Work Text:
i.
Benar apa kata orang-orang, hari apes memang tidak ada di kalender. Tadi malam Alex tidur saat ponselnya menunjukkan pukul 1.25 pagi seperti biasa tetapi bangun setengah jam lebih telat dari biasanya, baterai ponselnya tinggal 14 persen, dan coffee shop yang biasa ia singgahi sebelum masuk kelas sedang tutup. Kasus terakhir tidak akan menjadi masalah kalau saja Alex bisa bertahan setidaknya lima menit di dalam kelas nanti tanpa merusak mood orang di sekitarnya jika ia tidak punya adiksi terhadap kafein. Yang mana dalam kamus Alexander Gabriel Claremont-Diaz itu sebuah ketidakmungkinan.
Mendecakkan lidahnya, Alex kembali berjalan menuju kampusnya. Seperti daerah kampus pada umumnya, banyak coffee shop bertebaran di sekitarnya. Setelah tiga menit kembali berjalan, ia terdiam. Rasanya seperti ada yang berbeda. Kemarin salah satu ruko ini masih menjadi kedai es krim dengan harga yang tidak terjangkau dan sepi pengunjung. Tapi hari ini yang ada bangunan berwarna beige dengan aksen coklat juga plang besar yang bertuliskan Foxes beserta daftar menu bakery dan coffee.
Alex sudah pernah mengunjungi semua coffee shop yang berada di wilayah kampusnya selain ini, maka ia melangkahkan kakinya masuk dan menuju order counter. Kembali melihat-lihat menu walaupun ia sudah tahu apa yang akan dipesannya.
Sampai seseorang dengan celemek coklat datang dan mengeluarkan suaranya. “Selamat pagi, boleh saya bantu pesanannya?”
Alex terdiam. Ia tidak tahu ekspresi wajahnya seperti seseorang melihat kuda berkepala gajah yang jatuh ke jurang dengan mulut yang terbuka lebar atau malah dengan tatapan kosong yang menjadi sasaran empuk arwah-arwah untuk merasuki seseorang, tetapi ia terdiam. Karena, wow. Lelaki di depannya ini pasti bukan berasal dari dunia yang sekarang mereka berdiri. Rambut pirang yang sangat cocok dengan kulitnya yang putih pucat, juga bola matanya yang sangat biru, yang tidak menutup kemungkinan bahwa ia salah satu putra dari Dewa-Dewi Yunani atau bahkan he is Adonis himself.
Henry, nama yang terpasang di name tag dan bukan Adonis seperti yang ia pikir, kembali bertanya, “Mau pesan apa, Kak?”
“Oh-” Alex berkedip. Kesadaran sudah kembali merasuki tubuhnya, ia memasang senyuman kecilnya yang menyebalkan. “One americano, no sugar, and double shot, please. Sama nanti boleh minta cinnamon dikit gak diatasnya? Bayar juga gak apa-apa, kok.”
Henry — yang mungkin saja hanyalah nama samaran selama ia di dunia Alex, mengangguk dan mengulang kembali pesanannya dan Alex mengiyakan. “Pesanannya atas nama siapa ya, Kak?”
“Um, it’s Alex.”
Setelah Henry menyebutkan nominal yang harus dibayar, ia meminta Alex untuk menunggu sebentar dan akan dipanggil ketika pesanannya sudah selesai. Alex membawa dirinya bersandar di seberang pick-up counter sembari mengabarkan Liam — salah satu teman kelasnya, bahwa ia akan telat kelas pertama paling lama 15 menit. Setelah mendapatkan pesan okay, aman dari Liam, ia memasukkan ponselnya ke dalam kantong dan memilih untuk menonton pertunjukkan di depannya; Henry yang sedang membuat double shot americano yang ia pesan.
Tidak lama kemudian, Henry meletakkan pesanan yang dari tadi dibuatnya dan berkata, “Atas nama Kak Max.”
Alex terdiam. Ia kira kopi yang Henry buat merupakan pesanannya, karena di dalam kedai ini tidak ada orang lain selain mereka. Jadi Alex hanya menatap kosong dengan tanpa sadar sedikit mengerutkan keningnya, dan ia melihat Henry memutar bola matanya lalu menatapnya dengan wajah datar. “Sorry, Kak. Ini pesanannya, ya.”
Okay, rude. Alex dalam hati bersumpah bahwa ia tidak akan kembali lagi ke kedai ini. Sambil mengambil pesanannya, Alex berkata, “My name is not Max, sweetheart. It’s Alex.”
Bukan salah Alex kalau ia melihat muka Henry yang memerah terlalu kesal karena jam tangannya menyatakan bahwa kelasnya sudah dimulai dari tiga menit yang lalu.
ii.
Alex dengan terburu-buru memasukkan buku, laptop, dan alat tulis lainnya ke dalam tas hitam yang ia bawa setiap hari untuk kuliah. Perpustakaan yang ia tempati sekarang sudah kosong dan lampunya mulai meremang dan ia baru saja diusir karena waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam.
Okay, Alex akui ini memang salah dirinya sendiri. Ponselnya ia buat mati daya yang padahal sebelumnya sudah ia setel alarm yang seharusnya bunyi dua jam yang lalu, tetapi June sialannya tidak mau berhenti untuk menelponnya dan Alex terlalu fokus pada essay yang dibuatnya untuk peduli pada sekelilingnya. Bahkan waktu tenggat essay itu pun masih dua minggu setelah hari ini.
Menyampirkan ranselnya pada bahu sebelah kanan, Alex berjalan keluar dari perpustakaan kampusnya. Alex tahu bahwa ini sudah jam sebelas malam, tapi ia yakin bahwa ia tidak akan bisa tidur sebelum menuangkan semua ide yang ada di kepalanya pada essay yang terpaksa ia jeda. Dengan kata lain; ia butuh asupan segelas kafein.
Pepatah laki-laki yang dipegang ialah perkataannya merupakan sebuah omong kosong, karena Alex sendiri pun tidak akan mempercayai kata hatinya dan bahkan sekarang kakinya membawa Alex ke kedai kopi berwarna beige dengan aksen coklat juga plang besar yang bertuliskan Foxes. Janjinya yang mengatakan bahwa ia tidak akan memijakkan kakinya lagi ke sini dikhianati oleh hatinya yang mengatakan bahwa;
- Kopi yang ia beli kemarin sangat melebihi ekspektasinya; tidak tahu karena biji kopi yang ia impor entah dari negara mana atau karena seorang Dewa Yunani yang membuat pesanannya.
- Adonis yang sedang menyamar menjadi manusia dan bekerja sebagai barista di kedai ini tidak bisa hilang dari pikiran Alex.
Maka dari itu Alex melangkahkan kakinya ke dalam kedai yang tidak terlalu ramai dan langsung disambut dengan Henry di order counter yang sedang sibuk berkutik dengan device di depannya. Melihat Henry yang tidak menyadari kehadirannya, Alex berdeham dan ketika memindahkan pandangannya, Henry sedikit terkesiap.
“Oh- Sebentar, ya, Kak.” Alex mengiyakan dan Henry kembali berkutik pada tabletnya selama beberapa detik lalu kembali berkata, “Boleh saya bantu pesanannya?”
“One americano, no sugar, double shot, additional cinnamon on top please.”
“Atas nama siapa, Kak?”
“Alex.”
“Baik, Kak. Totalnya jadi dua puluh tujuh ribu, pembayarannya melalui apa, Kak?”
“Qris aja,” jawab Alex lalu mengeluarkan ponselnya yang sudah menyala dan langsung menyelesaikan transaksi mereka. Henry kembali meminta Alex untuk menunggu di pick-up counter dan Alex menurutinya. Kali ini yang ia lakukan pada ponselnya adalah membalas ribuan pesan yang dikirim oleh June atau Nora pada room chat pribadinya, juga group chat yang berisikan June, Nora dan dirinya sendiri.
Saat ia tenggelam dalam obrolan di ponselnya, kesadarannya teralihkan ketika suara yang anehnya sudah familiar pada telinganya terdengar. “Atas nama Kak Carlos.”
Kedai ini memang tidak terlalu ramai karena sudah sangat malam, tapi bukan juga kosong pengunjung, jadi Alex tidak mengangkat kepalanya sedikitpun sampai seseorang mengetuk meja di depannya.
“Atas nama Kak Carlos,” ulang Henry dengan seringai kecil di wajahnya.
What the fuck?
Alex tahu bahwa kali ini Henry sengaja. Jadi Alex menegakkan badannya menghadap Henry, dan berkata. “Eh, dengar, ya!” Lagi-lagi dengan kerutan di keningnya Alex membawa jari telunjuknya ke depan wajahnya seolah menegaskan poin yang akan ia katakan. “The name is Alex. Harus gue eja kah? Okay; A for apple—”
“Sebentar,” potong Henry lalu ia mengambil ponsel dari kantung belakangnya dan membuka entah aplikasi apa yang menurut Alex sangatlah tidak sopan. “Boleh dieja lagi, Kak, namanya,” pinta Henry dengan senyum jahil yang semakin jelas.
“Ngapain, sih?” tanya Alex heran tetapi yang dilakukan oleh barista di depannya ini hanyalah mengangkat sebelah alisnya menantang Alex. “A for apple, L for luminescent, E for eidograph, X for what the fuck?”
Henry yang tampak mengetik mengikuti perkataan Alex melanjutkan, “Kalo nomornya berapa, Kak?”
“Hah?” balas Alex bingung.
“Nomornya telponnya bisa dieja juga gak, Kak? Preferably yang connect ke IMess, ya.”
Ketika Alex sudah tau kemana arah obrolan ini, seringai yang sama juga terpapar di wajahnya. “Oh, sweetheart,” ujarnya dan Alex memberikan nomor ponselnya.
Belum semenit setelah Alex melangkahkan kakinya keluar dari kedai berwarna beige dengan aksen coklat juga plang besar yang bertuliskan Foxes itu, notifikasi dari nomor tidak dikenal muncul pada lockscreen-nya.
+62 67xxxxxx
Someone named Carlos apparently gave me this number, are you him?
This is Henry Fox, by the way. From Foxes if you even need precision.
im alex and u fucking know it sweetheart
and why r u texting like a fucking shakespeare
iii.
Sudah satu minggu Alex dan Henry menggunakan teknologi iMessage dan FaceTime dengan baik. Alex juga menjadi rutin mengunjungi Foxes Coffee and Bakery selama satu minggu ini, mau itu pagi sebelum kelasnya dimulai ataupun petang setelah kelasnya selesai. Beberapa pertanyaan yang ia miliki juga sudah terjawab seperti;
- Henry bukanlah Adonis yang sedang menyamar menjadi manusia di dunia yang Alex pijak sekarang, melainkan hanya manusia biasa keturunan Britain dan sedikit darah Indonesia yang menjelaskan tentang rambut pirang, kulit pucat, serta mata yang sangat biru.
- Henry menghabiskan masa sekolahnya di Indonesia, maka dari itu tidak heran dengan tampang yang sangat bule ia lancar berbahasa Indonesia non-baku.
- Henry berkuliah di Oxford dan mengambil jurusan English Literature, so indeed the way he’s talking is in the Shakespearean way.
- Henry kembali ke Indonesia dengan kakaknya — Beatrice, dan membuka Coffee Shop baru dengan nama Foxes yang diambil dari nama belakang mereka.
Satu minggu ini juga mereka mencoba untuk mencocokkan jadwal mereka agar bisa menghabiskan waktu di luar Foxes Coffee and Bakery dan kesepakatan jatuh pada hari Sabtu ini.
Alex yang hanya memiliki satu mata kuliah pada hari Sabtu, langsung mendatangi Foxes pada pukul dua siang. Alex memejamkan matanya sebentar saat masuk kedai tersebut dan melihat antrian yang tidak terlalu panjang. Matahari sangat terik membuat mood Alex sedikit turun dan ia berkata demikian pada Henry ketika sudah gilirannya untuk memesan karena ia tahu Henry sudah hafal dengan pesanannya yang spesifik untuk peduli. Yang Henry lakukan hanyalah tersenyum manis dan mengecup pipinya yang langsung membuat mood Alex meningkat.
Henry bilang shift-nya hari ini selesai pada pukul tiga sore. Jadi Alex harus menunggu di salah satu kursi pelanggan dan Henry juga tidak bisa menemaninya dengan keadaan kedai yang ramai. Alex mengeluarkan laptopnya dan melanjutkan tugasnya sembari menunggu namanya dipanggil atas pesanannya. Satu minggu ini juga Henry menggunakan namanya dengan benar. Jadi saat seseorang berseru atas nama Elias! Alex tidak menghiraukannya. Pertama, itu bukan namanya; kedua, itu bukan suara Henry, so why bother?
Tiga kali staff tersebut meneriakkan nama Elias, Alex belum juga mengalihkan pandangannya sampai Henry yang turun tangan dan berkata, “Alex, can you come here and take the bloody coffee, please?”
Dengan tersentak Alex berjalan ke arah pick-up counter. “Tapi itu bukan nama gue?”
“I know, I’m sorry,” balas Henry dengan rasa bersalah yang terpampang di wajahnya. “Lagi rame, belum bisa ngobrol. Sebentar lagi, ya?”
Jadi Alex mengambil kopi dengan nama Elias di gelasnya dan kembali ke meja dimana laptopnya berada. Satu setengah jam kemudian, Henry yang sudah berganti baju menjadi lebih casual menghampirinya dan Alex dengan cepat menutup laptopnya dan membereskan meja setelah kembali disapa dengan kecupan di pipinya.
Mereka berjalan beriringan melangkah ke luar kedai dan Alex bertanya, “Apa maksudnya kopi gue dinamain Elias? You know I hate it when you mess up my name with other guy’s.”
Henry dengan menyebalkan menaikkan satu alisnya, “Hmm?”
“It stated that you’re seeing other guys.”
“Why? Jealous much? ”
Alex menghentikan jalannya dan mencebikkan bibirnya. “Henryyyyyyy…..”
“Maaf, maaf.” Henry tertawa lalu membawa tangannya melingkari bahu Alex yang lebih rendah dan menuntunnya kembali berjalan menjauhi Foxes Coffee and Bakery. “Gak apa-apa, sih, cuma pengen aja. Tadinya mau godain lo aja, tapi ternyata cafe lagi rame banget jadi bukan gue yang manggil. There’s no one, kok. Beneran.”
+ i.
“You're so pretty.”
Henry menyuapkan sushi terakhirnya dan berkata, “You've been saying that for a million times, Alex.”
Alex yang menyudahi makannya sedari tadi, pekerjaan yang ia lakukan hanyalah menatap Henry yang duduk di sebelahnya makan dengan lahap. Memangku kepalanya pada kepalan tangan ia membalas, “And I stand by it. Kamu cakep banget hari ini. Your eyes are so blue, those little earrings, and your hair— oh my goodness. Sering-sering dibuat kayak gini, please, rambut kamu. Niscaya kamu akan mendapatkan ciuman 5 menit sekali.”
Henry memutar bola matanya tetapi ikut tersenyum senang saat Alex betulan mencium sudut bibirnya. “Alay,” ujarnya.
“Yet, you love me anyway, baby." Alex terkekeh dan membawa kepalanya ke posisi awal, memerhatikan Henry yang sedang merapikan piring-piring kecil seraya menggeleng heran. “Hari ini tidur di tempatku lagi mau gak?”
“Three days in a row?”
“Kamu beneran cakep banget like a greek god you are and i need to worship you.”
“Ih, takut banget gak sih sama omongan kamu?” Henry mengambil ponselnya yang sedari tadi ia biarkan di dalam tas. “I need to call the cops."
“I didn't do that to you when you did that to me,” sewot Alex sambil mengerucutkan bibirnya.
“Ya karena aku nggak creepy kayak kamu.” Alex mengeluarkan ekspresi andalan Henry; seringai jahil terpampang di wajahnya dan satu alisnya menukik ke atas. Lagi-lagi Henry memutar bola matanya dengan senyuman yang ditahan, ia menepuk pelan pipi Alex. “Stop that.”
Setelah menyelesaikan bill makan malam mereka, dengan satu kali lagi ciuman di pipi, Alex bangkit dari duduknya dan mengajak Henry pulang. “Eh, tapi kamu cakep banget kayak gini rugi gak sih, gak punya pacar?”
Henry hanya mengedikkan bahunya dan lanjut melangkah ke arah parkiran. “Alex, nanti kita ke Foxes dulu, ya. Aku mau ambil barang,” pinta Henry ketika mereka sudah di dalam mobil.
“Oke, tapi jatah kopi aku sekali lagi.”
Sesampainya di Foxes Coffee and Bakery, Henry langsung bergegas ke balik counter dan membuat segelas kopi spesifik dengan cinnamon diatasnya. Menepuk pelan bahu Alex yang sedang bersandar pada dinding dekat pick-up counter, ia berkata, “Double shot americano, no sugar, with cinnamon on top, order for ... boyfriend?”
Mata Alex langsung terbelalak lebar, juga senyumannya. “Boyfriend?” tanyanya tidak percaya sambil menarik Henry keluar dari balik meja tersebut, takut ia hanya salah dengar.
Henry mengangguk dan tersenyum manis. “Yeah, boyfriend.”
Alex mengambil segelas kopi itu dari tangan Henry dan menaruhnya di meja counter. Menarik Henry lebih dekat dan menabrakkan bibir mereka tanpa peduli siapapun di ruangan ini, di dunia ini. Kali ini ia tidak peduli bahwa bukan namanya lah yang tertulis pada segelas americano tersebut. Yang ia pedulikan hanyalah Henry Fox yang sekarang berada dalam dekapannya.

RinKuro07 Fri 11 Apr 2025 11:27AM UTC
Comment Actions
saturnnoise Mon 01 Sep 2025 04:37PM UTC
Comment Actions
RinKuro07 Sat 13 Sep 2025 04:11AM UTC
Comment Actions