Actions

Work Header

Kasmaran

Summary:

Kita intip secuil kisah Aji & Ale si couple tsundere yang aslinya sama-sama bucin.

Work Text:

Malam minggu begini emang asiknya menghabiskan waktu berduaan sama pacar, apalagi di luar sana hujan turun cukup deras. Aji yang tadi berniat ajak pacar kecilnya buat keliling kota sambil jajan di alun-alun tentu urungkan niatnya karena dia cuma bawa motor, dia nggak mau kesayangannya jadi sakit karena air hujan, meski ada mobil Ale yang bisa dipakainya, tapi tetap aja mereka bakal kena hujan barang sedikit. Jadilah dua anak manusia itu bergelung nyaman di sofa ruang tengah, menonton pertandingan basket dari tim favorit Ale. Aji tentu nggak paham karena dia lebih suka sepak bola, tapi dia tetap nyaman peluk-peluk pacar kecilnya itu.

“Aji, ih, jangan ganggu. Aku nggak bisa fokus nonton.” Gertak Ale kesal. Sudah ada tiga puluh menit dirinya dikerjai oleh pacarnya yang kayak titan itu, badan kecilnya dari tadi diremas-remas kecil, bahunya digigit gemas hingga memerah. Kaos longgarnya udah berantakan satu bahunya menyembul karena kaosnya ditarik Aji.

Dengar suara pacarnya yang kesal nggak buat Aji menyudahi kegiatannya, dia cuma ketawa kecil dan lanjut mengecupi bahu Ale yang banyak bekas gigitan, “Kamu makin gembul deh, enak diuyel.”

“Rese.”

“Iya, iya. Ini diem, tapi mau dikelonin.” Ucap Aji manja, dia yang dari tadi memeluk Ale sedikit bangkit, minta persetujuan pacar kecilnya itu.

Ale cuma melirik sebentar, dia langsung mengangguk dan merentangkan tangan, buat Aji buru-buru pindah ke depan, merendahkan badannya buat peluk Ale dari depan. Kepalanya nyaman mendusal pada dada Ale, sedang si kecil itu beri kecupan kecil di ujung kepala pacarnya.

“Elus kepalanya, yang.” Begitulah Aji, dia ini sebenarnya manja nggak ketulungan, apalagi kalau lagi butuh perhatian dari Ale. Terkadang banyak gengsinya juga, lebih-lebih kalau ada di depan banyak orang. Ale pun sama, yang lebih pendek itu gengsi maksimal kalau sedang di tempat umum, terlebih di depan teman-temannya, tapi kadang dia bisa nggak sadar jadi manja ke Aji. Kalau kata teman-temannya sih mereka ini pasangan tsundere, sedari awal mereka kelihatan tertarik satu sama lain, tapi keduanya kompak menyangkal, ujung-ujungnya mereka pacaran juga karena rasa cemburu Ale saat Aji dirumorkan dekat dengan partner olimpiadenya, padahal semua itu kebohongan belaka yang dibuat teman-teman mereka.

Ale turuti kemauan Aji, dia elus kepala pacarnya sesekali mainin rambut hitamnya yang lebat. Rambut Aji itu salah satu favorit Ale karena rambutnya sehat, lembut, enak dibuat mainan katanya. Aji bingung, tapi ya sudahlah, biarkan, dia suka-suka aja. Sedang Aji nyaman memejamkan mata, dia singkap sedikit kaos pacar kecilnya, peluk erat pinggang ramping Ale.

“Aji bosen?” Tanya Ale pelan, udah dua pertandingan yang dia tonton, hampir dua jam lamanya, takut pacarnya itu bosan menemaninya. Apalagi Ale tau kalau Aji nggak terlalu tertarik sama basket.

Aji cuma geleng pelan, mana mungkin dia bosan kalau sedari tadi dia dibiarkan mendusal manja pada pacarnya yang agak galak itu, “Ngantuk.” Jawabnya teredam.

Bisa Ale rasakan napas hangat Aji yang menembus kaosnya, membuat kulit dadanya merasakan udara hangat itu. Tangannya masih saja bertengger di kepala Aji, mengelus penuh kasih sayang, “Pindah ke kamar, yuk.”

Aji menggeleng lagi, dia makin eratin pelukan, “Di sini aja.”

“Nanti pegel-pegel.”

“Selesaiin dulu aja nontonnya.”

Ale terkekeh, meski sering ngeselin Aji itu kelewat perhatian sama dia, apapun yang Ale mau bakal dikasih sama Aji, bahkan kalau Aji nggak suka sama hal itu.

“Udah selesai, yuk?”

Aji buka matanya yang udah merah, beberapa hari ini dia emang lagi susah tidur, tapi hari ini, bahkan masih jam lima sore, Aji merasa matanya berat cuma karena dipeluk dan dielus kepalanya sama Ale. Aji mendongak, tatap Ale yang baru aja mengecup kepalanya, dia senyum tipis, “Mau di bibir juga.”

“Manja.” Mata ale memutar malas, meski begitu dia tetap beri satu kecupan di bibir tebal Aji, segera mengajaknya buat bangkit dan pindah ke kamar.

Di apartemen yang nggak mewah-mewah banget ini Ale tinggal sendirian, jadi bebas mereka bermesraan di sudut mana saja. Sebetulnya beberapa kali Ale mengajak Aji untuk tinggal bersama, tapi si dominan itu nggak mau. Bukan benar-benar nggak mau, tapi bagi Aji, dia harus memiliki izin dari orang tuanya dan orang tua Ale. Mereka ini memang baru enam bulan memadu kasih, Aji sendiri belum berkesempatan buat bertemu orang tua Ale, karena orang tua pacarnya itu sibuk bolak-balik untuk berbisnis.

“Elus-elus lagi.” Aji arahkan tangan kecil Ale untuk kembali mengelus kepalanya setelah mereka nyaman bergelung di bawah selimut.

“Kamu tumben banget jam segini ngantuk?” Tanya Ale penasaran, dia kembali melakukan kegiatannya— mengusap-usap kepala Aji.

“Seminggu ini insom, tapi sekarang aku ngantuk banget dipeluk kamu gini.” Jawab Aji setengah sadar, dia benar-benar mengantuk.

“Makannya kamu pindah di sini aja, ‘kan enak tiap hari bisa bobo nyenyak.” Ujar Ale tanpa beban. Meski dia tau penyebab Aji susah tidur itu kalau nggak karena tugas kuliahnya yang nggak habis-habis ya kopi yang direfill terus karena dominan itu harus tetap terjaga buat menyelesaikan tugasnya. Efeknya bisa berkelanjutan meski Aji sudah mengurangi asupan kopinya.

“Mm…”

Gumaman Aji buat Ale terkekeh, napas Aji sudah teratur, pelukan di pinggangnya sedikit melonggar, tanda pacar gantengnya itu udah pulas tertidur. Ale yang nggak ngantuk sama sekali memilih buat buka ponselnya, mencari resep buat dia masak untuk makan malam nanti.

Hampir satu jam lamanya Ale jelajahi internet, akhirnya dia menemukan satu resep camilan yang kelihatannya menggoda cacing-cacing di perutnya. Ale itu anaknya nggak betah kalau disuruh diem doang, seenggaknya dia harus mengitari setiap sudut apartemennya dua sampai tiga kali biar nggak merasa terlalu bosan. Tapi sekarang dia nggak bisa melakukan itu, karena nanti kalau Aji bangun dan nggak menemukan si kecil kesayangannya itu udah pasti dia bakal ngambek, Ale nggak mau buat pacarnya merajuk malam minggu gini, karena dia lagi kangen-kangennya.

Nggak lama Aji kebangun karena merasa kosong, dia buru-buru buka matanya meski masih lengket, buat Ale segera beri usapan di kepala Aji.

“Kenapa?”

“Jangan dilepas peluknya.” Rengek Aji manja, suaranya serak khas orang bangun tidur, bedanya suara Aji jadi makin rendah aja, buat Ale meleleh mendengarnya.

“Enggak, aku dari tadi nggak gerak loh.”

“Beneran?” Mata sipitnya makin menyipit, lucu kalau kata Ale.

“Beneran, Aji.”

Nggak ada percakapan lagi, Aji kembali tidur, kali ini peluk Ale erat-erat, bahkan kakinya mengunci kaki Ale. Nggak bohong kalau Aji selalu nyaman di pelukan Ale. Kalau boleh meminta, Aji bakal ulangi satu permintaan yang sama, di kehidupan manapun dia mau ketemu sama Ale lagi, dia mau spend his whole life sama Ale, mau lahir jadi pohon pun dia mau bersanding sama pohon Ale, bahkan kalau di kehidupan lain dia jadi kecoa dan Ale manusia, apapun caranya dia bakal berusaha buat kasih tau Ale kalau dia Aji– pacarnya yang paling ganteng di alam semesta lain.

Pernyataan Aji di bulan pertama mereka pacaran itu buat Ale tersentuh tentu saja, si kecil itu tentu diam-diam inginkan hal yang sama, pertama kali jatuh cinta, dia merasa nggak perlu coba-coba cinta yang lainnya lagi. Baginya Aji sudah lebih dari cukup dari yang selama ini dia semogakan. Sejak hari pertama dan mungkin buat waktu yang lama Ale nggak pernah lelah buat terus rapal doa, agar Aji selalu sama dan terus bersamanya sampai nafas terakhirnya dan bahkan jika mereka terlahir kembali nantinya.

Ale cuma tersenyum, dengkuran halus dari Aji buat dia ikut mengantuk, suara hujan di luar sana samar-samar memenuhi pendengaran karena jendela kamarnya sedikit terbuka. Si kecil itu akhirnya ikut tertidur setelah benahi letak selimut tebal yang membalut tubuhnya dan Aji.

 


 

Malamnya mereka terbangun karena dering telepon dari ponsel Ale yang memang disetel dengan volume keras, buat si kecil itu berkali-kali minta maaf pada pacar gantengnya. Aji cuma senyum kecil, dia hujani kecupan kupu-kupu pada wajah Ale yang terlihat menyesal karena terlupa mengaktifkan mode dnd di ponselnya.

“Gapapa, nanti masih bisa ditidurin kamu lagi.” Ucap Aji menggoda, meski wajahnya sedikit bengkak dan matanya masih merah karena kantuknya belum sepenuhnya hilang.

“Yang ada kamu tidurin aku?”

“Ya udah, nanti kamu di atas, biar sesekali kamu tidurin aku.”

Ale mendelik, rasa sesalnya hilang gitu aja, sekarang berganti rasa kesal dan sedikit malu, dia dorong dada bidang Aji, menarik selimut dan balut tubuhnya, menyisakan kepala bulatnya, “Mesum, jauh-jauh sana.”

Aji ketawa senang, lihat Ale udah kayak ulat bulu, maka dia timpa tubuh Ale, sengaja menggulung selimut putih itu, buat Ale teriak minta dilepaskan.

“Ih Aji, nggak mau. Jauh-jauh dari aku.” Ale berontak saat Aji terus hujani kecupan di wajahnya, bahkan bibir keringnya nggak luput dari serangan, padahal Ale sengaja nggak pakai lip care dan lip balm agar Aji nggak terus-terusan mengerjai bibirnya, tapi Ale sepertinya lupa kalau Aji nggak peduli dengan itu, karena selama itu Ale, Aji pasti suka.

“Sayang, aku laper.” Ujar Aji tiba-tiba, dia masih nggak melepas Ale yang sedikit kepanasan karena ac di kamar memang dimatikan.

“Ya udah lepasin. Aku mau bikin potato cheese baked. Kamu mau makan apa?”

Dahi Aji mengerut, seperti tengah memilah menu yang ingin dia makan, semenit berlalu, Aji tersenyum aneh, menatap Ale yang sejak tadi menatapnya, menunggu jawaban.

“Kamu.”

Kerutan di dahi Aji berpindah ke dahi Ale, bukan nggak mengerti, cuma nggak mau salah mengartikan.

“Males ah, kamu suka nggak jelas.” Kesal Ale, bibirnya maju satu senti.

“Apa aja deh, yang penting kamu yang masak.” Ucap Aji cepat, dia tangkup pipi Ale sebentar, curi satu kecup di bibir, lalu Aji bangkit, dia gendong pacar kecilnya ke dapur, dudukkan Ale di meja pantry.

Chef butuh apa aja? Biar aku siapin bahan-bahannya.”

Alis tipis Ale naik satu, tangannya menyilang di dada, dia tatap Aji yang mengungkungnya, Aji rendahkan tubuhnya, sejajarkan wajah mereka, hidung mereka bahkan hampir bersentuhan.

“Emangnya kamu tau?” Remeh Ale memancing, dia nggak mau biarin Aji beranjak dari sana terlalu cepat, bisep pacarnya yang nggak ketutup apa-apa itu terlalu menggoda buat dilewatkan.

“Aduh, chef ngeremehin aku? Chef nggak tau ya kalau aku udah pro karena sering bantuin pacarku, hm?” Aji makin maju, dia menyeringai menggoda.

Ale mengangguk paham, dia miringkan kepalanya gemas, “Oh, bukan karena sering kena omel gara-gara udah dikasih tau berkali-kali tapi tetep nggak tau namanya?”

Mata Aji menyipit, nggak terima fakta seterang itu dibeberkan begitu saja. Telapak tangan kanan Aji yang besar itu naik, menahan kepala pacar kecilnya agar tak terbentur rak di belakang kepalanya, karena setelah itu Aji terus maju, menyerang bibir Ale buat kesekian kalinya, kali ini dia gigit gemas hingga Ale mengaduh. Aji nggak berhenti di sana, dia tarik pinggang ramping Ale, membawa yang lebih kecil untuk lebih menempel karena Aji mau beri afeksi lebih.

Bibir kering Ale beradu dengan bibir kering Aji, lidah mereka sudah hafal harus bergerak seperti apa. Ale mulai memerah karena Aji nggak beri dia kesempatan buat raup oksigen, sampai akhirnya Ale tepuk dada pacarnya cukup kuat, minta bibirnya untuk segera dilepas karena udah benar-benar kehabisan oksigen. Dadanya naik turun, bibirnya sedikit bengkak dan memerah basah. Aji pun sama, bedanya dominan itu tersenyum puas, jempolnya menyeka sisa saliva yang menempel di sudut bibir Ale.

“Jadi, chef butuh apa aja?”

Ale mulai mendikte apa-apa saja yang dibutuhkan, tentu Aji sigap mengambilnya, seperti yang dia katakan, dia ini sudah lebih baik dalam menghafal nama nama sayur dan bumbu dapur. Seketika dapur kecil yang terhubung dengan ruang tengah itu terasa sibuk, Ale fokus dengan pisau dan bahan-bahan masaknya, sedang Aji sibuk menggoda dan merecoki pacarnya. Meski sudah biasa dengan Aji yang suka peluk-peluk saat dirinya memasak, tentu nggak sekali dua kali Ale merasa kesal karena demi apapun, Aji suka sengaja membiarkan badannya total bersandar pada Ale, suka nggak sadar kalau dominan itu berat.

“Aji ih, berat. Kamu mah—”

Cup.

“Anak cantik nggak boleh ngomel, nanti cepat tua, mau keriput-keriput?”

“Hh, mending kamu sini, bantuin aku potong wortel.”

Aji langsung menggeleng ribut, punya badan besar begitu nggak buat Aji jadi berani pegang pisau, takut-takut jarinya yang kepotong katanya.

“Nggak akan kena jari kalau kamu hati-hati.”

“Kamu aja, tanganku sibuk.” Tolak Aji cepat, dia eratkan pelukan pada pinggang Ale.

“Sibuk gangguin aku masak.”

Setelah puas masak makan malam sambil sayang-sayangan, akhirnya menu makan malam mereka tersaji juga di meja makan. Aji yang kelewat lapar udah asik menikmati potato cheese baked yang masih panas, buat Ale ngomel karena pacarnya itu bandel minta ampun.

“Udah dibilang tunggu sebentar, baru juga keluar dari oven.” Meski mulutnya nggak berhenti ngomel, Ale berikan satu gelas air pada Aji agar rasa panas di lidahnya tersamarkan.

“Masakan kamu menggoda banget, enak lagi. Nggak pernah gagal deh, hotel bintang lima mah kalah.” Puji Aji bertubi-tubi.

Pujian itu sudah sering didengar, tapi mau berapa ribu kali pun tetap bisa buat Ale tersenyum malu-malu. Itu baru satu, masih ada tiga menu lainnya di meja yang siap dipuji oleh Aji.

“Sini, sayang. Aku suapin aja, kamu udah capek masak banyak.”

Untungnya Ale ini manusia, coba kalau lilin, pasti udah meleleh berkali-kali.

Aji ulurkan satu sendok penuh setelah meniupnya beberapa kali, dengan senang hati Ale menerimanya, bibirnya tertarik maksimal, puas dengan hasil masakannya.

“Habis ini pasang lego, mau nggak?” Ajak Aji pada si kecil Ale.

“Mau jalan-jalan.”

“Hujan, yang. Nanti kamu demam.”

“Pake mobilku ‘kan bisa, nggak akan kena hujan,” Ale sengaja bulatkan matanya, tatap Aji kayak anak kucing yang minta diadopsi, “Bosen tau dari pagi di rumah.” Ucap Ale manja, bahunya merosot minta dikasihani.

“Janji nggak rewel minta turun di alun-alun?”

“Janji, muter-muter aja sebentar. Boleh ya, Aji.”

Kalau sudah pakai senjata andalannya, Aji mana bisa menolak, jadi dia anggukkan kepala, lanjut menyuapi Ale hingga piring-piring di meja bersih dari masakan lezat Ale. Setelahnya Ale bergegas buat bersiap, seenggaknya dia mau berganti pakaian karena Aji pasti tidak memperbolehkannya keluar pakai celana pendek di cuaca dingin seperti sekarang.

“Wih, cantik bener, pacar siapa ini?”

Aji yang baru mau ketuk pintu kamar Ale dibuat takjub sama pemandangan di depannya. Ale sengaja pakai jaket besar Aji yang sengaja ditinggal di sana. Si kecil itu bahkan menata rambutnya rapi dengan poni sebatas alisnya menutupi dahi. Wajahnya jadi bulat, bikin Aji kegemasan.

“Pacar Aji.”

“Ajinya mau peluk dong, sayang.”

Lihat Aji yang merentangkan tangan buat Ale langsung berhambur peluk pacarnya. Senyumnya nggak bisa dia tahan lagi karena Aji bisikkan kata-kata manisnya seperti biasa.

“Makasih ya, sayang. Kalo waktu itu kamu nggak keceplosan cemburu kayaknya sampe sekarang aku nggak bisa peluk peluk kamu kayak gini.”

“Berarti kamu nggak ada niatan buat confess ke aku sampe kapanpun? Jahat banget.”

“Nggak… maksudnya nggak tau hehe.”

Aji didorong sama Ale, si kecil itu mendadak sebal, kakinya menghentak sebal ninggalin Aji yang meruntuki dirinya sendiri. Dia buru-buru kejar pacar kecilnya yang ngambekan.

“Yang, bercanda sumpah.”

“Males. Lu ngeselin.”

Ale selalu menghindar saat pacarnya berusaha meraih dirinya, bahkan disaat seperti ini pun si Aji Aji itu masih nggak berani buat langsung memeluk Ale. Padahal si kecil itu nggak benar-benar marah. Dua sejoli itu berdiri berjauhan waktu masuk lift kosong karena Ale terus bergeser kalau Aji mendekat, tapi sepertinya semesta berpihak pada Aji karena tiba-tiba lift itu penuh sama satu rombongan keluarga dari lantai delapan. Keadaan itu bikin Aji cekatan bergeser ke Ale dan merengkuh pacar kecilnya. Mereka terhimpit di pojok belakang, buat Ale sedikit sesak karena oksigen yang tipis karena lift benar-benar penuh, apalagi Ale punya phobia dengan tempat sempit seperti ini.

“Aji…” Cicit Ale pelan, dia malu karena pinggangnya diangkat oleh Aji dengan mudah pakai satu tangan, tentu lengannya reflek merangkul bahu Aji. Padahal nggak sampai lima menit lift mereka bisa sampai di basement, Ale masih bisa tahan dengan rasa sesak dan cemas yang tiba-tiba datang.

“Biar nggak sesek.” Bisik Aji dengan senyum. Dia pikir setidaknya Ale bisa melihat ruang longgar kalau dia angkat badan Ale jadi sejajar dengan dirinya.

Saat satu keluarga itu akhirnya keluar satu persatu, Aji turunkan pacar kecilnya, buat Ale tersenyum malu karena perhatian Aji.

“Makasih, Aji.”

“Sayang.”

“Eum… m-makasih sayang.”

Gemas, pipi Ale langsung memerah sampai telinga.

“Sama-sama sayangnya Aji yang paling manis.”

Dua sejoli itu akhirnya meninggalkan basement dengan Aji yang mengemudikan mobil merah milik Ale. Jalanan aspal yang basah sedikit memantulkan cahaya dari lampu jalanan, menambah kesan hangat meski sebenarnya cuaca sangat dingin. Rintik-rintik gerimis mulai menghias kaca mobil membuat pandangan di luar sedikit kabur. Ale duduk nyaman di kursi favoritnya— kursi samping kemudi. Si kecil itu emang lebih suka jadi passenger princess daripada harus berkutat dengan kemudi, sesekali dia amati pacarnya yang fokus membelah jalanan. Namanya malam minggu, mau hujan deras pun pasti ramai, macet pula.

“Mau kemana lagi, yang?” Tanya Aji setelah dua puluh menit dia bawa mobil merah itu berbelok asal.

Ale terlihat menimbang nimbang, dia nggak punya tujuan sama sekali, hanya ingin melihat basahnya kota setelah hujan. Musik yang mengalun pelan mengisi keheningan itu, mereka emang biasa saling diam di dalam mobil, atau setidaknya Aji yang akan jadi pendengar karena Ale yang nggak bisa diam.

“Yang?”

“Pengen ke alun-alun.”

“Tadi janjinya gimana?”

“Lewat aja, please. Janji nggak minta turun.” Ale mulai merengek.

Mobil merah itu akhirnya berbelok ke kiri di pertigaan, ambil jalan alternatif untuk putar balik ke alun-alun yang sengaja tak dilewati. Ale yang memekik senang tentu buat Aji tersenyum, karena demi apapun pacar kecilnya itu sangat menggemaskan. Bahkan Ale sengaja beringsut maju cuma buat kecup singkat pipi tirus Aji.

“Lagi dong.” Pinta Aji sambil menggoda dan dihadiahi tinjuan kecil di lengannya.

“Nggak.” Ucap Ale kesal, kesal karena salah tingkah.

Memasuki area alun-alun Ale nggak sengaja melihat layar besar yang menampilkan satu poster film yang ingin dia tonton, dengan heboh dia ajak pacarnya untuk singgah.

“Aji, ada bioskop drive in. Please please puter balik.”

Aji cuma menurut, dia periksa jalanan belakang sebelum membelokkan mobilnya masuk ke lapangan besar di tengah alun-alun, ada beberapa mobil yang sudah terparkir di sana, Aji segera ambil tempat dan matikan lampu mobilnya. Film itu belum dimulai, jadi mereka harus menunggu di sana.

Aji mundurkan kursinya, beri isyarat pada pacar kecilnya untuk bergabung dengan dirinya— duduk di pangkuannya. Si kecil itu tersenyum senang, segera menyamankan diri di atas tubuh Aji, buat yang lebih besar dengan senang hati peluk pacar kecilnya.

Mereka sangat suka dengan keintiman seperti ini, meski di luar sering nampak ogah-ogahan, ada kalanya mereka super haus afeksi. Ale itu ringan, jadi dia nggak sungkan buat berlama-lama di pangkuan Aji, apalagi Aji selalu buat dia nyaman, meski kadang jahilnya bikin kesal juga. Biasanya Aji suka nggak bisa diam kalau lagi pelukan seperti itu, tangannya bakal menjelajah dari ujung kepala sampai bagian bawah yang bisa dijangkaunya. Sekarang dia udah sibuk mainin satu tangan Ale, beri kecup pada tiap buku-buku jarinya, satunya dia buat elus perut ale dari balik jaket.

“Diem yang, jangan gerak terus, nanti ada yang bangun.”

“Hih, geli tau, singkirin tangan kamu dari perutku.”

“Panggil sayang dulu.”

“Sayang.”

“Cium”

Ale mendengus, dia bukan nggak suka, cuma masih gengsi aja. Dia bisa kok lakuin hal-hal romantis asal nggak disuruh.

“Banyak mau.”

“Enggak ah, cuma satu aja mau ku.”

“Masa?”

“Tanya ‘apa?’ gitu, cepet yang.”

Mulai. Mau ngegombal lagi dia, batin Ale.

“Hm, apa?”

“Kamu. Dari dulu juga aku cuma mau kamu.” Ucap Aji serius, dia eratkan pelukannya, tanda dia nggak main-main dengan ucapannya. “Sama aku terus, ya?”

“Iya Aji, asal Aji nggak jadi jahat, Ale mau terus sama Aji.”

“Janji?” Aji ulurkan kelingkingnya yang langsung disambut dengan kelingking Ale.

“Janji, sayang.”

Bahagianya membuncah, Aji langsung hujani kecup pada wajah pacarnya, film yang udah terputar itu nggak sepenuhnya ditonton karena dua sejoli yang tengah kasmaran itu asik bercumbu mesra. Beruntung kaca mobil mereka gelap dan cahaya di luar juga dibuat remang.