Work Text:
"Barang kalian langsung taruh ke kamar ya. Kamarnya ada banyak, tapi kita pake yang di lantai dua aja biar ngga terlalu capek naik-turunnya," tukas Eula menginstruksi setibanya mereka di villa mewah bertingkat milik keluarga Lawrence yang terletak di daerah cukup tinggi bersuhu udara relatif rendah.
Para gadis memilih untuk menempati dua kamar; kamar pertama diisi oleh Keqing, Ganyu, Lumine, dan kamar kedua diisi oleh Eula, Amber, dan Hu Tao. Sedangkan kaum lelaki memasang bendera kekuasaan pada ruang tengah—ruang dengan balkon yang menampilkan langsung pemandangan luar. Mereka tidak memerlukan kamar, yang mereka butuhkan adalah home theatre yang ada di ruang tengah ini.
"Kalian santai aja, bentar lagi makan siang siap," Eula berujar sesampainya di ruang tengah usai meletakkan barang-barangnya di kamar. "Oh iya, Heizou gimana?"
"Masih sempoyongan tuh," sahut Venti. "Lo ada kotak P3K ngga, La?"
"Ada, di situ." Eula menunjuk ke sudut ruang dengan dagunya.
Venti lantas mengambil minyak-minyakan serta koyo hangat guna meredakan mual dan pusing yang dirasakan Heizou akibat mabuk perjalanan. Pemuda lain asyik bergelung selimut—yang mereka curi dari kamar gadis-gadis. Diluc hanya bergeleng kepala menyaksikan tingkah polah teman-temannya dari bibir balkon. Eula sudah kembali ke kamar kala pemuda-pemuda—tentunya tanpa Diluc—itu mulai berbisik-bisik tetangga.
"Eh, lo pada lihat kan? Cewe-cewe cantik banget njir, bajunya lucu-lucu," Ajax membuka suara.
"Cantik emang. Tapi si cantik milik si cantik juga, lahhh," Kaeya menimpal sembari menimpuk bantal ke kepala Ajax.
"Gue boleh dong? Gue kan juga cantik," celetuk Venti berlagak centil yang dijawab sorakan serta timpukan bantal oleh yang lain. "YEEE, malu sama biji." Kaeya memberi timpukan bantal terakhir.
"Lumine!" Ajax menjentikkan jari. "Lumine kan belum ada pacar?"
Aether yang mendengar hal itu langsung memasang air muka tidak suka yang disembunyikan dengan usaha seadanya. Alisnya bertaut dalam tetapi mulutnya merapat meskipun sangat gatal ingin ikut menanggapi. Iia enggan membuka mulut karena takut apa yang keluar dari sana mengungkapkan sesuatu yang tidak seharusnya dikatakan.
"Gue ngga yakin Lumine belum punya," Venti menyumbang opini.
"Siapa coba yang berani deketin Lumine, abangnya aja begitu," ujar Kaeya sengaja mengompori dan dibalas tatapan sinis dari Aether.
"Eh serius, gue pernah lihat di leher Lumine ada bekas merah-merah," tambah Venti.
"Nyamuk, kali," sahut Heizou sekenanya, setengah duduk seraya masih memijat-mijat leher. Biasanya Heizou yang paling antusias jika mencium sesuatu yang mencurigakan. Namun karena tubuhnya masih lemas, akalnya jadi ikut menumpul.
"Iya, kali, ya? Dipikir-pikir Lumine emang ngga pernah kelihatan sama siapa-siapa selain sama itu tuh," Venti menunjuk dengan dagu ke arah Aether.
Kemudian obrolan itu berakhir karena tidak menemukan jawaban final tentang tanda merah di leher Lumine dan siapa yang melakukannya. Entah nyamuk atau seseorang? Namun jawaban itu diketahui pasti oleh Aether. Tidak ada satupun yang menyangka, kalau bekas memerah itu adalah buah karya Aether. Seringai kecil tertarik di sudut bibirnya. Pikiran liarnya berbisik, mungkin ia harus semakin sering membuat tanda itu agar para lelaki buaya ini tidak ada yang melirik Luminenya, milik Aether satu-satunya.
***
Ajax dan Kaeya sudah kembali usai membeli cemilan untuk menemani malam. Kini semua berkumpul di ruang tengah, raut gembira terpoles pada wajah mereka, tak terkecuali Diluc yang tadinya enggan namun akhirnya ikut bergabung juga. Udara malam yang dingin bukan menjadi penghalang, tidak afdol rasanya apabila agenda menginap tidak diisi dengan hiburan dan permainan. Tak lupa minuman spesial yang dibawa dari kota turut menyumbang euforia kegembiraan malam penuh suka dan cita.
"Ssh," desis Ajax menuntut ketenangan, memusatkan perhatian yang lain kepadanya. "Biar ngga lama kita langsung aja ke games yang gue bilang kemarin!"
"Gamesnya apa, Tartaglia?" Ganyu bertanya dengan air muka tertarik.
"Dare or Dare!" Ajax menjeda seraya mengambil sebuah toples. Jarinya menunjuk pada isi toples berupa lipatan kertas kertas. "Ada yang aneh-aneh sampai yang mungkin bisa mengubah hidup lo. Yang kena dare dan ngga sanggup lakuin, wajib minum dua shot."
Permainan dimulai, masing-masing duduk melingkari sebuah botol bekas minuman yang nantinya akan diputar. Siapa saja yang ditunjuk oleh bibir botol harus mengambil undian dare yang ada di dalam toples dan melakukan apapun yang tertulis di sana.
Putaran pertama; Ajax. Riuh sorak sontak mengudara. Nampaknya senjata makan tuan, Ajax harus mengawali dare pertama pada malam ini. Satu tangan Ajax merogoh isi toples dan mengambil satu lipatan kertas. "Ngetweet gue masih virgin di twitter." Sorak dan tawa menggema lagi. Dare pertama belum seberapa, tapi malunya mungkin tidak terkira. "Bangsat, kenapa gue harus dapet yang begini sih," gerutu Ajax, namun tetap menggamit ponsel dan mengunggah cuitan pada akunnya.
Botol kembali berputar, kali ini mendarat pada Hu Tao. "Apa darenya?" antusias Lumine, matanya ikut berbinar. "Confess ke crush di twitter dan tag orangnya," jawab Hu Tao membaca isi kertasnya. "Gila, ya? Yoimiya 'kan terkenal!"
"Udah ngaku nih kalau suka Yoimiya? Ngga denial lagi? Pasti berani dong, masa cupu banget," goda Heizou tidak mau ketinggalan mengompori. Wajah Hu Tao bersemburat merah. Sepertinya sudah tidak ada gunanya menutupi, toh gerak-geriknya sudah ketahuan. Karena tidak ingin dianggap cupu, ia harus melakukan konsekuensinya. "Argh, semoga dia ngga marah."
Putaran ketiga, Kaeya mendapatkan gilirannya. "Tweet something controversial," Kaeya menuturkan isi kertasnya. Venti menjentikkan jari lalu membisikkan sesuatu di telinga Kaeya.
"Hah, anjir ogah! Ntar gue diusir gimana?" protes Kaeya. Venti hanya tergelak. "Ya ngga bakal diusir juga, siapa tahu lo malah jadi dibaikin."
Kaeya menimang-nimang saran Venti, sedang yang lain merasa kebingungan oleh apa yang mereka bicarakan. Diluc yang sedari tadi hanya diam rupanya turut ingin tahu. Tanda tanya dan rasa penasaran mereka baru terjawab ketika melihat postingan twitter terbaru milik Kaeya.
***
Senda gurau mengalun di tengah huru-hara permainan mereka kala giliran Heizou ditunjuk dan harus menari bertelanjang dada meski dinginnya udara sudah setara di pegunungan. "Ajax bener-bener gila ngasih darenya, sekarang gue kedinginan!" Tubuhnya bergidik dan segera mengenakan pakaiannya usai menutup penampilan akbarnya. Yang lain hanya terpingkal oleh sisa ingatan akan gerakan asal Heizou di atas lantai keramik tadi.
Putaran selanjutnya, botol berhenti di depan Ganyu. Tantangan yang tertulis di kertasnya adalah describe your first sex experience. Mengetahui hal itu, Keqing lantas memukul kepala Ajax dengan bantal, tidak terima kekasihnya mendapat dare seperti itu. Keqing menolak keras, kemudian meneguk dua shot menggantikan Ganyu sebagai konsekuensi.
"Sialan si kucing galak, muka ganteng gue jadi bonyok. Dasar pacar protektif," gerutu Ajax mengelus kepalanya. "Gue tambah deh aturannya, hukuman minum boleh dibagi dua asal minumnya dibagi lewat mulut ke mulut!"
Aturan baru itu terdengar lebih menantang sekaligus menambah panas suasana malam mereka. Tidak ada yang menentang, sebab kesadaran mereka sudah di ambang angkasa. Akal mereka dikendalikan oleh suasana serta pengaruh alkohol. Malam ini kelak menjadi malam panjang nan gila yang tidak terlupakan bagi mereka.
Putaran entah keberapa, mendarat tepat ke arah Eula. Tepuk tangan mengisi ruangan karena antusias, akhirnya sang tuan rumah mendapat gilirannya. Ketika Eula membaca isi kertasnya, matanya membulat sempurna. Mereka mulai menduga-duga apa tantangan yang didapat Eula. Barulah sorak riuh berhamburan kala Eula menarik Amber ke dalam pelukan sekaligus menyatukan bibir mereka. Amber tidak mengelak, justru memejamkan mata ikut hanyut dalam ciuman Eula. Heizou diam-diam mengambil kertas Eula kemudian bergumam, "Oh pantes, ask one person to make out with you."
Tanpa menghiraukan Eula dan Amber yang masih asyik bercumbu di sisi ruangan, Kaeya memutar botol lagi dan berhenti pada Aether. Memasang telinga, Lumine menegakkan duduk. Ia ingin tahu apa yang didapat oleh kakaknya. "Cepet baca punya lo!" Venti memburu tidak sabaran. Reaksi Aether hampir sama seperti Eula saat membaca isi kertasnya. Ask one person to sit in your lap, begitulah kalimat yang tertera di sana. Ajax, Kaeya, Venti, dan Heizou mulai heboh sendiri, menanti siapa yang akan diminta oleh Aether.
"Lumine," Aether menyebut dengan jelas, telapaknya menepuk sebelah pahanya. "Sini."
Seketika seisi ruangan gempar, mereka berseru diselipi tawa. Lumine mengangkat wajah dan menghampiri Aether, kemudian singgah di atas pahanya seperti yang dititahkan. Aether tidak tinggal diam, tangannya memeluk pinggang kecil adiknya. Tidak ada yang menaruh acuh lebih, toh mereka memang kakak-adik. Sudah menjadi hal biasa berperilaku demikian dengan sesama saudara, kan? Hanya ketika semuanya kembali mengalihkan atensi ke dalam permainan, Aether diam-diam mencuri kecup di leher adiknya tanpa sepengetahuan yang lain.
***
Permainan belum selesai. Mereka masih memiliki sisa-sisa semangat meski kepala terasa seringan kapas sementara kelopak mata mulai memberat. Tutur mereka sudah kacau tetapi botol masih diputar. "Hehe, ini terakhir ya, udah… hik… ada bidadari," Kaeya berujar asal. Putaran botol terakhir pada malam itu terasa begitu lama, kian melambat dan berhenti tepat ke arah Lumine yang masih berada di pangkuan Aether.
Lumine mengambil satu kertas dari dalam toples. "Take a shot for every person playing," eja Lumine kata demi kata dari tulisan di kertasnya. "ANJIR? Harusnya gue tuh yang dapet!" protes Venti padahal kesadarannya hampir melayang di atas awan.
Lumine menelan ludah dengan susah payah. Tidak bisa ia bayangkan meminum sebanyak itu. Sebelum Aether hampir mengajukan diri untuk mengambil alih tantangan Lumine sepenuhnya, Ajax bersikap, "Gini gini, setengah aja, oke? Jadi enam shot. Boleh dibagi dua, tapi inget minumnya harus dari mulut ke mulut!"
Aether menyeringai tipis bak pemangsa yang menemukan ladang berburu. Tantangan adalah tantangan; hukuman adalah hukuman. Dengan Lumine masih dalam rengkuhannya, Aether menuangkan satu shot ke dalam mulut tanpa menelannya, kemudian memegang leher Lumine untuk memiringkan kepalanya lalu mengarahkan bibir mereka untuk bertemu. Campuran antara likuid serta saliva diteguk bersama. Pertemuan bibir mereka begitu basah dan nikmat oleh likuid; sedikit manis, pahit, dan hangat. Lelehannya mengalir dari sisi bibir menuju dagu. Beberapa pasang mata yang melihat pemandangan itu terbelalak, menganga kehilangan kata-kata. Pemandangan yang langka kala sepasang kakak beradik memadu cumbu. Percaya tidak percaya, Aether dan Lumine hanya sedang menjalankan konsekuensi yang sudah disetujui bersama.
Namun Aether tidak serta-merta berhenti. Tubuh Lumine kian lama terhuyung dihanyut candu seiring makin bertambahnya volume likuid yang ditenggak. Kepala Lumine sesaat melayang, menyadari betapa memabukkannya ciuman Aether dalam salutan likuid manis. Dari dalam tubuhnya mengalir rasa familiar seperti setiap ia disentuh Aether. Nafsu Lumine bangkit, sebagian besar dipengaruhi oleh efek alkohol dan lumatan Aether. Aether memagutnya dengan lembut, disertai gigitan kecil pada bibir. Hingga selesai enam shot ditenggak, Lumine tidak ingin cumbunya dilepas, namun akalnya yang tersisa mengharuskannya berhenti karena mereka masih berada di ruang yang sama dengan teman-temannya.
Malam sudah berlalu separuh, permainan diakhiri. Hampir semua orang sudah terkapar dan kehabisan tenaga. Ingatan terakhir mereka terbawa kekap, seolah-olah hanya bunga tidur. Keqing dan Ganyu kembali ke dalam kamar, sedangkan Hu Tao tidak sanggup berjalan akhirnya menjatuhkan tubuh di sisi Venti dan Heizou yang sudah di awang-awang. Diluc, Kaeya, dan Ajax pun sudah memejamkan mata dan terlelap, bahkan Kaeya mendengkur dalam tidurnya. Eula dan Amber sudah tidak terlihat batang hidungnya, mereka melanjutkan bersenang-senang di ruangan lantai 3—mungkin itulah mengapa Eula meminta teman-temannya menempati lantai 2, hal ini rupanya sudah direncanakan dari semula.
Lumine sendiri terduduk lemas dan terpejam di atas pangkuan Aether. Lengannya memeluk leher dan kepalanya terjatuh di atas dada bidang kakaknya. Aether baru saja hendak berdiri dan membopong Lumine bak pengantin kala Lumine melenguh tepat di telinga Aether. Tubuh Aether menegang sebab inderanya menangkap lirih Lumine yang manja nan erotis. "Nghh… Abang-nghh…" Aether kembali membopong Lumine menuju kamar. Sepanjang berjalan, Lumine tidak berhenti mendesah memanggil Aether. Sejauh yang diingat, tubuh Lumine menjadi sangat sensitif saat mabuk. Itu sebabnya Aether tidak pernah membiarkan Lumine minum sendirian.
Selepas sampai, Aether menidurkan Lumine di atas kasur empuk berukuran king-size. Lumine memakai piyama satin berbentuk terusan dengan potongan pendek setengah paha di balik hoodie cream pastel milik Aether yang ia pinjam, menampilkan putih paha serta belahan pantat karena bawahannya tersibak. Rupa Lumine terpoles merah padam efek mabuk, helaian pirang rambutnya sembarang bertempiar menempel pada kulit wajah. Manik Aether berkilat hasrat, disuguhi pemandangan menawan membuat nafsu liarnya lapar.
Lumine bergerak meringkuk sesaat usai tubuhnya tiba di atas kasur, dagunya hampir bertemu lutut. Tangannya terulur menggapai-gapai udara, mulutnya meracau meminta sesuatu. "Ae… Abang-hh Ae…" Aether mendekatkan wajah, telapaknya mendaratkan raba pada kulit pantat Lumine yang semakin terekspos oleh karena posisinya. "Iya, sayang, Lumi mau apa?" bisik Aether di telinga Lumine. Suaranya rendah dan dalam, sarat akan nafsu. Sebab tubuhnya yang ekstra sensitif, Lumine menggeliat hanya karena bisikan rendah Aether. Napasnya semakin memburu, tubuhnya panas mendamba sentuh. "Mau abang… Lumi… nghh— Abanghhh…"
"Haha, dengan senang hati, sayang. Kita lanjutin yang tadi pagi," bisik Aether lagi. Jemari Aether menyelip masuk ke celana dalam, mengelus belah pantat, lalu menuju vagina Lumine yang sudah sangat becek hampir membasahi dalamannya. Aether tertawa kecil melalui hidungnya, adiknya benar-benar sensitif hanya karena alkohol. Aether kemudian menarik tangannya. Baru sedetik jari Aether meninggalkan tubuhnya, Lumine buru-buru merengek merindukan sentuhan.
"Sabar, sayang." Aether memindahkan tangannya masuk dari arah depan tubuh Lumine, menyusup di antara apitan kaki Lumine. Sekali lagi jarinya menyentuh bibir bawah Lumine, mengelus sejenak labia kembarannya sebelum akhirnya jemarinya melebarkan vagina dan jari tengahnya menekan klitoris Lumine. Mulut Lumine terbuka dan desahan keluar bersamaan saat titiknya dimanja. Tangan Lumine memeluk lengan Aether dan mencengkeram pergelangannya. Kemudian Aether memasukkan satu jari ke dalam liang Lumine dan bermain-main di sana. "Lagi-hhh…" erang Lumine, kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri menginginkan lebih. Aether menambahkan satu jari. Lumine semakin merapatkan selangkangan dan menjepit tangan Aether, deru napasnya kian berat. Pinggulnya bergerak-gerak menciptakan friksi demi menambah kenikmatan. Aether tahu yang diinginkan adiknya, sehingga ia menambahkan lagi jari dan kecepatan tangannya. Lumine kesulitan menahan rangsang yang diterimanya hingga desahannya lolos, cukup keras terdengar di dalam kamar. Aether sampai harus menyekap mulutnya dengan tangan lainnya yang bebas.
"Ssh, kecilin suaramu."
Pikiran Lumine nihil hanya terfokus kepada sensasi jari Aether pada liangnya. Telapak Aether tanpa sengaja terus menggesek klitorisnya menambahkan rasa nikmat. Sekujur tubuh Lumine bergetar, punggungnya makin meringkuk, cengkeraman pada pergelangan Aether semakin kuat seiring kecepatan Aether yang bertambah. "Ngehuar... hhau ngehuaar… (Keluar, mau keluar)" racau Lumine sangat tidak jelas karena mulutnya masih tertutup. Lumine sudah di ujung pelepasan namun Aether justru berhenti. Ia mengerang kecewa, gagal mendapatkan orgasme pertamanya.
Aether menjilat daun telinga Lumine sebelum berdesis, "Tahan Lumi, adikku, belum saatnya." Tatapan matanya berkilat puas melihat adiknya amat frustrasi. "Ahhh, Ae…" Butir bening mengalir di ujung mata Lumine. Dadanya naik turun dikuasai birahi.
Aether mencoba mengubah posisi tubuh Lumine menjadi terlentang dan melebarkan kakinya. Ia menarik hoodie yang dipakai adiknya ke atas, menggaet ujungnya dan membawanya ke depan mulut Lumine. "Gigit," titah Aether, "biar suaramu ngga bangunin yang lain." Lumine menurut dan menggigit ujung hoodie tersebut. Kini bagian atas piyama satin Lumine terlihat. Aether mengakui dalam hati piyama itu sangat manis dan cocok dipakai Lumine, namun saat ini ia tidak membutuhkannya. Maka Aether menyingkap terusan piyama Lumine, mempertontonkan perut mulus serta buah dada bulat sintal yang masing-masing pucuknya menegang.
Lagi-lagi Aether menggoda adiknya. Pada payudara yang dipamerkan, Aether tidak kunjung menyentuhnya hingga pucuk itu menjadi dingin oleh udara. Ia memilih memanja dan mengecup perut, menyapu sentuh pada paha dan bokong Lumine serta meremasnya perlahan. Lumine melebarkan mata dan kembali mengerang, gigitannya menguat karena tidak mendapat sentuh pada bagian tubuh yang diinginkan. Melihatnya Aether terkekeh, napasnya berhembus di perut Lumine.
Sejurus kemudian Aether bangkit, naik menuju dada dan mengulum sisi kiri payudara Lumine, tubuh yang lebih besar menindih tubuh yang kecil. Sebelah tangan Aether mencubit sisi payudara lain, memilin dan memutar-mutar putingnya yang sensitif. Sementara sesak dirasakan Aether dari balik celananya. Pinggulnya ia dorong maju, hingga kaki Lumine terangkat dan bagian tubuh bawahnya bisa merasakan juga ereksi kakaknya. Si bungsu semakin terangsang. pantatnya ia gerakkan menggesek pada bagian Aether yang membengkak masih terhalang kain celana. Kedua kakinya memeluk tubuh Aether merapatkan tubuh keduanya.
Lidah Aether sekarang menjilat-jilat ujung kemerahan adiknya, memutari areolanya. Lumine menegakkan dada merasakan geli pada sebelah putingnya. Kemudian Aether beralih pada sisi payudara lain yang mengundang minta dimanja juga. Ia gigit kecil putingnya hingga Lumine berjengit tertahan. Bisa-bisa hoodienya robek karena digigit terlalu kuat.
Ia sudah tidak dapat menahan lebih lama lagi. Lumine ingin lebih. Ia ingin lubangnya diisi oleh kejantanan Aether yang besar, ia ingin merasakan perutnya keras dipenuhi dengan milik Aether seorang. Aether, kakaknya, satu-satunya yang ia damba. Napasnya semakin tidak teratur. Gigitan pada hoodienya terlepas, berganti menjadi rengekan memohon. "Ae… masukin…"
Seperti mantra, ucapan Lumine langsung diamini oleh Aether. Tanpa menunggu lama Aether menarik celana dalam Lumine dan melepaskan celananya, batang penisnya yang berkedut menegang akhirnya mencuat terbebas dari sesak. Aether menurunkan satu paha Lumine, lalu memegang pangkal batangnya dan mengarahkannya pada bibir bawah adiknya. Baru ujungnya menyentuh labia, Aether menggeram rendah. Vagina Lumine sangat licin akibat cairan yang dihasilkan terus menerus. Sensasi hangat, panas, dan nikmat menyengat beradu menjadi satu. Satu kaki Lumine yang lain ia angkat hingga bertumpu pada pundaknya, baru kemudian dalam sekali sentak Aether masukkan penisnya ke dalam liang Lumine. Hangat dan dalam. "Ahhh—!!" Lumine terpekik, kembali kehilangan akal merasakan penuh di bawah sana. Rasa yang sedari tadi dinanti-nanti. Aether tahu dengan posisi ini, Lumine bisa merasakan seluruh batang penisnya hingga ke pangkal membuat kenikmatan yang berkali-kali lipat.
"Jangan keras-keras nanti ketahuan," desis Aether di bawah napasnya.
Aether menarik napa. Pinggulnya mulai bergerak, tangannya menggenggam paha Lumine. Penisnya keluar masuk dengan ritme sempurna pada lubang milik Lumine. Tatapan Lumine membelalak pada langit-langit, terkejut oleh tenaga kakaknya yang seperti tidak ada habisnya sekalipun sudah minum banyak alkohol. Ia lupa bahwa batas toleransi kakaknya jauh dibanding dirinya maupun orang lain di sekitarnya, bahkan bisa diadu dengan Venti.
Dorongan Aether mencepat hingga tidak ada lagi celah bagi Lumine untuk memikirkan hal lain selain kakaknya. Tangan kanan kirinya hanya bisa menarik-narik sprei hingga buku-buku tangannya memucat. Lumine bersusah payah menahan lenguhan serta desahan dari bibirnya. Berkali-kali titik manisnya dihujam oleh ujung batang Aether membuat dirinya terbang ke langit ketujuh. Yang ia pikirkan saat ini hanyalah Aether, Aether, dan Aether. Aether benar-benar tahu spot terbaiknya yang memberikan sensasi luar biasa.
Mendengar desah tertahan Lumine justru membuat penisnya kian membesar dan bersemangat. Semakin ganas ia menghentak lubang kenikmatan Lumine seolah-olah itu hal terakhir yang bisa ia lakukan di dunia. Hingga Aether mulai merasakan sesuatu hendak menyeruak dari dalam batangnya. Ia menundukkan kepalanya, sepertinya hampir mencapai puncaknya.
"Ae.. hh… cium…" Lumine menuntut, kemudian Aether menurunkan kaki Lumine dan memperpendek jarak bibir mereka. Lumine melingkarkan tangannya di kepala Aether dan menjambak pelan rambutnya sambil Aether terus menggerakan pinggul. "Ahh, so good Lumine, you ..hh… taste so good… " puji Aether di tengah lumatan bibir seraya menyemburkan mani dalam lubang kembarannya bersamaan dengan klimaks Lumine memuncratkan cairan. Lumine terpejam merasakan kehangatan mengisi seluruh dindingnya. Ia menyukainya. Ia menyukai setiap kali Aether keluar di dalamnya. Ia menyukai kehangatan yang mereka bagi setiap kali memadu raga.
Malam mereka sangat panjang. Peluh menetes, deru napas seragam berirama, keduanya terbaring lemas usai bercinta. Namun mereka masih harus membersihkan sisa-sisa kegiatan mereka. Beruntung bau alkohol semerbak lebih kuat sehingga mereka tidak sukar menutupi bau basa. Selagi berberes, akal mereka sudah kembali berfungsi. Sejenak keduanya diserang panik, hanya bisa berharap cemas dalam hati semoga tidak ada mengetahui kegiatan mereka barusan. Lalu Aether pun meninggalkan kamar dan bergabung bersama para pemuda—dan Hu Tao—di ruang tengah untuk beristirahat sehingga nanti siang mereka kembali dalam keadaan fit dan siap pulang ke kota.