akan mempertimbangkannya nanti.
Yang jelas, melihat bagaimana Geo menggilainya, melihat bagaimana Geo menulikan telinga bahkan ketika Rey merengek lelah setelah mencapai puncaknya, melihat bagaimana Geo membungkam bibirnya saat ia mengucap protes (yang sebenarnya hanya tindakan pasif-agresifnya), Rey cukup yakin Geo menginginkan dirinya sama besarnya.
Dalam hati si mungil bersorak menang. Didekapnya erat-erat dan dilingkarkannya kakinya ke pinggang Geo saat Rey menyadari pria bertubuh jauh lebih besar darinya itu hendak mencapai pelepasannya. Geo sempat terkesiap, memandang si mungil nanar, namun kini giliran Rey yang membungkamnya.
Sikap Rey yang seperti itu membuat Geo menggeram dalam. Rey tersenyum di antara ciuman mereka. Ia tahu ini membuat Geo gila. Maka saat Geo menghentaknya kuat, Rey melepaskan ciumannya dan menyentuh wajah lelaki itu agar mata mereka kembali betatapan.
Si setan kecil menikmati ekspresi Geo yang tampak seperti kesakitan dengan mulut terbuka namun tak bersuara. Matanya mengerjap cepat dan napasnya tercekat. Seketika Rey tersenyum puas. Dari banyaknya semburan hangat yang ia rasakan di bawah sana, ia tahu Geo baru saja mengalami ejakulasi tergila yang pernah ia rasakan. Rey menjemput puncak kenikmatan keduanya setelahnya.
“Oh, God,” Geo kemudian berkata parau sebelum lunglai di atas tubuh Rey. Mereka terdiam seperti itu untuk beberapa saat. Mengatur napas dan menikmati adrenalin yang masih memuncak.
Rey kemudian menoleh, menatap Geo yang kini juga menatapnya sambil mengedip pelan. Mereka bertukar senyum sebelum berciuman malas. Menikmati sisa-sisa kenikmatan yang masih menyelimuti.
Geo kemudian memutar posisi sehingga Rey kini berbaring di dadanya. Tiba-tiba saja Rey merasa begitu kecil. Ia merengek saat Geo hendak memisahkan tubuh mereka yang masih menyatu di bawah sana. Membuat Geo terkekeh ringan dan hanya mengecupi puncak kepalanya sambil mengelus lembut surainya yang basah karena keringat keduanya. Dimanjakan seperti itu, tentu saja tak butuh waktu lama untuk kantuk menyerang si mungil yang mulai setengah memejamkan mata.
“Tidur aja, nanti aku yang bersihin,” bisik Geo kemudian. Rey tak menanggapi, namun kemudian sedikit merangkak naik dan menyelipkan wajahnya di ceruk leher Geo untuk mencari kenyamanan. Setelahnya gelap. Kesadarannya lenyap sudah dan hal terakhir yang ia dengar (dan tak yakin apakah nyata atau hanya halusinasi) adalah bisikan Geo yang berkata lembut dan dalam.
“Have a nice dream, cantik.”
Terlepas apakah itu hanya khayalannya atau Geo benar-benar mengatakannya, malam itu Rey terlelap sambil tersenyum.
Jadi apa hubungan mereka sekarang?
Well, biarkan Rey memikirkan itu nanti.
Dee (Guest) Wed 12 Jul 2023 03:38PM UTC
Comment Actions
MirKhamr Thu 13 Jul 2023 01:28AM UTC
Comment Actions
luviecty Wed 12 Jul 2023 05:31PM UTC
Comment Actions
MirKhamr Thu 13 Jul 2023 01:29AM UTC
Comment Actions
rararrrrr Wed 12 Jul 2023 10:51PM UTC
Comment Actions
MirKhamr Thu 13 Jul 2023 01:30AM UTC
Comment Actions
rararrrrr Sun 27 Aug 2023 03:29AM UTC
Comment Actions
piece_of_Pisces Thu 13 Jul 2023 03:22AM UTC
Comment Actions
MirKhamr Thu 13 Jul 2023 04:07AM UTC
Comment Actions
Injun cantik (Guest) Thu 13 Jul 2023 04:01AM UTC
Comment Actions
MirKhamr Thu 13 Jul 2023 04:08AM UTC
Comment Actions
woodaepzz Thu 13 Jul 2023 10:44AM UTC
Comment Actions
MirKhamr Fri 14 Jul 2023 05:21AM UTC
Comment Actions
memoryof23 Fri 14 Jul 2023 06:34PM UTC
Comment Actions
MirKhamr Sat 15 Jul 2023 02:24AM UTC
Comment Actions
nyaeeee (Guest) Tue 18 Jul 2023 08:29AM UTC
Comment Actions
MirKhamr Fri 21 Jul 2023 09:29AM UTC
Comment Actions
droughtocean Sun 30 Jul 2023 12:11AM UTC
Comment Actions
Fitsoniaaa Sun 03 Sep 2023 02:24PM UTC
Comment Actions
jaenoly Tue 31 Oct 2023 03:54AM UTC
Comment Actions
Meybi (Guest) Thu 02 Nov 2023 10:25AM UTC
Comment Actions
jjoknyangsimp Sat 08 Mar 2025 09:41PM UTC
Comment Actions
miyaw (Guest) Tue 20 May 2025 11:52AM UTC
Comment Actions