Chapter 1: Prolog
Chapter Text
BoBoiBoy © Monsta
Walau Habis Terang © Shaby-chan & Roux Marlet
Penulis tidak mendapatkan keuntungan material apa pun dari karya kolaborasi ini.
.
PROLOG
.
.
.
.
.
Orang bilang, pengalaman adalah guru yang berharga.
Harusnya Solar belajar dari pengalaman. Bukan mesti pengalamannya sendiri, sih. Bisa dibilang saat ini dia sedang mengalami hal itu.
Setidaknya, sebelum ini, dia sudah diberi tahu pengalaman orang yang senasib dengannya.
Seandainya Solar belajar dari rumor yang ternyata lebih dari sekadar urban legend, mustahil dia lari-lari di lorong sekolah saat hari gelap dan di luar hujan badai begini.
“KAMU GAK AKAN BISA LARIII!!!”
Pekikan nyaring dari dunia lain itu membuat bulu kuduk Solar berdiri. Ada jendela yang bocor di sisi lorong, air hujan menggenang di lantai dan Solar terlambat melihatnya untuk mengurangi kecepatan. Sepatunya tergelincir, mendorong tubuhnya terjungkal dengan keras ke ujung lorong—ke deretan tangga yang menurun ke lantai tiga.
Suara itu benar. Solar tak akan bisa lari lagi setelah kejadian ini dan bodohnya dia baru menyadari itu saat jeritannya sendiri menggema di tengah kesunyian.
Suara sesuatu menghantam dasar lantai tiga menyusul, diiringi tawa mengerikan.
.
.
.
.
.
bersambung
.
.
.
.
.
Catatan Penulis:
Halo! Kali ini Shaby dan Roux hadir bersama dengan ide yang sudah berlumut tapi dibuang sayang dan diberi judul random dari lagunya P*terpan XD
.
Akhir kata, terima kasih sudah membaca!
(8 Agustus 2025)
Chapter 2: Si Nomor Satu
Chapter Text
BoBoiBoy © Monsta
Walau Habis Terang © Shaby-chan & Roux Marlet
Penulis tidak mendapatkan keuntungan material apa pun dari karya kolaborasi ini.
.
Bab 1: Si Nomor Satu
.
.
.
.
.
“Nilai terbaik di kelas Kebenaran, dengan rata-rata sembilan puluh sembilan diraih oleh … Solar!”
Hidung si pemilik nama sudah kembang kempis saat Pak Guru Papa Zola mengumumkan peraih nilai tertinggi ujian semester. Solar bisa merasakan tatapan kagum dan mendengar bisikan teman-teman sekelasnya, yang beberapa di antaranya juga adalah saudaranya.
“Selamat, Solar!” Dia mendengar Gempa bergumam saat dia lewat, maju ke depan kelas untuk menerima hasil ujiannya.
“Itu adik kembarku!” Duri memekik bangga.
“Habis ini nggak perlu begadang lagi, tuh, si kalong,” celetuk Halilintar, pedas tapi memuat nada cemas.
“Wah, ada yang juara kelas, nih. Habis ini kita prank dikit, yuk.” Taufan melontarkan ide jahil kepada Blaze. Gempa melempar senyum penuh makna ke arah mereka berdua. Ais sedang menguap di kursi sebelah Blaze saat kembarannya itu bergidik mendapat senyum dari Gempa.
Solar sendiri tersenyum lebar di depan kelas, berterima kasih pada sang guru, lalu kembali ke tempat duduk. Bisa dibayangkannya nanti namanya akan bertengger di papan pengumuman sekolah dan semua orang akan bertanya ingin tahu: siapa si nomor satu dari kelas satu, yang nilainya kurang satu poin saja dari angka sempurna?
Namun, betapa anehnya papan pengumuman. Nama Solar ada di baris kedua, sedangkan baris pertama kosong. Dilihatnya daftar nilai murid-murid kelas dua dan tiga, rupanya sama saja.
“Mas Sai!” panggil Solar saat mendapati seorang kakak kelas yang dikenalnya di klub sains melintas di dekat situ. “Kamu tahu kenapa daftarnya begini?”
“Hah?” Sai mendekat dan membaca. “Baris pertamanya kosong?”
“Iya.”
“Oh, berarti nilaimu tertinggi, ya, Solar? Selamat, ya!”
“Bukan itu yang penting. Kenapa namaku nggak di baris pertama?”
“Aku juga nggak tahu.” Sai membaca daftar kelas dua. “Teman sekelasku, Nut, juga nilainya tertinggi, dan namanya ada di baris kedua. Seingatku dari dulu gitu, deh. Iya, nih, Mbak Mara peraih nilai tertinggi kelas tiga, tapi namanya juga di baris kedua.”
“Kenapa dikosongin sih? Buang-buang kolom saja!” tanya Solar agak kesal. Imajinasinya soal dirinya yang berada di peringkat satu sirna sudah.
“Sudah kubilang aku juga nggak tahu,” ujar Sai lagi. “Mungkin itu tradisi di sekolah ini agar siswa nggak terlalu terobsesi terhadap rangking.”
“Hah? Aneh banget, bukannya sistem rangking ini berfungsi agar siswa bisa termotivasi untuk menjadi yang terbaik ya?” tanya Solar lagi.
Sai hanya menggelengkan kepalanya. “Sudahlah, Solar. Nggak usah terlalu dipikirkan. Lagipula dapat nilai tertinggi saja sudah cukup menjadi bukti kalau kamu terbaik, ‘kan?”
Sai lalu berjalan pergi meninggalkan Solar, tak peduli dengan wajah Solar yang masih tampak kesal.
.
.
.
.
.
“Ututu … si bungsu masih ngambek rupanya karena nggak peringkat satu!”
“Udahlah, Mas Taufan,” ucap Solar sambil menepis tangan Taufan yang hendak mencubit pipinya.
Mereka bertujuh berjalan bersama menuju gerbang sekolah seperti biasa. Karena mereka harus menunggu Blaze yang masih ada kegiatan di klub bola, maka mereka baru pulang ketika hari mulai sore dan sekolah mulai tampak sepi.
“Hmm … tapi kenapa, ya, peringkat satu di sekolah ini dikosongkan?” tanya Duri tiba-tiba. “Padahal nambah satu kolom aja bisa bikin jumlah halaman bertambah, lalu jumlah kertas yang dipakai juga lebih banyak. Sangat nggak ramah lingkungan ….”
“Astaga Duri, pikiranmu bisa sampai sejauh itu, ternyata,” ucap Blaze heran.
“Duri ini bisa banget jadi duta program sekolah Go Green ,” komentar Ais tiba-tiba. “Ya, nggak, Mas Gempa?”
“Iya. Bagus, nih, pemikirannya Duri.” Gempa ikut tersenyum.
Blaze lalu menatap ke arah Gempa. “Mas Gempa tahu, nggak? Yang soal peringkat satu kosong itu. Mas Gempa, ‘kan, ketua OSIS. Siapa tahu pernah dengar dari guru-guru gitu.”
“Hmmm. Aku juga nggak tahu, sih,” jawab Gempa. “Guru-guru cuma bilang ‘untuk penghormatan’ aku juga nggak tahu apa maksudnya. Mungkin perkataan Mas Sai benar, supaya siswa-siswa nggak terlalu terobsesi dengan peringkat.”
“Atau mungkin …,” Taufan tiba-tiba bicara dengan nada pelan, “... peringkat satu di sekolah ini ternyata … terkutuk.”
“Hah?! Maksud Mas Taufan apa?!” tanya Duri dengan nada kaget.
Taufan sengaja menjeda biar dramatis. “Jadi … sebenarnya–”
BUK!
“ADUH!”
Rupanya Halilintar, yang barusan memukul kepala Taufan.
“Sudah, nggak usah cerita yang aneh-aneh,” katanya. “Sudah cukup cerita horor di sekolah ini, kamu jangan menambahkan.”
Alih-alih mengiyakan, Taufan malah terkekeh.
“Mas Hali masih marah, ya, gara-gara aku kasih tantangan mengambil topi Mas Hali di pohon beringin keramat yang ada di belakang sekolah?”
“Kau mau jadi samsak latihan silatku ya?”
“AMPUN MAS HALI-!”
Solar hanya mendengarkan perbincangan saudara-saudaranya dalam diam. Perasaan kesalnya masih ada.
Aneh sekali, peringkat satu dikosongkan tanpa alasan yang jelas, membuat rumor-rumor aneh muncul. Memangnya peringkat satu itu hal yang buruk, ya?
Tiba-tiba, sebuah ide tebersit di kepala Solar. Ide yang membuat Solar melambatkan langkahnya, membuatnya agak tertinggal dari saudara-saudaranya.
“Solar? Kamu kenapa?” tanya Gempa yang pertama menyadarinya.
“Uhm … maaf, Mas Gem.” Solar tiba-tiba berbalik ke arah gerbang sekolah. “Anu … ada barangku yang ketinggalan! Kalian duluan saja! Aku menyusul!”
Solar langsung berlari kembali ke dalam sekolah, meninggalkan saudara-saudaranya yang menatapnya heran.
Setelah berlari cukup lama, akhirnya Solar sampai ke tujuannya. Bukan ke ruang kelas, tapi ke papan pengumuman nilai. Sebuah seringai muncul di wajahnya. Dia mengeluarkan sebilah pulpen dari kantongnya, lalu mengarahkannya ujungnya ke kertas papan pengumuman nilai kelasnya.
Sedikit kejahilan kecil harusnya nggak masalah, ‘kan? Paling cuma dimarahi guru atau dicibir teman-teman sekelas. Aku, ‘kan, peringkat satu! Aku pantas melakukannya!
Solar mencoret namanya yang ada di peringkat kedua, lalu menulis ulang namanya di kolom peringkat satu yang kosong. Setelah melakukan itu, dia tersenyum puas. Tak perlu lama-lama, Solar lari lagi ke depan sekolah sebelum ada yang bertanya.
“Apa yang ketinggalan, Solar?” Duri bertanya dengan cemas saat dia mendekat.
Astaga, dari semua orang, kenapa mesti abangnya yang satu ini yang bertanya?! Duri seorang saja mudah dikibuli, tapi semua yang lain mendengarkan mereka. Berhubung pulpen Solar masih di tangannya, dia segera mengarang alasan, “Ini, pulpen keberuntunganku.”
“Cuma pulpen,” dengus Halilintar. “Duri, kamu nggak usah secemas itu.”
“Bahkan tadi Duri mau nyusul Solar ke dalam!” Taufan merangkul si adik nomor enam. “Ternyata cuma demi pulpen!”
“Habisnya, kalau aku yang barangnya ketinggalan, bakalan takut sendirian balik ke kelas sore-sore.” Duri mengaku malu-malu.
Blaze tertawa keras. “Duri kemakan cerita horornya Mas Taufan, tuh! Nggak usah dipikirin, cuma pulpen ketinggalan, besok juga bisa diambil di kelas, ‘kan?”
“Jangan bilang ‘cuma pulpen’! Ini lucky item ! Tanpa ini, aku nggak bisa mikir dan nulis rumus dengan cepat!” Solar protes tak terima.
“Ngapain takut? Ngapain percaya lucky item ? Kayak orang nggak beriman aja,” komentar Halilintar pedas.
Taufan langsung menyambar, “Masya Allah, Pak Ustaz telah bersabda, Saudara-saudara—ADUH!” Lagi-lagi kepalanya ditoyor si sulung.
“Sudah! Sudah, yang penting kita pulang sekarang,” lerai Gempa.
Solar yakin tak ada seorang pun yang melihat aksinya tadi—mencoreti lembaran tercetak yang berkop sekolah, itu bisa jadi pelanggaran aturan. Tapi, Solar pikir dirinya, ‘kan, tidak memalsukan data atau apa pun. Harusnya itu mustahil jadi masalah besar. Atau demikianlah pikir Solar, karena esok paginya dia dipanggil ke ruangan wali kelasnya, Pak Guru Papa Zola.
“Apa yang kamu perbuat ini, Anak Murid Kebenaraaaan?!”
Sang guru membanting kertas dengan tulisan tangan Solar ke atas meja.
Solar berkedip satu kali. “Nulis nama saya di situ, Pak,” jawabnya lugas.
“Kamu ini bikin satu sekolah geger! Saya sampai harus nge- print ulang lembarannya pagi-pagi!”
“Memangnya kenapa, Pak?” Solar heran sekali menyaksikan guru kocak satu ini bisa murka.
“Bukan kenapa-kenapaaa! Itu perbuatan tak sopan di Kelas Kebenaraaan!”
“Haaah?” Solar tetap tidak mengerti. “Ya, saya minta maaf, Pak. Sudah lancang coret-coret di situ. Tapi, saya harusnya memang peringkat satu karena nilai saya tertinggi, ‘kan? Apa itu salah?”
“Tidak salah, pun dipersalahkaaan! Masalahnya itu benar-benar SALAAAAAH!”
Solar sampai merasa harus periksa ke dokter THT setelah ini. Telinganya berdenging habis diteriaki Pak Guru. Dengan banyak permintaan maaf lagi, Solar diperbolehkan kembali ke kelasnya—masih memikirkan ketidakjelasan alasan dari sang guru. Saat dia melintas di deretan kelas dua, dia melihat murid-murid mengintip dari jendela dan buru-buru menyingkir ketika tahu Solar melihat ke arah mereka.
Pas sekali, Sai baru berjalan dari arah toilet hendak kembali ke kelas itu.
“Oh, Solar,” sapa murid yang lebih tua.
“Mas Sai,” balas Solar.
“Ngapain? Ini, ‘kan, bukan kelasmu.”
“Habis dipanggil Pak Guru Papa Zola.” Solar menunjuk ke deretan ruang guru di belakangnya. Apa tadi teriakan gurunya terdengar sampai kelas ini, ya? Dan orang-orang jadi penasaran siapa yang dimarahi sampai segitunya?
“Oh, iya.” Ekspresi Sai berubah mendung. “Harusnya kamu nggak perlu berbuat apa-apa.”
Dahi Solar berkerut. “Apanya?”
“Sudah, aku masuk kelas dulu.”
Solar tak sempat bertanya lagi. Dia pun kembali ke kelas Bu Salmah, yang ternyata mengadakan kuis kimia dadakan. Teman-temannya sudah ribut karena belum belajar, sementara Solar kembali ke kursinya dan mencari pulpennya di dalam tas.
Lho? Pulpen itu harusnya ada di kantong ransel sebelah depan seperti biasanya. Solar yakin dia memasukkannya ke situ kemarin sore. Kenapa bisa tidak ada? Sejenak panik, tapi Solar ingat ejekan Halilintar kemarin. Pulpen, ‘kan, cuma barang. Solar cukup yakin pada kemampuannya. Dia mengedarkan pandangan dan memanggil teman terdekat,
“Gopal. Aku pinjam pulpenmu, dong.”
Gopal, yang baru saja mengeluarkan kotak pensilnya, langsung tampak heran. “Eh? Tumben sekali kamu mau pinjam pulpenku, Solar. Biasanya kamu selalu bawa peralatan tulis lengkap. Pulpen, pensil, penghapus, pulpen warna, tip-ex cair, tip-ex roll, ibarat toko alat tulis berjalan–”
“Kamu mau minjemin atau enggak, sih?” potong Solar yang merasa kesal mendengar ocehan Gopal.
“Hehe, bolehlah. Tapi jangan sampai hilang, ya?” ucap Gopal sambil menyerahkan salah satu pulpennya pada Solar.
“Huh, bukannya kamu yang lebih sering menghilangkan pulpenku, ya?” balas Solar yang makin kesal. Gopal hanya membalasnya dengan tawa canggung.
Solar memutuskan untuk tidak menggubrisnya lalu fokus mengerjakan soal-soal kuis kimia. Tapi ada satu hal yang membuat perasaannya makin buruk hari ini.
Pulpen yang dipinjamkan Gopal sangat jelek. Bukan berarti tidak bisa dipakai menulis, hanya saja tintanya tinggal sedikit. Sehingga ada beberapa jawaban yang ditulis Solar menjadi tidak jelas. Akibatnya, ada 2 jawabannya yang dianggap salah oleh guru.
“Uh … padahal cuma kurang angka kuadrat di simbol CO dan H doang!” gerutu Solar.
Hasil kuis diumumkan dan yang mendapatkan nilai tertinggi bukanlah dirinya, tetapi Fang. Seringai ejekan dari si rambut ungu membuat mood Solar makin tidak keruan. Alhasil, di jam istirahat, Solar memilih berdiam diri di bangkunya sementara teman sekelasnya berlomba-lomba menuju kantin.
“Solar, mau nitip makanan, nggak?” tawar Duri sebelum ikut pergi ke kantin. Solar hanya menjawabnya dengan menggeleng.
“Udahlah, Duri. Solar lagi mode senggol bacok itu. Mending ke kantin lalu borong semua donat lobak merah, biar Fang ikutan kesal kayak Solar. Hehe,” ujar Blaze sambil menarik Duri keluar kelas.
Solar sama sekali tidak menggubris perkataan Blaze. Pikirannya masih penuh perkara pulpennya yang hilang dan kuis kimia dadakan tadi.
Kalau aja kuis itu kukerjakan pakai pulpen yang satu itu, pasti semua jawabanku akan betul. Bukan hanya karena itu pulpen keberuntungan, tapi karena aku yang sudah merawat pulpen itu dengan baik!
Solar baru saja mau melanjutkan pemikirannya saat tiba-tiba dia merasakan kalau tiba-tiba bangku yang didudukinya bergoyang. Solar refleks menengok ke arah sekeliling. Bukan hanya bangkunya, tapi segala di sekitarnya juga. Kaca jendela kelasnya bahkan ikut bergetar.
“GEMPA! GEMPA!”
Sekilas Solar dapat melihat beberapa anak dari kelas lain berlarian di koridor sambil berteriak panik. Solar segera berdiri dari bangkunya, siap untuk berlari juga. Atau setidaknya menerapkan hasil latihan simulasi gempa yang pernah diajarkan guru-guru beberapa waktu lalu, seperti berlindung di bawah meja.
Namun, tiba-tiba saja, bangku-bangku kelasnya berhenti bergoyang dan kaca jendela berhenti bergetar.
“Eh? Berhenti?” gumam Solar heran. Dia lalu menghela napas dan kembali duduk di bangkunya. “Hah … bikin kaget saja.”
PLUK!
Sebuah suara seperti benda kecil yang jatuh ke lantai sontak menarik perhatian Solar. Dia langsung melihat ke sumber suara, yang berasal dari depan kelas.
“Lho? Itu, ‘kan, pulpenku!” seru Solar sambil berlari ke tempat pulpennya tergeletak.
Solar langsung menggenggamnya dan memeriksanya. Pulpen itu sama sekali tidak rusak atau cacat. Tapi anehnya, ada debu yang menempel di pulpennya seolah habis ditaruh di tempat yang berdebu.
“Aneh ….”
Solar lalu mendongak ke atas. Rasanya tidak masuk akal pulpennya bisa tiba-tiba jatuh dari atas. Langit-langit kelasnya tertutup plafon, sama sekali tidak ada tempat yang bisa dipakai untuk menaruh pulpen itu.
Kecuali … ya, kecuali pigura foto sang presiden gemoy yang dipasang di dinding kelas bagian depan. Pigura itu sering menjadi tempat yang luput dari pembersihan piket, sehingga masuk akal kalau bagian atasnya berdebu.
Tapi, siapa yang melakukannya? Siapa yang segitu kurang kerjaannya mengambil pulpen Solar lalu menaruhnya di bagian atas pigura foto presiden gemoy ?
Apa ada seseorang yang sedang menjahiliku, ya?
Solar teringat komentar Blaze sebelum keluar kelas tadi, juga betapa kemarin si nomor empat meremehkannya soal pulpen keberuntungan. Jangan-jangan Blaze pelakunya. Atau mungkin juga Taufan yang sukanya menakut-nakuti orang dengan horor karangan? Atau malah mereka berdua berkolaborasi menjahilinya?
Awas saja nanti di rumah!
.
.
.
.
.
bersambung
.
.
.
.
.
Catatan Penulis:
Halo, Shaby-chan di sini! Aku di sini mewakili Roux yang sedang sibuk bergelud dengan dunia nyata //plakk
Soal gempa, itu sedikit mengambil pengalamanku saat merasakan gempa yang traumanya masih ada sampai sekarang huhu. Pernah diadakan simulasi gempa juga di sekolah, tapi gak guna. Giliran ada gempa beneran malah panik //curhat
.
Akhir kata, terima kasih sudah membaca!
(28 Agustus 2025)
Chapter 3: Teror demi Teror
Chapter Text
BoBoiBoy © Monsta
Walau Habis Terang © Shaby-chan & Roux Marlet
Penulis tidak mendapatkan keuntungan material apa pun dari karya kolaborasi ini.
.
Bab 2: Teror demi Teror
.
.
.
.
.
“Uh, tadi gempanya menyeramkan sekali ….”
“Kamu takut gempa, Gem? Namamu, ‘kan, Gempa.”
“Tapi tadi gempanya kencang banget, sih. Mas Blaze sampai hampir kencing di celana.”
“Hei, jangan buka kartu, Duri!”
“Memangnya tadi gempanya kencang, ya? Biasa aja, tuh, buktinya gedung sekolah masih berdiri.”
“Ya … kamu, sih, Ais! Tidur kayak kebo. Mana mungkin sadar!”
“Ini gempa yang lumayan, tahu. Buktinya kita pulang lebih awal gara-gara ada pohon mangga yang tumbang karena gempa tadi dan menimpa salah satu bagian dari gedung sekolah.”
“HAH?! Beneran?! Padahal tadi gempanya nggak sekencang itu! Bukannya pohon biasanya tumbang karena angin kencang, ya?”
“Tapi masuk akal, sih. Soalnya itu pohon mangga tua yang sudah cukup rapuh. Aku dengar kepala sekolah berencana menumbangkan pohon itu karena dianggap membahayakan jika dibiarkan, tapi beliau belum menemukan waktu yang tepat.”
“Oh … begitu ya. Tapi gapapa, deh. Kita jadi bisa pulang lebih awal, hehehe.”
“Hei, meskipun itu pohon tua, bukannya itu juga pohon keramat selain pohon beringin di belakang sekolah, ya? Rumornya banyak tentara Belanda yang dibantai oleh tentara Jepang di bawah pohon itu. Lalu–”
“Astaga, apa-apa selalu kamu kaitkan dengan mistis!”
Solar, yang sedang melepas sepatunya di teras, tentu saja mendengar percakapan saudara-saudaranya dari ruang keluarga. Dia juga kenal suara siapa berbicara apa, berhubung mereka kembar dan Solar sudah hidup bersama mereka hampir tujuh belas tahun. Tapi Solar sama sekali tidak peduli dengan topik diskusi mereka. Dia melangkah masuk menuju ruang keluarga, lalu langsung menghampiri Taufan sambil menunjukkan pulpen di tangannya.
“Mas Taufan, kamu yang sembunyiin pulpenku, ya?” tuduh Solar langsung.
Taufan langsung tampak kebingungan. “Kamu ngomong apa, sih, Solar?”
“Nggak usah pura-pura nggak tahu, deh! Aku langsung yakin ini ulah jahil Mas Taufan! Mas Taufan, ‘kan, yang nyembunyiin pulpenku, di atas pigura foto presiden di depan kelas!?” seru Solar dengan nada tinggi.
Taufan sontak mengangkat tangannya. “Wow, santai, Solar! Aku memang jahil, tapi bukan aku yang nyembunyiin pulpenmu. Sumpah!”
“Atau jangan-jangan Mas Blaze, ya, pelakunya?!” tuduh Solar, kali ini mengarah pada Blaze. “Kamu kemarin ngomongin tentang pulpenku!”
“HEI, KOK, MAIN FITNAH?!” teriak Blaze marah sambil berdiri menghadap Solar.
Teriakan Blaze sempat membuat Solar bergidik. Dia lupa kalau abangnya yang satu ini memang temperamental. Tapi Solar tidak mau mundur.
“Sudah, sudah ….” Gempa tiba-tiba maju. Dengan isyarat tangannya, dia menyuruh Blaze untuk duduk, yang dituruti oleh sang adik.
“Solar, aku tahu kamu pasti selalu gampang emosi jika ini menyangkut barang-barangmu. Tapi bukan hal yang baik menuduh orang tanpa bukti yang jelas,” ujar Gempa menenangkan.
Solar semakin merasa kesal. “Habisnya, siapa lagi yang berani berbuat jahil seperti ini?! Pasti kalian berdua pelakunya! Lagian, kemarin kalian ada bilang mau nge-prank aku karena juara kelas, ‘kan?”
“Hei, Solar.” panggil Halilintar tiba-tiba. “Taufan dan Blaze itu memang jahil dan nyebelin. Tapi mereka nggak pernah bohong. Kalau memang mereka pelakunya, pasti mereka sudah mengaku sambil ketawa terbahak-bahak.”
Solar sontak terdiam. Halilintar ada benarnya, karena waktu Taufan dan Blaze melakukan kejahilan dengan menyembunyikan topi Halilintar, hal seperti itu yang terjadi. Meskipun harus dibayar dengan mereka menjadi samsak alami untuk teknik silat Halilintar.
“Wah … aku dibelain Mas Hali–”
BUK!
Halilintar untuk kesekian kalinya melayangkan sebuah pukulan ke kepala Taufan.
“Terus … siapa yang nyembunyiin pulpenku?! Mana mungkin pulpenku terbang sendiri ke atas pigura foto?!” seru Solar frustasi.
“Entahlah. Mungkin … ada yang nggak suka denganmu, Solar?” celetuk Duri tiba-tiba.
“Kemungkinannya kecil, sih, Duri,” sanggah Taufan. “Aku tahu ada beberapa orang yang nggak terlalu suka dengan Solar, soalnya songong, sih. Tapi aku ragu mereka sampai melakukan hal seperti ini.”
“Terus siapa?! Masa’ hantu?!” teriak Solar lagi. Malah abai sepenuhnya pada perkataan Taufan yang mengatainya songong.
“Tenanglah, Solar. Mungkin ini cuma kebetulan. Tapi jangan khawatir, kalau ternyata memang ada orang yang melakukannya, itu bisa masuk sebagai bullying dan aku nggak akan tinggal diam soal itu,” ujar Gempa tegas.
Meskipun masih merasa kesal, Solar memilih untuk tidak menanggapi perkataan Gempa. Dalam hati dia juga bersyukur, begini-begini punya saudara yang anggota OSIS.
Diskusi mereka soal pulpen Solar ditutup tanpa ada kejelasan.
.
.
.
.
.
Beberapa hari berlalu tanpa adanya kejahilan lain yang menimpa Solar, membuat Gempa bisa cukup menghela napas lega. Maksudnya, berarti bukan ada pem-bully yang sedang mengganggu adik bungsunya itu.
Tak seperti prediksi Halilintar yang mengira si bungsu bakal cukup beristirahat setelah ujian tengah semester kemarin, Solar justru makin banyak begadang. Dia sangat tidak terima tentang kuis kimianya yang tidak sempurna waktu itu dan melatih tangannya untuk menulis rumus dengan berbagai jenis pulpen. Solar juga menyiapkan beberapa pulpen cadangan yang enak dipakai menulis di dalam tasnya, in case of emergency.
Solar tidak melupakan tugas-tugas di pelajaran lainnya. Meskipun dia dikenal dengan julukan si Paling Sains, nilai tugas bahasa Indonesianya juga harus sempurna. Dengan itu dia memilih novel terjemahan 1984 karya George Orwell untuk diresensi. Mana ada anak SMA kelas satu mau baca novel terjemahan tentang politik untuk tugas bahasa? Solar mau nilainya sempurna dengan jalan yang antimainstream juga.
Sayangnya, usaha Solar ternyata menemui halangan ….
“Eh?” Saat dikeluarkannya novel yang dipinjamnya dari perpustakaan itu beserta tiga halaman tulisan tangannya berisi resensi buku dari dalam tas, Solar mendapati noda merah seperti tinta menutupi sebagian besar kertas.
Solar melongo sejenak, membolak-balik kertasnya dengan tatapan tak percaya, sebelum meledak.
“Jahat banget! Siapa ini yang bikin kayak gini?!”
Duri di dekatnya sampai terlonjak. Untung guru belum masuk kelas, karena jam pelajaran bahasa Indonesia belum dimulai.
“Ada apa, Solar?” Gempa dari kursi deretan depan menoleh keheranan. Beberapa murid lainnya yang sedang mengobrol juga ikut menoleh.
“Kertas resensiku kotor!” seru Solar berang. “Aku nulis ini hampir tiga jam, tahu?! Akh … kenapa nggak aku bikin draft dulu di HP atau laptop … dasar sial! Aku perlu baca ulang juga bukunya!”
Ais, yang juga ada di dekat tempat duduk Solar, termangu sejenak sebelum meraih buku yang tergeletak di meja. “Solar, bukunya juga kena warna merah,” ujarnya dengan suara pelan.
Solar melotot, mengambil buku itu dari tangan abangnya. Benarlah ucapan Ais, hampir separuh buku itu berwarna merah di bagian kanan bawahnya.
“Kamu ada bawa apa di dalam tas?” selidik Halilintar, mencoba berpikir dengan kepala dingin meski dia juga merasa marah melihat ada yang mengerjai Solar sampai sebegitunya. Dia juga tahu, menulis resensi buku adalah tugas rumah paling merepotkan dan Solar sudah memilih novel yang sulit. Para guru memang meminimalkan tugas dalam format diketik untuk mencegah plagiarisme. Karena Solar masih diam dengan mata nanar, Halilintar meraih tas adiknya dan memeriksanya. Botol minum, pulpen hitam, dan buku-buku pelajaran lainnya. Tidak ada apa pun seperti tinta atau cairan yang berwarna merah cerah seperti itu.
“Solar … tenang, aku akan jelasin ke guru kalau kamu perlu tambahan waktu ngumpulin tugasnya,” ujar Gempa yang juga sudah mendekat ke lokasi kejadian. Sekilas, dia melihat Taufan dan Blaze yang duduk agak jauh, di pinggir jendela. Keduanya terlihat kaget dan cemas juga, tapi diam saja, dan mereka membalas tatapan matanya yang sama-sama kebingungan.
Mereka tak mungkin berbuat sejahat ini untuk menjahili Solar. Lagipula orang yang bersalah biasanya tak mampu menatap mata orang lain lama-lama.
“Soal buku perpus … coba kita cek dulu di toko buku, harganya berapa kalau kita belikan yang baru,” sambung Gempa sambil meremas bahu Solar. Adiknya ini malah diam terus, apa yang dia pikirkan?
Solar menghela napas lalu duduk di kursinya dan mulai menyalin tugasnya sambil bergumam rendah, “Ini pasti ada yang iri sama aku.”
Tuduhan dingin itu didengar hampir seisi kelas. Para siswa saling lirik. Memang Solar itu kadang-kadang sedikit sombong dan menjengkelkan, tapi sebetulnya mereka senang ada murid sepertinya. Para guru jadi tak punya kesempatan menunjuk murid lain untuk menjawab soal karena Solar pasti merebut semua pertanyaan. Siapa yang sejahat itu sampai membuat Solar harus mengulang tugas dan mengganti buku perpustakaan? Kalau sekadar prank atas dasar iri, sih, ini sudah agak kelewatan.
.
.
.
.
.
“Dey, Solar, kamu yakin nggak apa-apa?”
“Yakin. Kenapa, sih? Kalau kamu takut, cari kelompok lain, sana.”
Gopal mengerang di balik jas laboratorium. “Aku paling takut praktikum kimia. Tolong aku!”
“Kalau mau kita tetap sekelompok, berhenti merengek!” dengus Solar yang sedang menata tabung-tabung reaksi di atas meja di seberang Fang yang tengah membaca prosedur praktikum.
“Gopal takut kalau kamu bawa sial, Solar,” komentar Fang datar. “Kamu tahu bagian gedung sekolah yang kerobohan pohon waktu gempa minggu lalu? Itu ruang guru, dan meja kantornya Pak Guru Papa Zola sampai hancur. Terus ada juga insiden tugas resensinya Solar.”
“Terus, itu semua salahku, gitu?” balas Solar kesal. Kenapa dia harus sekelompok dengan orang-orang ini? Diliriknya enam saudaranya yang lain, yang sudah membagi diri bertiga-tiga di meja lain.
“Saranku, sih, kamu bawa jimat, Solar,” usul Gopal terdengar takut sekaligus serius.
“Apaan, sih?” Solar hampir saja menyemburkan petuah Halilintar soal barang dan kepercayaan, tapi tidak jadi karena menghormati Gopal yang beda keyakinan. “Yang ngusilin aku, tuh, pasti manusia. Iri aja dia.”
“Tapi aku denger, pulpenmu pindah ke atas pigura foto presiden?” selidik Fang. Solar juga nyaris menyemprotnya kalau tidak melihat rautnya yang serius. “Teman sekelas kita nggak ada yang badannya setinggi itu. Aku udah coba berdiri jinjit di bawahnya dan tanganku tetep nggak nyampai ke atas pigura, lho.”
“Fang, kamu effort banget, deh. Makasih, ya,” ujar Solar agak menyindir. Mau pamer tinggi badan, huh? Mentang-mentang Solar sendiri masih ‘masa pertumbuhan’ kalau tidak mau dibilang pendek. “Bisa aja orangnya manjat kursi. Atau, anak kelas lain?”
Gopal masih berkedip-kedip takut. “Huhuuu. Firasatku bilang ini gangguan mistis, Solar!”
Solar memutar bola mata lalu meraih peralatan, termasuk memasang goggles di depan kacamata minusnya. “Udah, ayo kita mulai. Nanti ketinggalan.”
Praktikum pun dimulai. Semua anak fokus pada tugasnya masing-masing. Terlebih lagi Solar. Dia memerhatikan dengan teliti apa tugasnya dan bahan apa saja yang dia perlukan.
“Pengujian keberadaan gas karbondioksida … jadi aku perlu kalsium hidroksida, ya ….” Solar bergumam sendiri sebelum memanggil temannya, “Gopal, tolong ambil botol berisi kalsium di lemari kimia ya.”
“Oke!” seru Gopal sambil berlari ke tempat yang dimaksud.
Sementara itu, Solar mengambil air cukup banyak lalu menaruhnya ke dalam botol labu erlenmeyer, tabung berbentuk kerucut yang biasa digunakan untuk mencampurkan zat kimia. Dia perlu mencampurkan kalsium dengan air untuk menciptakan zat itu. Sebenarnya, bahan kalsium hidroksida sudah disediakan bagi para murid, tapi Solar ingin meraciknya sendiri. Pasti guru akan terkesan dengan idenya.
“Gopal, mana kalsiumnya?!” seru Solar lagi ketika mendapati bahannya tak kunjung datang.
“Sabar, Solar!” seru Gopal dari lemari bahan, beberapa meter dari meja praktikum. Setengah menit kemudian, dia kembali ke meja kelompoknya. “Tadi aku susah sekali mencarinya. Nih, kalsiumnya,” ucap Gopal sambil menaruh sebuah botol di samping Solar.
Tanpa bicara, Solar langsung mengambil botol itu. Sepertinya dia sedikit terlalu bersemangat, jadi mengambil kalsiumnya agak terlalu banyak. Tapi tidak masalah. Solar memasukkan kalsium itu ke dalam botol labu erlenmeyer lalu menyejajarkan botol itu dengan matanya sambil menggoyangkannya sedikit, memastikan bahannya tercampur dengan baik.
Hmm … menurut petunjuk, jika kalsium hidroksida bereaksi dengan gas karbondioksida, maka air di dalam botol ini akan menjadi keruh–
Belum selesai Solar memikirkannya, sebuah percikan api muncul dari botol itu. Dan–
DUAR!
Botol labu erlenmeyer itu meledak, pecahannya menyebar ke mana-mana, dan Solar yang berada paling dekat dengan botol itu langsung terkena cairan dalam botol itu berikut pecahannya.
Solar menjerit kesakitan. Dia terjatuh ke lantai laboratorium sambil memegang wajahnya.
“SOLAR!”
.
.
.
.
.
bersambung
.
.
.
.
.
Catatan Penulis:
Halo! Kali ini ada Roux yang menghadirkan teror demi teror untuk anak kesayangan /heh /digeret Shaby
Shaby-chan: Tolong selamatkan Solar dari kami–eh dari Roux Ya Tuhan…
Penasaran apa yang terjadi pada Solar? Nantikanlah kelanjutannya!
Akhir kata, terima kasih sudah membaca!
(25 September 2025)
N4r43 on Chapter 1 Fri 08 Aug 2025 01:06PM UTC
Comment Actions
Yameenneedstherapy on Chapter 1 Wed 13 Aug 2025 01:34AM UTC
Comment Actions