Actions

Work Header

Mad Author

Summary:

“Aku….suka….sama..kamu. Aku nulis biar kamu baca tulisanku karena cuma kamu yang ngerti aku, muji aku,” tatapan matanya tajam namun tutur katanya lembut. Mereka berdiri berhadapan. Mario menggenggam tangan Wilona.

“Oh, ya terima kasih,” Wilona benar-benar bingung bereaksi apa meski orang yang menggenggam tangannya berbicara lembut namun perasaan Wilona seakan waspada.

“Apa perasaanku salah? Apa masih kurang? Aku harus gimana biar perasaanku gak sepihak? Apa aku harus nyelakain orang? Aku udah lakuin itu tapi kamu gak peduli. Kamu cuma peduli sama tulisanku, ya kan?”

Notes:

Minghao as Mario/Marion
Fem!Woozi as Wilona
Hoshi as Sandi

Tulisan ini terinspirasi dari lagu Creep milik Radiohead.

Work Text:

Setelah mengunggah tulisan baru ke akunnya, Mario dengan tenang mencicipi ice americano di mejanya. Sebuah perayaan kecil setelah tulisannya selesai. Walaupun, yang berkomentar itu-itu saja. Setidaknya tempat semu bernama platform menulis itu membuatnya merasa jadi manusia. Merasa diperhatikan dan divalidasi perasaanya.

Satu notifikasi di akun Mario masuk, dia tahu itu akun milik Wilona, orang yang jadi inspirasi tulisan Mario. Dia tahu karena Wilona menggunakan foto profil dan nama asli. Wilona Tidak hanya sekedar mengomentari, tetapi juga memberi semangat. Sesuatu yang jarang didapatkan Mario di dunia nyata.

Komentar Wilona biasanya sederhana seperti, “Tulisanmu benar-benar bagus. Aku menunggu kelanjutannya, Jiayou,” atau “Semangat menulis, ya,” Siapa sangka tulisannya ditunggu Wilona. Walau dia tahu Wilona tidak tahu itu akun miliknya. Karena dia tidak menggunakan nama asli di tulisannya. Dia memilih bersembunyi dengan nama samaran. Tak mau orang lain tahu perasaannya.

Dia berharap bukan sekadar penulis bayangan yang dikagumi Wilona Diam-diam. Dalam hati berharap kalau dia spesial. Namun, bagaimana cara menjadi kesayangan Wilona? Jika interaksinya dengan Wilona hanya sebatas bertukar senyum di kelas. Kalaupun berinteraksi juga seperlunya.

*****
Pintu kelas dibuka menampilkan Wilona yang masuk bersama teman dekatnya, Sandi. setidaknya itu yang Mario tahu dari kedekatan keduanya. Hari ini Wilona memakai pakaian pink. Senyum cerah ditambah kulitnya yang seputih susu membuatnya terlihat menarik. Ditambah tubuh mungil dengan rambut hitam sebahu yang kadang tidak diikat. Mata yang tidak terlalu besar dan bibir merah muda yang tidak terlalu tebal tetapi juga tidak tipis.

“Mario itu aneh, banyak melamun. Tidak cerdas juga, kerjaannya hanya menulis puisi tidak berguna,” ucapan itu sering terdengar di telinga Mario. Entah sengaja atau cuma bisik-bisik. Mario tidak mau melawan mereka karena dia tidak suka dengan konflik.

Pernah sekali Wilona membela, “Bisa gak kalian jangan menjelekkan orang? Kita gak pernah tahu kehidupan orang lain.”

Mario akan selalu mengingat itu, saat Wilona membelanya. Entah mengapa dia seperti terpana dengan senyuman Wilona.

*****

Mario tidak pernah kehabisan kata-kata mendeskripsikan Wilona. Memujinya dengan kata-kata yang baru saja ia temukan di novel. Catatannya penuh dengan berbagai macam ide. Berharap suatu saat Wilona membaca tulisannya, bukan membaca tulisan Mar si penulis tetapi Mario.

Hari ini dia ke kedai makanan cepat saji. Sudah lama mengantri ternyata lupa membawa dompet. Sungguh sial sekali harinya. Namun, kesialan itu berubah saat Wilona berada di belakangnya.

“Mar, pakai uangku dulu gak papa,”

“Beneran gak papa?”

“Iya. Kayak sama siapa aja,” Ujar Wilona menyerahkan uangnya ke Mario dengan senyum yang mengembag di pipinya. Pipi Wilona seperti mochi yang membuat Mario otomatis tersenyum.

“Terima kasih,”

Hari ini takkan ia lupakan saat Wilona menjelma bak malaikat yang menolongnya dari kesialan. Tetapi sungguh sial, dia tidak bisa melupakan aroma parfum Wilona. Aroma bunga yang menenangkan cocok dengan Wilona yang indah. Setidaknya itulah pemikiran Mario hari ini.

****
Mario membuka kembali akunnya untuk menunggu komentar Wilona. Mungkin Wilona belum membaca tulisannya. Dia lalu menutup laptopnya dan memainkan ponselnya. Membuka akun sosial medianya. Terdapat foto Wilona dan Sandi cukup dekat.

Entah mengapa dalam hatinya tumbuh perasaan yang aneh. Cukup membuatnya tidak nyaman satu malaman. Apa rasa kekagumannya pada Wilona mulai berubah. Dia tak tahu perasaan apa namun dia tidak suka jika orang lain dekat dengan Wilona. Hanya dia yang boleh memiliki Wilona.

Iwish I was special, wil," Ucapnya lirih setelah melihat foto Wilona dan Sandi. Ia memandangi foto tersebut cukup lama.

****
Suasana kelas mereka heboh setelah mendengar kabar bahwa Sandi kecelakaan. Katanya sih ada motor lain yang menyerempetnya. Syukurnya lukanya tidak terlalu parah mungkin anak itu tidak masuk kelas beberapa hari.

Mario tahu, Wilona sangat khawatir dengan Sandi. Wajahnya terlihat lebih suram dari biasanya. Sebenarnya Sandi dan Wilona hanya sebatas teman atau lebih? Terlebih mereka sering terlihat pulang bersama. Atau mungkin cuma searah?

Tidak ada yang tahu, orang yang menyebabkan Sandi celaka adalah dia. Sayangnya, Sandi jatuh dari motornya tidak separah yang ia rencanakan. Tuhan bahkan tidak merestui rencananya. Atau si Sandi ini dekat dengan Tuhan? Padahal Mario ingin sekali Sandi mati saat itu juga. Minimal kepalanya menghantam aspal dengan keras dan berdarah. Setidaknya jika Sandi mati, dia punya peluang mendapatkan Wilona.

“Sialan,” sumpah serapa Mario dalam hatinya.

I want you to notice when I'm not around
You're so fucking special
I wish I was special

Lagu itu berputar lagi di headphone nya. Diam-diam dia mengamini bait lagu yang dinyanyikan si vokalis. Apa dia memang seorang yang creep?

******
Tak… tak….tak…

Suara keyboard beradu secara sedang balapan dengan isi kepala. Komentar Wilona masuk lagi. Tetapi, kali ini Mario meminta mereka untuk bertemu di cafe. Sudah saatnya dia mengungkapkan perasaannya. Wilona harus tahu bahwa Marion itu dirinya. Meskipun nama Marion adalah gabungan namanya dan huruf di nama belakangnya. Tetapi, tetap saja di ingatan Wilona Mario dan Marion adalah orang yang berbeda.

Walau nantinya, Wilona akan terkejut setengah mati kalau Marion bukanlah seorang perempuan. Dia lantas menyusun rencana agar nantinya mengajak Wilona ke rumahnya. Lalu, mereka akan mengobrol ringan. Rencana itu sangat manis di kepalanya.

Sebuah pesan masuk, Wilona mengiyakan pertemuan mereka.

“Yes, kamu harus tahu perasaanku,”

Lagu itu menyala lagi dengan keras tetapi kali ini Mario menggantinya. Karena dia yakin setelah pertemuannya dengan Wilona. Dia bukanlah orang yang creep. Apa benar begitu?

****

Ini sudah menjelang sore, tetapi matahari masih terik di atas kepala. Seusai turun dari ojek online yang dipesannya, Wilona merapikan rambut dan pakaiannya. Lalu, menyemprotkan ulang parfum yang diambilnya dari tas. Pertemuan hari ini harus punya kesan pertama yang baik. Setidaknya dia tidak ingin terlihat berantakan di depan seseorang yang ditemuinya hari ini.

Sebelum membuka pintu cafe, tak lupa jari-jari Wilona mengetik untuk mengabarkan bahwa ia sudah tiba. Senyum memgembang di pipinya sembari menerka-nerka rupa seseorang di balik akun Marion. Apa seorang perempuan berambut panjang? Atau seseorang berambut nyentrik? Atau malah laki-laki pemalu?

Sebuah pesan singkat masuk ke ponselnya, Marion sudah menunggu di meja nomor 8. Wilona masuk ke cafe disambut oleh musik lofi yang mengalun lembut serta aroma kopi yang menyapa indera penciuman nya. Pilihan Marion cukup bagus, batinnya. Matanya memperhatikan sekelilingnya sambil mencari meja nomor 8.

Betapa terkejutnya saat Wilona melihat ke meja nomor 8, tidak menemukan sosok perempuan. Mulutnya menganga saat Mario melambaikan tangan ke arahnya. Dengan senyum canggung Wilona berjalan ke meja nomor 8.

“Aku tahu kamu pasti terkejut,” sapa laki-laki berambut mullet itu dengan ramah sedangkan Wilona hanya mengangguk.

Sebenarnya hal yang yang membuat Wilona bingung, bukan karena ekspektasinya dirusak oleh kenyataan bahwa sosok Mario adalah orang yang dia kenal. Tetapi, mengapa harus menggunakan nama Marion untuk menemuinya? Padahal bisa saja langsung mengirim pesan dan mengaku langsung.

“Mario, aku bingung,” Ucap Wilona mengambil jeda sebentar. “Kenapa kamu ngajak aku ketemu disini pakai nama samaran? Kenapa gak langsung kirim pesan? Kita kan saling kenal,”

Mario cuma tersenyum lembut tanpa menjawab pertanyaan Wilona. Sepertinya Wilona tahu Mario tidak suka ditanya hal itu. Lalu mereka saling diam setelah menu yang dipesan diantar ke meja. Keheningan ini entah karena tidak ada topik atau menikmati makanan. Tidak ada bedanya.

“Sebenarnya aku bingung tujuanku mengajakmu kemari. Karena kita juga tidak sedekat itu. Jarang berbicara atau berinteraksi. Tetapi, aku pikir penting rasanya mengucap terima kasih secara langsung,” Mario menjawab setelah menaruh kembali minuman yang baru ia minum.

“Terima kasih untuk apa?” Wilona memiringkan kepalanya untuk menunjukkan atensi.

“Mendukung tulisanku. Aku tidak pernah mendapatkan itu,”

“Itu bukanlah apa-apa. Tulisan bagus harus diapresiasi,” ucapan Wilona dengan lembut.

Obrolan mereka berlanjut tentang hobi dan kegiatan sehari-hari. Wilona merasa ada yang aneh tetapi tidak tahu apa. Ada perasaan yang seharusnya menyuruhnya pulang dan berhati-hati dengan orang yang ada di depannya. Namun, pikirannya menentang perasaannya. Siapa tahu hanya kekhawatirannya saja.

“Wilona, mau mampir ke rumahku? Dekat sini kok,”

“Boleh,” Wilona menerima ajakan Mario tanpa ragu.

Mario tidak bohong saat ia bilang rumahnya tak jauh dari cafe yang mereka kunjungi tadi. Hanya butuh 5 menit berjalan kaki. Sepanjang perjalanan ke rumah Mario, mereka hanya diam. Mario tidak bisa menyembunyikan senyumnya.

Sesampainya di rumah Mario, Wilona begitu takjub dengan rak berisi novel yang ada di ruang tamu. Apa Mario memang serajin itu membaca buku? Ia melihat-lihat tidak ada yang salah dengan rumah Mario. Tetapi, mengapa tidak ada rasa tenang. Padahal rumahnya di cat warna krem, pencahayaannya juga bagus dan tak lupa tanaman hijau di sudut ruang tamu.

“Wilona,” Panggil Mario lalu menggigit bibir bawahnya.. “Aku mau ngomong sesuatu.”

“Mau ngomong apa? Serius banget kah? Atau mau curhat? Ya aku dengerin kok,”

“Aku….suka….sama..kamu. Aku nulis biar kamu baca tulisanku karena cuma kamu yang ngerti aku, muji aku,” tatapan matanya tajam namun tutur katanya lembut. Mereka berdiri berhadapan. Mario menggenggam tangan Wilona.

“Oh, ya terima kasih,” Wilona benar-benar bingung bereaksi apa meski orang yang menggenggam tangannya berbicara lembut namun perasaan Wilona seakan waspada.

“Apa perasaanku salah? Apa masih kurang? Aku harus gimana biar perasaanku gak sepihak? Apa aku harus nyelakain orang? Aku udah lakuin itu tapi kamu gak peduli. Kamu cuma peduli sama tulisanku, ya kan?”

Dahi Wilona berkerut, “Maksud kamu nyelakain orang itu apa? Siapa yang kamu celakain? Gila kamu, Mario,” Wilona mencoba melepaskan genggaman tangan Mario. Tapi Mario masih tak mau melepaskannya. Tenaganya lebih kuat dari tenaga Wilona.

“Kamu kira Sandi kecelakaan tunggal sebulan yang lalu? Aku yang merencanakannya,”

Wilona benar-benar ingin keluar dari rumah Mario. Nyawanya seperti di ujung tanduk, “Gila kamu, Mario. Sandi gak salah apa-apa,”

“Tapi, dia menghalangi cintaku ke kamu, Wilona. Kenapa harus dia sih? Apa karena aku pecundang yang cuma bisa diam terus nulis tentang kamu pake nama samaran?”

Wilona berusaha mundur mencari jalan keluar dari rumah Mario. Pasti ada jalan keluar. Sialnya Mario mengikuti Wilona seolah tak ingin melepaskannya. Dengan cekatan Wilona mengetik pesan ke Sandi.

“Kamu mau lari kemana sih? Kenapa gak kita duduk tenang berdua ngobrol, terus kamu kasih aku kesempatan? Kamu mau keluar juga percuma. Semua kunci rumah ada di aku. Kamu terjebak disini,” kali ini suara lembut Mario terdengar berbeda di telinga Wilona terlebih setelah Mario menunjukkan kunci lalu melemparkannya ke luar rumah.

“Mario tolong aku mau pulang. Tolong jangan suka sama aku. Bukan karena mau menolak cintamu. Tapi aku sama Sandi udah pacaran,” kata Wilona dengan wajah yang pucat pasi.

Mario tertawa miris, tawa yang bingung diartikan apa. Jantung Wilona berdebar kencang, pikirannya berkata Mario akan melakukan hal-hal gila. Terlebih hanya mereka berdua di rumah ini. Wajahnya pucat pasi.

“Wilona, kamu gak sama aku. Harusnya gak sama sandi,” ucap Mario dengan penekanan di ujung kalimatnya.

Mario mengambil pisau dapur dan mengarahkannya ke Wilona. Wilona mundur dan berusaha membuka pintu dapur. Tetapi sepertinya pintunya memang dikunci. Jika dia tidak kabur sekarang. Entah apa yang akan terjadi.

“Udah aku bilang, kamu gak bisa kabur,”

Wilona tidak peduli, dia tidak mau mati. Jika pun mati Sandi tau hal itu. Mario mendekat ke arahnya. Wilona tidak punya pilihan lain selain pasrah. Pisau dilayangkan ke arah Wilona. Wilona tutup mata dan membayangkan dia akan mati. Tetapi, setelah menghitung mundur Wilona tidak merasakan apa-apa. Lalu, dia membuka matanya. Mario sedang menusuk perutnya berulang kali.

“Aku tidak bisa membunuhmu, Wilona. Biar aku saja yang mati. Setidaknya kau akan ingat hari dimana melihat orang mati tepat di depan matamu,”

Wilona histeris, tenggorokannya tercekat, “Mario.. jangan… mati,”

Wilona sesak napas melihat darah berceceran di depannya. Tangannya gemetar mencari ponsel untuk menghubungi Sandi. Susah payah untuk mengatur napas, bicara satu persatu kata yang sandi bingung. Ujungnya hanya bisa mengirimkan lokasi.

“Selamat.. tinggal… Wilona,” bisa-bisanya dia tersenyum setelah tubuhnya ambruk dan mati.

“Mario..Mario.. jangan mati,” Wilona tidak berani menyentuh tubuh Mario yang tergeletak tak berdaya. Wilona menjerit sekuat tenaga. Tak berapa lama Sandi datang. Setelah mendobrak pintu rumah dengan membawa temannya. Lebih tepatnya menemukan kunci yang dilemparkan Mario ke luar rumah.

“Wilona, kamu gak papa?” Tanpa jawaban, Wilona ambruk di pelukan Sandi. “Iya, ayo keluar. Aku tuntun kamu,”

Sandi menelpon ambulan dengan satu tangannya mengelus punggung Wilona.

****
Wilona masih sempat bermimpi buruk selepas kejadian di rumah Mario. Bahkan ia tak berani tidur sendiri. Bayangan kejadian itu terasa. Itu sebabnya Sandi pindah untuk menemani Wilona. Mungkin adanya Sandi bisa menemani Wilona.

“Wilona, kamu mimpi buruk lagi? Mario udah tenang disana,”

Wilona tidak menjawab hanya menoleh ke arah sampingnya. Sandi mendekatkan tubuhnya ke arah Wilona untuk memeluknya. Sebuah kecupan di dahi mendarat.

“Aku disini, aku disini,” sambil menepuk pundak Wilona dengan lembut. “Mungkin kita perlu ke psikolog. Aku temani kamu, Wilona,”

Wilona mengangguk, Sandi lalu mencium kening Wilona lagi. Menyanyikan lagu agar kekasihnya tertidur.

****
Wilona masih bingung dengan motif bunuh diri Mario. Diam-diam dia kembali membuka tulisan Mario. Membaca dari yang paling lama. Sandi tertidur lelap di sampingnya. Ia baca dengan saksama, pelan-pelan dengan cermat agar tahu isi hari Mario. Benar, tulisan Mario mengarah kepadanya. Mario lihai menuliskan seperti cerita pendek. Siapa sangka itu kisah nyata dan Wilona adalah tokoh utama di dalamnya.

Deskripsi tentang Wilona dalam sudut pandang Mario sangat berbeda. Selama ini Wilona berbuat baik kepada Mario. Sederhananya karena Mario dan Wilona teman sekelas. Wilona hanya tidak suka dengan orang-orang yang meremehkan Mario. Sayangnya karena Mario jarang diapresiasi orang-orang tersayangnya. Serta keluarganya yang rumit, Mario merasa kebaikan yang dilakukan Wilona ada maksud lain.

Mario selalu berharap statusnya berubah dari menjadi pengagum rahasia naik tingkat menjadi kekasih. Sayangnya Wilona memilih Sandi. Wilona benar-benar tidak tahu harus bereaksi apa. Membaca tulisan terakhir Mario, tulisannya sendu. Wilona menangis sampai Sandi terbangun.

“Kamu kenapa, Wilona?”

“Sedih,” Lalu menunjukkan tulisan Mario.

“Tenang, tenang aku disini,” Sandi memeluk Wilona hingga terlelap.

“Terima kasih,”

****