Actions

Work Header

Rating:
Archive Warning:
Category:
Fandom:
Relationship:
Language:
Bahasa Indonesia
Collections:
Anonymous
Stats:
Published:
2023-10-27
Completed:
2023-10-27
Words:
2,026
Chapters:
2/2
Comments:
6
Kudos:
11
Bookmarks:
1
Hits:
144

larut dalam hasrat, satu dalam gairah

Summary:

Hari-hari di belakang panggung band yang sedang naik daun.

Chapter Text

Ari itu orangnya pemabuk.

Bukan cuma alkohol atau ganja, bukan. Dia pemabuk. Semua hal yang dia konsumsi harus ditelan dan diresapi sedalam-dalamnya. Setiap zat makanan yang dia masukkan ke tubuhnya harus dia rasakan. Kalau nggak, dia bakal resah. Diam menyendiri.

"Nyuntik lagi?"

Ari memandangiku, menghela nafas. Jelas aku barusan merusak moodnya yang sudah siap terbang entah kemana. Aku duduk di sebelahnya sambil ia meletakkan jarum itu di samping kakinya.

"Belom mau berangkat, kan?" Tanyanya, menoleh ke arahku.

Pipinya tirus sekali sekarang. Dulu dia agak gemuk. Cewek-cewek yang datang ke konser kami suka berteriak histeris ngelihatnya. Beberapa groupie aneh pernah mencoba mencubit pipinya. Sekarang rasanya kalau kudorong dia sedikit dia bakal tumbang dan tercerai-berai. Agak mirip fosil-fosil manusia purba di museum.

Diam sejenak, aku ikut melototi lantai area belakang GOR tersebut. Tas-tas dan jaket bertebaran di permukaannya. Geli, tapi aku tau Ari nggak sadar soal ini. Kalau sedang menikmati waktu sendirinya, pak Harto lewat pun dia nggak akan sadar.

"Belom, sih."

"Yowes," dia menggigit turniket yang mengikat lengannya lagi, siap-siap menginjeksi. Di tengah gigitannya ia berkata, "kamu mau liatin aku begini, Dhan?"

"Udah sering liat." Jawabku.

"Heh," dia terkekeh. Menutup mata - yang aku baru sadar selentik itu - seraya menekan ujung suntik. Aku cuma bisa melihat cairan itu masuk ke dalam dirinya, semudah itu. Ari mendesis sedikit dan menghela nafas lega, seolah baru saja bernafas.

"Masih ada stok, kan?"

"Hm," jawabnya pendek, jelas nggak mau kuganggu ketika lagi tinggi-tingginya.

Aku mengambil bekas suntik itu dari genggamannya yang sudah lemas, memelototi bekas isinya.

"Kadang aku kesel, Ri."

Dia menoleh ke arahku, akhirnya mata terbuka.

"...sama putaw?"

"Iya."

"Iya, iya," jawabnya lempeng, "masih banyak kok barangnya, aku nggak bakal nyari-nyari lagi dulu kayak kemarin."

"Bukan," jawabku, masih melototi benda sialan itu, "aku iri sama putaw."

Dia mengerutkan kening. "Iri?"

"Dia bisa masuk ke dalam kamu, kayak tadi," ujarku, entah meracau apa sekarang, tapi kok rasanya bagus untuk diucapkan, "semudah itu, bisa kenal sama kamu, bisa jadi temen setia kamu."

Dia diam sebentar. Lalu ketawa lunglai.

"Ada-ada aja, Dhan. Emang sekarang kamu bukan temen setiaku?"

"Rasanya kurang."

"Haha, kamu maunya lebih dari temen, gitu? Mau jadi pacarku sekalian?"

"Bisa?"

Tawaannya pupus seketika. Lantas kita berdua diam-diaman, menatap satu sama lain. Bola mata Ari gerak kesana-kemari. Mungkin mencoba mencari pertanda bahwa aku lagi berkelakar, meski nggak lucu. Sadar bahwa aku serius, dia menghela nafas sebentar, lalu menunduk.

Tangannya agak bergetar, melepas kacamata tipisnya itu. Aku nggak tau itu efek putaw apa bukan. Ah, kalo kacamatanya dilepas, mata yang sayu itu semakin bulat dan semakin menusuk rasanya. Tapi aku terus balas melotot.

"Kamu lagi make, ya?"

Aku melengos, "mana mungkin aku pake, Ri."

"Terus maksudnya apa?"

Nadanya meninggi. Aku ikut menunduk jadinya. Sebelum akhirnya kujawab, mencerocos polos, "cuma... penasaran aja."

"Penasaran kamu itu bikin orang sakit hati."

"...maksudnya kamu bakal sakit hati?"

"Maia gimana?" Dia malah mengalihkan pembicaraan.

"Itu lain urusan."

Dia ketawa lagi.

"Ininih, alasannya," ujarnya pelan, "temanku yang paling setia itu drugs. Bukan manusia. Apalagi kamu. Ah, udahlah! Jadi nggak enak gini, kan-"

Nah, begitu saja, tau-tau bibirku udah mendarat di mulutnya.

Kecupan yang kering. Agak aneh rasanya, mengecap bibir yang selalu bergerak-gerak di atas panggung itu. Beda dengan Maia, cewekku itu. Atau cewek-cewek lain yang pernah mendatangi kami setelah selesai manggung.

Bibir Ari kering, nggak enak. Pahit, kasar, jujur agak bau juga. Mungkin karena kebiasaan rokoknya. Aku jadi sadar betapa wanginya perempuan itu. Tapi kok meski ada perasaan jijik bibirku nggak juga kutarik kembali.

Ari pun, alih-alih mendorongku, malah menutup matanya. Begitu kecupannya terlepas keduanya perlahan terbuka - berkaca-kaca sedikit.

Setelah itu baru jawaban yang kupikir akan dia lontarkan dari tadi.

GEDEBUGG!!!

Ari menghajar pipiku dengan begitu kerasnya, sampai badanku terhuyung-huyung dan mental ke tumpukan koper di sebelahku. Suara yang gaduh nggak terasa se-keras itu dengan degupan keras dari dadaku sekarang. Lalu, entah adrenalin dari mana, aku meloncat, menerkam Ari dengan seluruh sisa energiku - kucengkram pundaknya dengan begitu keras sampai ia mengerang lemah - dan kubalas pukulannya dengan sosoran kedua di bibirnya yang mengerling sakit itu. Kali ini jauh lebih kasar dan nggak bertahan lama karena Ari melawan dengan lebih keras lagi - BUUUGHH!! - setelahnya dia langsung berdiri, meski susah payah, dan berlari ke pintu ruangan.

Aku selalu bilang ke dia bahwa energinya lebih kuat dari yang dia kira. Sekilas teringat ketika kami berkelahi dengan geng bocah-bocah kampungan di bar beberapa tahun silam - dan setelahnya, tangan penuh darah dan nyut-nyutan setelah ditendang keluar, Ari bilang kepadaku, "Dhan, ternyata bener katamu. Pukulanku oke juga."

Ya iyalah bener, pikirku saat itu. Aku kan selalu merhatiin kamu, Ri.

Tapi begitu jawaban itu kulontarkan dia cuma tertawa seolah-olah aku bercanda.

Malam itu kami dimarahi sama manager yang baru genap dua bulan mengurus band ini. "Untung show selanjutnya 2 hari lagi!" Begitu katanya dengan emosi, "Lagian ngapain sih pukul-pukulan, berantem segala? Ada masalah?"

Andra, Erwin dan drummer additional kami, Aksan, gantian menatap aku dan Ari tanpa bicara. Aku menoleh ke arah Ari. Sementara kacamata bulatnya itu masih mengarah ke lantai.

Pada akhirnya persoalan malam itu semuanya anggap karena Ari kelebihan dosis putawnya dan kami berseteru karena emosi. Memang masalah drugsnya Ari mengkhawatirkan, sih - kayak yang aku bilang tadi, dia orangnya pemabuk. Tapi kali ini aku lebih khawatir ngeliatnya. Aku takut dia tenggelam bukan dalam putaw - tapi perasaannya sendiri.

Chapter Text

Pertama kali aku ketemu Dhani dia tuh makhluk yang aneh. Tinggi, besar, cerewet. Udah gitu kerjaannya ngajak berkelahi SMA sebelah terus. Tapi kalau lagi megang kaset pita, rasanya kayak dengerin ensiklopedi yang nggak bisa ditutup meski udah capek dengernya.

Tapi nggak bisa dipungkiri ada sesuatu yang menarik dari semua itu. Dhani itu kekacauan yang paling sulit untuk dilepaskan dari pandangan. Bertahun-tahun aku bersahabat dengannya, masih ada aja yang mengejutkan.

Salah satunya ketika aku cerita bahwa aku mau dibogem mentah sama anak-anak Lost Angels karena "transfer" ke tim sebelah. Erwin dan Andra sempat membalas serius - tapi Dhani kontan ketawa. Ngakak. Pas kutanya kenapa dia ketawa dia jawab, "ya tinggal kita gebukin balik, lah!"

Tentunya itu nggak pernah terjadi. Toh banyak hal yang disebutkan Dhani di media, atau di publik, atau di kalangan teman-teman kita, tapi nyatanya bukan begitu. Meski begitu Dhani nggak jarang juga terlalu jujur. Apa yang ada di dalam pikirannya kalau lagi ngibul? Dan apa yang ada kalau lagi ngomong asal-asalan di depan massa? Aku pun nggak tau.

Insiden baru lagi ketika kami lagi cek mixingnya Dhani di dapur rekaman. Semuanya ngerasa ada yang beda dari apa yang kita dengar beberapa bulan lalu.

"Drumnya beda yo Dhan?"

"Ini aku pake sequencer," balasnya, "drumnya Wawan kucopot."

Erwin agak kaget dengarnya. Kita saling lihat-lihatan sejenak.

"Wawannya dikasih tau?"

Dhani geleng-geleng dengan wajah tanpa dosanya itu, "ya nggak lah. Biar nggak ribet aja. Kalo drumnya masih ada kan kita harus mikirin royalti ini bayarnya berapa per lagu. Jadi sekalian aja ilangin semuanya."

Andra cuma menggendikan bahu. Aku dan Erwin saling tatap-tatapan, nahan tawa - bukan karena omongannya lucu, tapi kayaknya rasa nggak percaya aja bahwa Dhani melakukan hal kayak gitu ke rekannya sendiri, lebih-lebih nggak sadar bahwa tindakannya itu bisa bikin sakit hati.

Jadi, ketika aku menghadap Dhani untuk mengajukan pengunduran diri untuk rehab, jujur akupun nggak tau bakal kayak apa responnya. Marah kah? "Tuh kan, udah gue bilangin juga", kah? Atau malah mohon-mohon supaya aku tetap nyanyi di Dewa? Meski memang meniatkan diri untuk keluar, wajar dong agak berharap untuk kemungkinan yang terakhir itu.

Ternyata jawabannya pun nggak lazim. "Itu sama aja bunuh diri, Ri!"

Malah jadi aku yang garuk-garuk kepala.

"Tapi aku nih jadi nggak bener kerjanya, Dhan," jawabku, "aku nggak mau band yang udah kita bangun ini jadi rusak gara-gara masalahku sendiri."

"Yaudah, masalah itu ya aku pikirin," lha, dia malah jadi ngedumel. "Kita istirahat aja. 6 bulan lah. Biar kamu sembuh. Sambil aku pikirin solusinya."

"6 bulan? Terus album keempat gimana?"

"Ya itu aku juga yang pikirin."

Sejak aku ngomong begitu rasanya sikap Dhani jadi agak aneh. Kayaknya dia marah sama aku. Meski kita masih ketawa-ketawa dan ngobrol biasa, tapi suasana tegang di udara itu kentara banget. Dan rasanya aku makin nggak bisa membayangkan respon Dhani tiap kali aku ngomong... Contoh aja, dia lempar botol ke Aksan gara-gara salah masuk ketukan - tapi ketika aku nggak bisa nyanyi karena lagi "flu" , dia cuma melotot dari belakang.

Jadi ketika Dhani tiba-tiba mencium aku di sebuah ruangan ganti baju yang apek di GOR yang nggak bisa kusebutkan disini, aku pun nggak tau harus merespon apa. Tapi sejak itu aku ngerasa takut. Nggak nyaman. Selama tur Sumatra itu kita nggak saling bicara lagi sepatah kata pun.

Setelah itu pun balikan. Seolah nggak terjadi apa-apa. Dan kupikir bakal begitu sampai suatu hari kita lagi ngobrol di studionya, dan dia menyarankan sesuatu.

"Ri, aku ada ide untuk album selanjutnya."

Nggak banyak protes, aku pun nunggu dia meneruskan.

"Kita pakai dua vokal," ujarnya, "kamu, sama Once."

Pertama yang aku pikir - sial, bajingan ini bener-bener nggak bisa melepasku. Sejak dua tahun lalu aku pingin minggat, nggak dibolehin juga. Sekarang malah dipaksa pakai dua vokalis... sesuatu yang sering kita bercandain dari Kahitna dan Java Jive. Seputus asa itukah dia?

Kedua, siapa Once?

"Siapa itu, Dhan?"

Senyuman Dhani melebar. Dia merogoh-rogoh kotak di sisi ruangan dan mengeluarkan sebuah tape kosongan.

"Once, Elfonda. Sering main bola sama kita," ceritanya sambil bergerak kesana-kemari, "eh, kemarin aku denger projek lama dia, sama Pay. Oke juga, aku pikir. Terus ku ajak take vokal."

Sumringah dia mainkan kaset itu dan lantunan suara tinggi yang merdu pun memenuhi ruangan kecil tersebut. Aku diam sejenak. Ohhh...

Oh.

"Gimana?"

Ini roman picisan, kan, Dhan? Ini lagu yang udah aku rekam juga suaranya? Aku pingin tanya begitu, tapi entah kenapa nggak enak di lidah.

Gak kerasa 10 menitan itu diam aku menatap Dhani, yang berjongkok di depan tape playernya seolah-olah opiniku ini betulan signifikan. Kalo aku bilang jelek, gimana? Apa Dhani bakal setuju?

Tapi aku nggak bisa bohong soal ini, dong. Suaranya memang bagus. Dhani pun seolah bangga udah "menemukan" Once ini. Lantas buat apa aku ditanya?

Lah, ngapain juga aku masih disuruh nyanyi disini? Entah kenapa, pertanyaan itu malah membuat pikiranku lega sekali. Plong, semua ketegangan sejak pengunduran diri itu hilang.

"Bagus ini Dhan," jawabku enteng, "okelah, aku keluar aja."

"Lha, kok jadi gitu sih?"

Duh, nada tingginya itu memancing emosi. Aku berusaha menahan nadaku. "Emangnya kenapaaa sih, Dhan? udah ada orang baru yang oke, aku juga makin ngaco. Tunggu apa lagi?"

"Ya harus dua vokal,"

"Kenapa? Coba jelasin."

"Karena emang konsepnya begitu!"

Agh, nggak ada gunanya berdebat sama orang bebal begini. Aku menutup mulut lagi, meng-iya-kan semua contoh musisi dan band yang dia runutkan setelahnya sebagai bukti bahwa konsep dua vokalis ini cocok untuk keberlangsungan Dewa. Emang sejak ciuman beberapa waktu silam itu rasanya semua konflik kami berputar-putar di pusara yang sama. Tegang, pecah, tapi nggak mau konfrontasi. Dhani kayaknya nggak paham apa yang membuatku pusing. Aku pun nggak mau ngejelasin ke dia.

"Wes sakarepmu lah,"

Dhani pikir itu pertanda setuju. Nyatanya nggak lama kemudian aku sudah balik di Surabaya, sama Vita. Dan berminggu-minggu itu nggak satu pun teleponnya ke rumah ku jawab.

Awalnya sulit, iya. Setiap edisi Hai baru keluar aku membolak-balikkan halamannya dengan agak tegang - penasaran apakah ada berita baru tentang Dewa. Yaa, meski lagi vakum, pastinya anak-anak masih dapat tawaran interview dan jumpa pers untuk album yang harusnya aku rekam sekarang. Tapi entah kenapa membaca setiap kalimat-kalimat Dhani ke media membuat aku cekikikan. Entah terhibur, entah perasaan nggak percaya kayak yang aku dan Erwin sering lakukan dulu. Yang jelas rasanya baca liputan Dewa itu seperti baca majalah humor.

Akhirnya sosok Once disebut-sebut juga di media, bersamaan dengan Tyo Nugros. Sekelibat aku bertanya-tanya Bimo dikemanain. Sudah kebayang jawaban di luar nalar yang mungkin Dhani lontarkan. Ah, si bajingan itu, kayak biasa asbunnya - bilang aku bawa duit royalti lah, nggak bisa dihubungin lah... Tapi ada satu kalimat yang menarik perhatianku. Dhani bilang dia mengancam bakal memecatku kalau nggak sembuh-sembuh.

Padahal aku inget persis kata-kata yang sebenarnya dia lontarkan. Lembut. Halus banget, meski masih nyelekit, tentu, bukan Dhani kalau kata-katanya nggak bikin sakit hati.

"Ri, kalo kamu begini terus, bisa kayak Aksan lho."

"Apa, dilemparin botol?" Jawabku waktu itu, "Atau dipecat sepihak, maksud kamu?"

Kayaknya itu salah satu dari segelintir momen dimana aku setengah-melabrak Dhani soal semua kekacauan yang berputar disekitarnya saat itu. Dan jawabannya pun masih nggak lazim - bedanya, kali ini, nggak kubalas dengan gebukan.