Actions

Work Header

Sharper than a Scalpel

Summary:

Ketika identitas resminya sebagai psikiater membawanya ke RS Universitas Meishin di Jepang demi menguak data seseorang yang merupakan aset negara yang amat rahasia, dr. Loid Forger mengira semuanya terkendali. Namun yang ditemuinya dalam senyap malam bukan rekam medis Donovan Desmond, yang konon pernah menjalani operasi di RS elit itu, melainkan seorang dokter bedah jantung yang seharusnya sudah tertidur pulas.

Di dunia tempat dokter bedah dan agen spionase bertemu, siapa yang sebenarnya menyimpan pisau yang lebih tajam?

Dapat berhubungan dengan cerita: Good Night, Have a Nightmare!

Notes:

Chapter 1: The Spy-chiatrist

Chapter Text

Spy x Family © Tatsuya Endo

Team Medical Dragon © Akira Nagai & Tarou Nogizaka

(mentioned only) BoBoiBoy © Monsta

.

Sharper than a Scalpel © Roux Marlet

The author gains no material profit from this work of fiction.

.

.

.

.

.

Chapter 1: The Spy-chiatrist

.

.

.

.

.

Twilight tak pernah mengira bahwa kariernya sebagai mata-mata WISE akan menemui garis finish di negeri orang yang bukan Ostania.

Jas disampirkan dengan rapi, sarung tangan karet terselip dalam saku, dan telinga sepenuhnya fokus pada suara-suara kecil: derit pintu, dengung sistem keamanan, detik jam yang berdetak terlalu cepat.

Pukul dua dini hari. Komputer sang direktur utama terbuka di depannya. Jari-jarinya menari cepat di atas keyboard komputer milik Ryutaro Asada, pemimpin Rumah Sakit Universitas Meishin.

Sebelum menyusup ke kantor pribadi direktur ini, Twilight sudah mencari seluruh dokumen fisik bahkan pernah mencoba menyelinap ke gudang berkas lama, tempat kertas-kertas menguning dengan font cetak khas mesin tik yang sudah ketinggalan zaman. Semua nihil. Dunia berubah, begitu pula cara menyembunyikan rahasia. Kalau seseorang sekuat Donovan Desmond, target utama Operasi Strix, pernah menjadi pasien di sebuah rumah sakit elit, rekam medis itu tak akan ditemukannya dalam laci terkunci. Orang itu terlalu berpengaruh untuk disimpan di atas kertas, membuat Twilight akhirnya memilih meretas komputer pribadi Dokter Asada: mestinya akses paling dekat dengan database yang terenkripsi.

Twilight telah berhasil menerobos sistem keamanan digital. Sidik jarinya dipalsukan. Mata dikalibrasi.

Itu dia. Rekam medis Donovan Desmond tersembunyi di balik sandi-sandi asing. Twilight menekuni tombol-tombol dengan penuh perhitungan. Pemilik komputer itu seharusnya masih tertidur, setelah kopi sore yang “dibumbui”.

Sandi itu tak terlalu panjang. Twilight memindai cepat seluruh ingatannya, merangkai benang merah profil sang direktur dari data tertulis dan gosip-gosip perawat di pantry, mencari satu pola kombinasi yang mungkin menjadi kata sandi delapan karakter ini. Sembari pikirannya beraksi, kedua tangan dan sepasang matanya turut bekerja melacak jejak sidik jari pada papan ketik.

“Coba ‘Yamato08’ dengan huruf Y besar tanpa spasi. Lebih cepat daripada menebak satu per satu.”

Suara itu mengudara dengan tenang di kegelapan, membuat jemari Twilight membeku. Dia bisa melihat sosoknya dengan bantuan cahaya dari jendela: Dokter Ryutaro Asada yang tinggi besar berdiri di balik pintu. Suara baritonnya tadi terdengar santai, seolah tengah menyambut tamu di jam makan siang.

Tubuh Twilight langsung siaga sementara pikirannya mulai runtuh.

Aku gagal.”

Kata-kata itu bergaung di kepala Twilight seperti vonis mati. Tak ada pelarian bagi mata-mata yang gagal. Dia tahu, satu langkah salah bisa membuatnya menjadi nama tanpa nisan.

Twilight berusaha merayap diam-diam, berharap semua itu hanya ilusi. Beberapa detik telah berlalu sejak didengarnya Asada buka suara.

“Kalau kau melangkah satu meter lagi ke kiri, kau akan menendang termos kopiku.”

Tak ada cahaya menyorot di sekitar meja komputer. Bagaimana bisa Asada tahu pergerakannya? Twilight kembali membeku di tempat. Tamat sudah riwayat. Lalu, tanpa bisa dicegahnya, wajah Anya melintas dalam benak. Tangan kecilnya mengacungkan daftar belanja yang penuh coretan krayon merah muda di malam sebelum keberangkatan sang ayah ke Jepang.

Ayah! Belikan dorayaki rasa kacang premium! Yang banyaaak!”

Iya, iyaa, akan Ayah belikan.” Pria itu menatap ke arah wanita yang berstatus istrinya sembari tersenyum. “Aku juga akan belikan yukata untuk Yor.”

Ah, tak perlu repot-repot, Loid ….”

Ayah ke Jepang! Beli dorayaki kacang! Yaay yaay yeaaah!”

Mata bulat Anya dan senyum manis Yor mengiring sang ayah dalam mimpi indah.

Misi gagal, janji terbengkalai. Seburuk itu nasib Loid Forger di Jepang ini. Dia tak menyangka bahwa di saat segenting ini malah kenangan itu yang muncul. Bukan instruksi WISE yang terancam gara-gara kelalaiannya. Bukan status Twilight yang sudah sepuluh tahun disandangnya. Bukan nama alias yang terbongkar di hadapan targetnya.

“Dokter Forger.”

.

.

.

.

.

“Dokter Loid Forger, Anda ditugaskan untuk studi banding ke Jepang dalam rangka kaderisasi manajemen rumah sakit.”

Twilight membungkuk berterima kasih di hadapan direktur rumah sakit tempatnya bekerja, lalu pamit undur diri. Tiket pesawat telah dipesan untuk keberangkatan minggu depan.

“Selamat, Dokter Forger,” ucap sang handler tanpa basa-basi di ruang misi. “Ini surat pengantarmu. Kau boleh membacanya kalau penasaran.”

Twilight membacanya. Bukan penasaran, hanya merasa dirinya harus tahu apa yang disampaikan rumah sakit Ostania ini kepada RS bedah Jepang ternama yang akan menerimanya belajar.

... dokter muda kami yang menunjukkan performa luar biasa dalam praktik kesehatan jiwa, saat ini tengah dipertimbangkan untuk menempati posisi manajerial strategis di rumah sakit kami. Kami mohon izin untuk mengirimkan dr. Loid Forger dalam program studi manajemen dan klinis lintas departemen di RS Universitas Meishin, Jepang. Fokus utama: sistem manajemen bedah terpadu serta intervensi pascaoperasi pada pasien usia anak dan remaja.”

“Baiklah.” Twilight melipat surat itu dan merapikannya di dalam amplop.

“Direktur Meishin bukan sekadar dokter. Namanya Ryutaro Asada, dokter spesialis bedah jantung, mantan relawan perang. Jangan remehkan dia.”

Twilight mengangguk. “Dan?”

“Dan dia tidak mudah dikibuli. Antisipasi itu. Tapi cari data rekam medisnya.”

“Data siapa?”

“Donovan Desmond. Apakah dia punya penyakit jantung? Apakah dia pernah menjadi subjek eksperimen medis? Jawabannya bisa mengubah arah strategi WISE sepenuhnya. Ada laporan bahwa Donovan Desmond pernah dioperasi di rumah sakit itu. Kita tidak tahu pasti tanggalnya. File itu tak bisa didapat lewat jalur intel biasa.”

Twilight tidak bertanya lebih jauh. Targetnya adalah rekam medis. Apa pun isinya bisa mengungkap titik lemah, kemungkinan penyakit, prosedur bedah, atau riwayat genetik yang bisa dipakai untuk membantu Operasi Strix.

Namun, sebelum bisa sampai ke sana, dr. Loid Forger harus menunjukkan dahulu mengapa dirinya layak diajukan menjadi calon direksi rumah sakit sampai dikirim untuk belajar ke Jepang selama dua minggu. Dia menyampaikan kekaguman bahwa RS Meishin menggunakan alat ergonomis untuk memindahkan pasien yang belum siuman pascaoperasi.

“Satu alat, satu tombol, satu tangan. Tak ada punggung encok, tak ada perawat sakit pinggang.”

Loid tersenyum sopan. “Di Ostania, kami masih pakai metode tarik-dorong oleh tiga orang.”

Dokter Kihara, senior berambut panjang yang banyak tersenyum, menyahut dengan riang, “Di Meishin, bahkan anak magang bisa memindahkan pasien sendiri.”

“Benar-benar rumah sakit pendidikan yang brilian,” puji Loid. “Apakah di sini juga menerapkan electronic medical record dan digital prescribing?”

“Tentu saja!” Hidung Kihara kembang-kempis. “Sejak Dokter Asada menjadi direktur, banyak sekali kemajuan di rumah sakit ini.”

“Luar biasa. Apakah Direktur masih aktif berpraktik, atau sudah full di posisi manajerial?”

“Wah, beliau itu kalau ada operasi cito tengah malam saja pasti jadi yang pertama hadir di instalasi bedah sentral.”

Loid menjalani perannya sebagai psikiater tamu Ostania dalam program kerja sama internasional dengan serius tapi juga tahu bersantai. Dia ikut berdiskusi, hadir dalam ward rounds, dan mengamati sistem rumah sakit Jepang secara resmi. Lebih jauh lagi, rupanya ada satu circle paling elit di antara jajaran tim dokter elit di Meishin. Mereka dikenal sebagai Team Medical Dragon, tim bedah jantung paling cemerlang dan konon dibentuk oleh dr. Ryutaro Asada sendiri.

Dokter Loid Forger diundang ke acara minum teh mereka suatu sore.

“Kalau Anda sudah di sini lima tahun lalu,” ujar dr. Ijyuuin sambil menyesap teh, “anak itu pasti kami rujuk padamu.”

Loid mengangguk. “Anak yang punya kelainan jantung sekaligus tujuh kepribadian?”

“Benar. Kami dulu berpendapat bahwa dia juga perlu dukungan dari spesialis kesehatan jiwa.”

“Toyama bilang, Anda sangat cepat akrab dengan pasien kecil,” tambah dr. Fujiyoshi sambil menyingkirkan laporan dan mengambil kudapan.

Loid tersenyum simpul. “Saya cukup akrab dengan trauma anak-anak.”

“Bisa nebak berat badan juga?” potong dr. Arase dari kejauhan.

“Saya cukup terbiasa membaca cara mereka berdiri,” jawab Loid sopan. “Sepertinya kasus anak yang tadi cukup menarik. Apakah saya bisa menyimak rekam medisnya?”

“Tentu saja. Ijyuuin akan mendampingimu untuk mengaksesnya.”

Tidak ada yang curiga. Loid dengan jeli memanfaatkan waktu-waktu krusial ketika dia bebas menjelajah data pasien secara legal. Tapi data pasien yang dicarinya tetap tidak muncul di sistem umum.

Sementara itu, perhatian Loid tersangkut pada satu momen kecil:

“Ryu-chan~ kalau kamu nggak pulang nanti malam, aku bawakan salad!”

Itu suara Miki, perawat senior, dengan nada lembut nan riang, di depan ruang direktur. Asada hanya menjawab dengan gumaman sambil memeriksa seberkas kertas dengan banyak grafik.

Loid melihat interaksi itu sambil mencatat dalam hati. Rupanya perawat bedah yang juga anggota elit Team Medical Dragon, Miki Satohara, adalah istri dr. Ryutaro Asada.

Mereka tidak berpura-pura. Tidak sembunyi-sembunyi. Tidak takut ketahuan. Tidak seperti ….

Kalau Yor bekerja di rumah sakit bersamaku, akankah dia seperti itu juga? Tapi ... jangan-jangan dia bawa bekal racikan sendiri. Ah, bahaya juga.”

Fokus, Twilight, fokus!

Dokter Loid Forger masih punya misi yang belum selesai!

.

.

.

.

.

“Dokter Forger.”

Itu adalah kalimat paling menakutkan yang pernah didengar Loid sepanjang kariernya. Bukan lantaran volume suara yang medium menjurus perlahan atau nama aliasnya yang disebut dengan jelas. Asada terdengar menyimpan kesadaran penuh di baliknya.

Tak mungkin. Loid telah memperhitungkan dosis obat biusnya dengan presisi, bahkan menambahkan sedikit dengan pertimbangan adanya toleransi akibat keseharian bekerja di dalam ruangan penuh anestesi.

Ryutaro Asada berdiri beberapa langkah dari meja, bertelanjang dada dengan jas putih tergantung di lengan. Tatapannya netral.

Loid melihat bagaimana Asada meraih handuk dan mengelap bahunya yang basah. Napasnya dihela ringan. Peralatan suturing mikro tertata, masih menguarkan sisa alkohol. Jendela belakang sedikit terbuka, membiarkan udara malam mengalir masuk. Rupanya ada pintu lain yang terhubung ke ruangan ini selain dari lorong.

Observasi tajam sang mata-mata segera menyimpulkan: Orang ini siuman, naik ke atap, latihan menjahit pembuluh darah sintetis, turun lewat tangga darurat ... lalu kembali ke kantornya tanpa tersengal-sengal? Padahal umurnya sudah hampir kepala lima? Astaga ... siapa dia sebenarnya? Loid hampir saja kehilangan keseimbangan logikanya. Lalu detik itu, saat Asada berbalik untuk menggantungkan jasnya, dia melihat sesuatu.

Bekas luka lama. Terbentang lebar, melengkung di punggung.

Saat itu, sesuatu meledak di kepala Loid.

.

.

.

.

.

Bersambung.

(10 Agustus 2025)

Chapter 2: The Frontline Surgeon

Chapter Text

Spy x Family © Tatsuya Endo

Team Medical Dragon © Akira Nagai & Tarou Nogizaka

(mentioned only) BoBoiBoy © Monsta

.

Sharper than a Scalpel © Roux Marlet

The author gains no material profit from this work of fiction.

.

.

.

.

.

Chapter 2: The Frontline Surgeon

.

.

.

.

.

Sebelum keberangkatan ke Jepang, di ruang bawah tanah toko reparasi, Franky menyerahkan berkas intel kepada Loid sambil mengunyah keripik.

Ini arsip RS Meishin. Ada juga foto direkturnya di acara-acara resmi. Awas, ini rahasia nggak penting tapi penting: dia punya six pack.”

Loid memelototi kawannya. “Fokus, Franky.”

Hei, aku serius! Kalau kamu gagal, jangan salahkan aku kalau dia nge-judo kamu dari rooftop rumah sakit.”

Waktu itu, Loid hanya mengira Franky salah fokus dan membayangkan yang iya-iya, berhubung tidak ada foto apa pun yang memvalidasi kebenaran fakta itu.

Lupakan dulu soal six pack. Sebagai mantan relawan perang, satu-satunya bekas luka hanya ada di punggung. Sepertinya Dokter Ryutaro Asada ini cukup gesit di medan perang.”

Monolog batin Loid setelah menerima informasi dari Franky: Kalau seorang dokter berani terjun ke garis depan, dia juga harus mampu menjaga dirinya sendiri. Mestinya relawan medis pun dibekali latihan bela diri dasar. Masuk akal kalau dia menguasai teknik judo.

Loid cukup paham dan waspada atas informasi itu, makanya dia memilih jalan diam-diam untuk meretas komputer pribadi sang direktur. Dia hanya hampir lupa soal bekas luka yang disebutkan Franky kalau tidak melihatnya sendiri di punggung Asada malam itu.

Malam itu, ledakan dari dua puluh tahun silam kembali muncul dalam pikirannya. Ledakan pertama di Luden ….

“Distrik Luden,” lontar Loid.

Asada menoleh, tatapannya tajam. Setajam pandangan Loid yang balas menatap. Masing-masing menelaah lawan bicaranya.

“Serangan di Distrik Luden,” ulang Asada, tiba-tiba bersuara. “Bocah laki-laki delapan tahun. Kena peluru nyasar, hampir mengenai arteri ginjal.”

.

.

.

.

.

Dua puluh tahun sebelumnya ….

.

Anak lelaki itu berlari di tengah hujan peluru. Bukan, itu bukan karena dia pemberani. Dia lari karena dirinya panik; kehilangan ibu, kehilangan ayah, dan satu-satunya hal yang bisa dia dengar hanyalah ledakan dan suara orang-orang menjerit. Dia tersungkur ketika pecahan peluru menembus sisi kiri tubuhnya. Napasnya tercekat. Pandangannya berkunang.

"Bocah ini nggak bisa dipindah! Kalau kita angkut sekarang, dia bisa mati kehabisan darah!" teriak seseorang.

Gedung kecil yang mereka tempati berguncang saat ledakan susulan menghantam lantai dua. Asap memenuhi udara. Di tengah semua ketegangan itu, suara tegas memberi instruksi,

"Kita operasi di sini. Sekarang."

"Tapi kita kehabisan anestesi!"

"Aku yang tangani."

Seseorang berbadan tinggi berjongkok di samping bocah itu. Dia menekan titik tertentu di leher si anak.

"Maaf. Kau akan pingsan sebentar."

Satu sentakan, lalu dunia menggelap sejenak.

Saat bocah itu siuman, dia sudah berada di tandu darurat, setengah sadar dengan tubuh diperban dan infus tertancap di lengan. Sisi kiri tubuhnya berdenyut nyeri demikian hebat sampai rasanya dia bisa pingsan lagi. Namun, dia cukup sadar untuk melihat sosok yang sedang duduk di seberang, punggungnya dijahit oleh dua petugas lain. Punggung itu lebar, bernoda merah gelap yang luas.

Dari apa yang didengar setelahnya, gedung itu ambruk dan kebakaran merajalela di tengah operasi darurat dan dokter yang satu itu menahan potongan beton yang runtuh dengan punggungnya.

Si anak laki-laki tak melihat wajahnya, namun luka berlekuk memanjang di punggung penyelamatnya tak pernah dilupakannya.

.

.

.

.

.

 

 

Dan kini, bertahun-tahun kemudian, Twilight—Loid Forger—melihat luka yang sama, di ruangan bersih nan sejuk dengan aroma kopi dan berlantai-lantai di atas fasilitas medis paling canggih. Loid menatap punggung lebar itu sekali lagi, memandang bekas luka yang dulu dia lihat samar-samar dan kini tampak jauh lebih nyata.

Dunia telah berubah, tapi luka itu senantiasa sama.

"Benar kau." Suara Loid tercekat. "Luka itu …."

Asada mengangguk. “Medan perang di barat daya Luden.”

Hening menggantung.

Loid sekarang menyadari: semua informasi baik dari Handler maupun Franky itu bukan rumor. Asada seorang dokter bedah yang cekatan dan tangguh; tubuhnya yang tetap bugar adalah buktinya.

Asada telah selesai mengeringkan badan, lalu mengenakan kaos tipis. Dia berjalan mendekati meja dan Loid tetap tidak bergerak.

Tanpa perlu konfirmasi, dua orang yang pernah terhubung oleh satu peristiwa kecil dalam sejarah besar yang kejam saling mengenali.

“Takdir memang lucu,” ujar Asada akhirnya. “Kau datang malam-malam, melanggar hukum, menyusup ke ruanganku ... dan ternyata, kita pernah terjebak dalam reruntuhan yang sama.”

Loid tersentil mendengar kata ‘hukum’. "Ini untuk mencegah perang," kilahnya.

Asada masih menatapnya. “Asal kau tahu,” ujar sang dokter bedah sambil menyalakan lampu meja, “aku menjunjung tinggi etika medis. Bahkan untuk orang seperti Desmond.”

“Aku hanya tak ingin ada anak-anak yang menangis lagi,” sahut Loid singkat, refleks mengangkat tangan karena silau. “Donovan Desmond mengancam hal itu.”

“Duduklah, Dokter Forger.” Asada melambaikan tangan pada kursi di seberang meja. Loid bergeming di tempat.

Asada menghela napas. “Aku tak menyesal sudah menolongmu waktu itu. Mau kau jadi pencuri setelah besar, jadi psikiater, atau jadi apa pun, itu adalah pilihanmu.”

Loid tidak bisa mengoreksi ungkapan ‘pencuri’.

Asada menatapnya sekali lagi. Loid bisa melihat garis kerutan di bawah mata si dokter bedah. Ternyata ada lelah yang tersirat di sorotnya yang tajam; mungkinkah obat bius Loid tadi memang sempat berefek padanya?

“Orang bisa punya banyak motif untuk melakukan kejahatan,” kata Asada pelan. “Tapi orang tak perlu motif untuk berbuat baik. Berkat itulah kau bisa berdiri di sini sekarang.”

.

.

.

.

.

Bersambung.

(30 September 2025)

Chapter 3: The Bargain

Chapter Text

Spy x Family © Tatsuya Endo

Team Medical Dragon © Akira Nagai & Tarou Nogizaka

(mentioned only) BoBoiBoy © Monsta

.

Sharper than a Scalpel © Roux Marlet

The author gains no material profit from this work of fiction.

.

.

.

.

.

Chapter 3: The Bargain

.

.

.

.

.

Apa sesungguhnya yang diinginkan Ryutaro Asada?

Dokter Loid Forger sudah tertangkap basah, sang direktur menegur bagai seorang ayah pada putra bengalnya, tapi Asada tidak terlihat marah. Dia melakukan sesuatu dengan komputernya.

“Ini yang kaucari, Dokter Forger,” ujar Asada, memutar layar komputer ke arahnya.

Satu file muncul. Tanpa enkripsi.

.

Pasien : Donovan Desmond

Diagnosis : Papilloma simplex (kutil wajah)

Prosedur : Eksisi minor. Durasi: 12 menit.

.

Loid melongo. Serius ...?

Asada melirik layar. “Beberapa orang lebih menjaga rahasia wajah daripada rahasia politik,” komentarnya.

Hampir saja Loid terduduk lemas. Seluruh misi penyusupan ini hanya untuk info tentang operasi kutil dua belas menit?!

Belum pulih Loid dari fakta mencengangkan dan misteri yang lebih rahasia daripada rahasia negara milik Desmond, Asada telah menyerahkan secarik catatan.

“Namanya Bago Go. Menguasai rumah sakit, distribusi obat bius, dan punya bank sendiri, Bank Gogoba.”

Loid mempelajari kertas itu dengan cepat.

“Ada hubungan dengan keluarga pasien lama kami. Tapi aku tidak bisa menyelidikinya secara legal.” Asada menjeda. “Di sisi lain, kau bisa. Dan jika kau menyelidiki dia ... aku tak akan anggap kau pencuri malam ini.”

Loid mengangguk. Itu sebuah kesepakatan yang menguntungkan.

“Tunjukkan padaku.” Asada menyingkir dari mejanya.

“Bolehkah?”

“Kau tak perlu minta izin lagi kalau tadi sudah menerobos masuk,” sahut Asada dengan senyum terkulum.

Loid sadar dirinya telah mengucapkan hal yang konyol. Tapi dia profesional. Ini bidang keahliannya dan Asada butuh itu. Jari-jarinya mulai mengetik. Tak selang lama, informasi didapatkannya tentang orang yang dicari dan dibacakannya untuk Asada,

“Selain empat belas rumah sakit yang terdaftar di Kementerian Kesehatan, ada lagi dua rumah sakit ilegal. Obat bius, kode Tranzofram-β, senyawa baru yang tidak terdaftar di FDA. Satu kematian misterius di RSJ bawahannya, korban bernama Amato.”

Asada berdiri membelakangi, menatap langit malam dari jendela kantor. Dia menyimak seluruh hasil temuan Loid dengan cermat.

“Amato … kau bisa tahu nama korbannya, bahkan saat fakta itu pun tersembunyi dari negara ini.” Asada berbalik, tapi Dokter Loid Forger sudah tak ada di sana.

Layar komputer menampilkan sebuah rekam medis: BoBoiBoy (bin Amato) dengan nama keluarga yang tadinya dienkripsi menggunakan sandi yang lain lagi. Asada terbelalak. Rekam medis itu ditandai pada bagian riwayat kejiwaan yang menceritakan bahwa anak bernama BoBoiBoy itu pernah diculik dan diperlakukan seperti hewan uji untuk mengetes jenis-jenis kepribadiannya yang konon ada tujuh itu. Tak hanya itu, sebuah catatan yang mestinya tadi diketik oleh Dokter Forger terpampang di bawahnya:

Anak seperti itu … seharusnya tak perlu menghadapi dunia dalam ketakutan. Bahkan jika dia punya beberapa kepribadian yang berbeda. Trauma biologis bisa disembuhkan, tapi bagaimana dengan trauma jiwa? Itu bisa terkubur, diam, lalu bangkit menjadi sesuatu yang lebih berbahaya dari penyakit mana pun. Jika saya yang menanganinya … saya akan coba CBT, EMDR, bahkan terapi seni kalau bisa. Setiap elemen intervensi harus diarahkan untuk memulihkan sense of agency-nya.”

Asada duduk di kursinya, masih mencerna semua kejadian malam ini, dan bertanya-tanya sendiri di dalam hatinya, “Apa Dokter Forger benar-benar bukan psikiater? Atau justru karena dia bukan psikiater tulen, empatinya terasa lebih nyata?”

Helaan napas berselimut kantuk terdengar. Rupanya obat biusnya memang tetap berefek, dengan penundaan. Mungkin lebih baik Asada berkemas lalu pergi tidur. Tadi dia sudah pamit pada Miki kalau tidak pulang malam ini. Sebetulnya dia kaget juga bahwa Dokter Loid Forger ternyata berniat mencuri data pasiennya. Gerak-geriknya di berbagai sudut kamera pengawas sehari-hari tampak biasa saja, layaknya seorang dokter tamu muda yang sering datang untuk belajar.

Asada membereskan termos kopinya. Dia tahu bahwa malam ini, sorot mata tajam penuh selidik di wajah orang muda itu bukan milik seorang mata-mata, tapi seseorang yang pernah menjadi anak yang terluka.

Yang pernah terluka dan tak mau rantai luka itu terus terulang.

.

.

.

.

.

Pada akhir masa studi banding, Dokter Loid Forger membawakan sebuah presentasi yang gemilang.

“Dalam salah satu rekam medis pasien anak yang saya pelajari, kasus kepribadian ganda ….”

Asada menegakkan tubuh, semakin dalam mendengarkan. Ijyuuin di sebelahnya mencatat notulensi dengan rajin.

“Terapi psikologis yang mulai dijalani pasien ini pada umur 18 tahun tidaklah terlalu terlambat. Namun, ada baiknya apabila dalam asesmen medis awal pada lima tahun sebelumnya, saat pasien dalam masa rawat inap menunggu donor jantung, aspek psikis juga telah ditelaah agar intervensi dapat dilakukan lebih dini.”

Loid terus bicara dengan tenang sambil menggerakkan pointer sementara Ijyuuin mengangguk-angguk antusias. Nada suara sang psikiater tiba-tiba menjadi lebih tegas.

“Saya percaya bahwa saya dan Anda semua di sini masing-masing bekerja sesuai kompetensi. Namun, apa yang telah saya sampaikan di sini semuanya adalah tindakan kuratif dan rehabilitatif, yang dilakukan setelah sesuatu terjadi pada kejiwaan anak. Kelak, akan tiba masanya, saya berharap, pendekatan psikologis bagi anak-anak bisa menjadi tindakan preventif bahkan promotif. Mencegah lebih baik daripada mengobati, hal itu juga berlaku bagi luka batin.”

Tepuk tangan bergema di ruangan sang direktur. Asada ikut berdiri, penuh hormat atas penutup yang spektakuler dari program pembelajaran rumah sakit Ostania.

Lagi, Asada hanya bisa bermonolog batin, “Dunia ini penuh kepura-puraan. Tapi saat pria ini bicara tentang trauma anak yang bahkan belum dikenalnya ... tak ada kepura-puraan di matanya. Apakah ini bagian dari akting yang sempurna? Atau, justru karena dia terlalu lama berpura-pura, dia akhirnya benar-benar menjadi apa yang dia perankan?”

Kegiatan ramah-tamah kecil menyusul sebelum penutupan acara.

“Kami ucapkan terima kasih atas pengamatan Dokter Forger terhadap sistem kami,” kata Ryutaro Asada di penghujung acara.

“Sama-sama,” jawab Loid Forger.

Mereka berjabat tangan di depan khalayak, berpose formal di depan kamera. Tapi hanya mereka berdua yang tahu bahwa malam sebelumnya, meja itu hampir menjadi TKP misi gagal dan telah menjadi saksi pertukaran informasi.

.

.

.

.

.

To: WISE HQ

Donovan Desmond – data ditemukan. Tidak relevan untuk eksploitasi (operasi kutil wajah).

Kontak : Direktur Ryutaro Asada – tidak antagonis.

Potensi baru : Bago Go – investigasi awal dimulai. Pelaku penculikan anak dan eksperimen ilegal terhadap kejiwaan anak, rawan pemicu perang.

Catatan internal : Asada tidak bisa dibius. Fisik diperkirakan masih prima hingga usia lima puluh.

.

.

.

.

.

Sebelum kembali ke Ostania, Loid bertanya pada dr. Ijyuuin:

“Permisi. Anda tahu toko dorayaki isi kacang yang layak bawa pulang?”

Ijyuuin, senantiasa ramah, tersenyum lembut. “Untuk putrimu?”

“Benar.”

Arase menyahuti, “Stasiun depan. Diskon kalau kamu bawa jas dokter.”

“Atau anak kecil,” tambah Ijyuuin sambil tertawa.

“Wah, terima kasih banyak untuk informasinya.”

Loid tersenyum simpul. Sudah terbayang dalam benaknya, wajah Anya yang nyengir bahagia karena oleh-olehnya. Juga senyum manis Yor yang mensyukuri suaminya pulang habis bertugas di luar negeri.

Untuk pertama kalinya di dalam hidup, Twilight merasa seperti orang biasa.

Orang biasa yang punya impian luar biasa: menciptakan dunia di mana tak ada lagi anak yang menangis karena perang.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

(30 September 2025)