Chapter Text
“Jadi.. Shinazugawa-sensei dan Kocho-sensei menjalin hubungan?”
Zenitsu merasa telinganya membesar. Ia berhenti di lorong dan menguping dengan sabar lanjutan pembahasan.
“Aaaa..! soal itu aku pernah lihat Shinazugawa-sensei marah-marah saat sedang mengajar, lalu tiba-tiba menjadi tenang saat Kocho-sensei masuk karena ada urusan!”
“Eeehh, bukankah itu wajar? Shinazugawa-sensei tidak akan marah tanpa alasan!”
“Eeeeh, kalian memang tidak pernah lihat Kocho-sensei membawa bunga yang sudah di rangkai saat ekskul? Yang di bucketnya ada inisial S?!”
Saat itu gadis-gadis menjerit.
“Eh, saat kegiatan klub aku juga pernah lihat mereka pulang bareng!”
“Ihh, malah Genya pernah dititpin sesuatu dari Kocho-sensei buat Shinazugawa-sensei!”
Zenitsu mengerenyit. Memutuskan pergi dari tempat itu setelah merasa informasi sudah cukup.
.
.
Shinazugawa Sanemi adalah guru ter-killer yang ada di Kimetsu Gakuen. Semua siswa dari kelas 1 sampai kelas 3 takut padanya. Selain karena pelajarannya yang menjadi momok dan paling dihindari, kepribadian yang ketat dan meledak-ledak menjadi faktor lainnya mengapa Shinazugawa-sensei paling disegani di sekolah. Manik ungunya sering melotot. Badannya besar dengan derap langkah berat mengejar siswa yang berlarian di lorong.
Berlawanan dengan Kanae Kocho, guru biologi yang merangkap guru pembimbing ekskul perangkai bunga. Seluruh siswa laki-laki dan perempuan menyukainya. Mereka rela bekerja keras dalam mata pelajarannya. Surai hitam yang panjang dengan jepitan kupu-kupu. Mata merah muda dan senyum lembut untuk semua orang, membuat hati teduh dan betah berlama-lama di kelas Kocho-sensei.
Sekarang bayangkan. Shinazugawa-sensei yang sangat garang bak singa gurun berpasangan dengan Kocho-sensei sang kembang desa yang bergoyang lembut di padang rumput.
“TIDAK MUNGKIN! DAN LAGI AKU TIDAK TERIMA..!”
Zenitsu ada disini. Sebagai salah satu fans berat Kocho-sensei dan korban Shinazugawa-sensei. Melihat bangunan imajinya yang menghadirkan Shinazugawa dan Kocho yang berdampingan di pelaminan membuatnya stress sendiri. Selain mimpinya di masa depan menikahi Nezuko adik Tanjiro— sahabatnya, ia masih mencoba meraih peruntungan untuk membuat terkesan bu guru cantiknya di sekolah.
Lagian tidak ada satu orangpun di sekolah ini yang tidak punya kasus dengan Shinazugawa-sensei si guru matematika yang killer itu.
“Memangnya kenapa Zenitsu?” bahkan Tanjiro yang sekarang memandangnya polos. Pernah bentrok dengan Shinazugawa dalam skenario yang paling mengerikan.
Tanjiro pernah membentak Shinazugawa-sensei yang sedang memarahi adiknya sendiri. Memang agak sengklek teman Zenitsu yang satu ini.
Yah, walau masalahnya sudah selesai dan tidak ada lagi dendam diantara keduanya.
“Kau sudah dengar soal ini Tanjiro? Katanya Kocho-sensei dan Shinazugawa-sensei berpacaran!”
“Oh? Benarkah? Bagus untuk mereka berdua!” Tanjiro tertawa. Menggapai informasi dengan positif.
“AAARRHHH..! PERCUMA BICARA PADAMU…!”
.
.
Ruang guru Kimetsu Gakuen biasanya memang panas. Kadang guru-guru mematikan AC dan membuka jendela menerima angin sepoi cuma-cuma. Tetapi minggu ini AC sudah diupgrade dengan ukuran 2PK. Jadi yang membuat gerah disana bukan lagi masalah sirkulasi udara.
“Rame, Shinazugawa.” Obanai yang baru selesai jam pelajaran menghempaskan dirinya di kursi.
Menginterupsi Shinazugawa yang fokus mengoreksi.
“Hah?”
Obanai melirik. Urung membuka surat dari Kanroji dan menatap sahabatnya sejak kuliah.
“Gosip lu ama Kocho rame,” ulang Obanai dengan suara yang agak keras.
Shinazugawa terdiam. Ia mencera setiap kata yang keluar dari mulut bermasker Obanai. Telinganya yang sedang kurang baik, atau memang Obanai yang bicaranya tidak jelas.
“Apa?”
“Buset dah,” Obanai akhirnya geregetan. Ia paham alih-alih tidak dengar, Shinazugawa sebenarnya terkena serangan mental. Maka Obanai memutuskan menarik turun masakernya.
“ELUUUU!” penuh penekanan. “AMA KOCHOOOO!” jeda satu napas. “RAME DIOMONGIIIN..!” nah, biar sekalian mental breakdown dah tuh guru yang paling sering bikin mental siswa breakdance.
Masker ditarik lagi menutupi wajah tuan muda satu-satunya dari keluarga Obanai. “Masih nanya lagi gua pake juga nih speaker sekolah,”
Lalu mata terbelalak dan jeritan panik Shinazugawa diabaikan Obanai yang membuka surat dari Kanroji dengan tenang.
“AAARRGHHH…!”
.
.
“Oke murid-murid.. pembelajaran hari ini telah selesai. Ada pertanyaan sebelum saya tutup?” Himejima dengan seksama menyapu pandangan dari sudut ke sudut. Dari depan hingga belakang agar tidak ada yang lepas dari radarnya.
“SENSEI..!”
“Iya Agatsuma?”
Himejima tersenyum tipis. Menunggu pertanyaan yang biasanya tidak terduga dari muridnya yang satu ini.
“EMANG BENER SHINAZUGAWA-SENSEI DAN KOCHO-SENSEI PACARAN?!”
Himejima tidak terkejut. Cuma kaget dikit tiba-tiba anak muridnya bertanya hal sedemikian pribadi tentang guru mereka. Sebelum ini memang pertannyaan dari siswa tidak kalah absurd dan tidak berhubungan sama sekali dengan materi Pelajaran yang ia siapkan masak-masak.
Belum menjawab, sekelas sudah riuh oleh keberanian Zenitsu mengonfirmasi gossip yang sudah beredar seminggu ini.
Maklum, pemetaan buat hari valentine. Gak mau mereka lihat guru yang paling dicinta menolak semua coklat dari siswa demi sebatang coklat dari seorang honorer di sekolah.
Wess.. honorer gak hina bos. DPR tuh yang anj—
“Oke, tenang semuanya!”
Himejima sebenarnya bukan tidak tahu. Namun semua guru yang sudah tahu sepakat tutup mulut untuk tidak membahas topik ini yang notabene menjadi favorit semua siswa dari kelas satu sampai tiga; tidak peduli gendernya.
Ini mau ujian, dikit lagi liburan, jadi mereka bisa tenang melaksakan pernikahan—eh. Bukan, maksudnya. Hubungan Shinazugawa dan Kocho tidaklah selinear materi matematika kelas 1. Penuh kurva meliuk yang mengikutinya aja ikutan pusing.
Demi menghormati kedua belah pihak yang masih dalam masa pendekatan, Himejima selaku wakil kepala sekolah punya kewajiban menjaga suasana kerja tetap kondusif, produktif dan profesional. Pun juga situasi belajar mengajar. Jangan sampai seluruh siswa dibuat heboh dengan kisah cinta antara guru biologi dan matematika.
Apa sih memang yang bikin mereka belum official sampe sekarang? Yaa.. wajarlah.
Sukaduka cinta guru honorer beradik banyak.
Keberatan ada di pihak laki-laki yang sudah mandiri. Tapi masih punya tugas memandirikan keluarga. Sedihnya kalau dipikir generasi sandwich tulang punggung yang ambil privat sana sini bahkan di hari libur demi persiapan kuliah adiknya.
Himejima tidak mau ikut campur. Tapi semua itu terbaca begitu jelas dari sudut pandangnya seperti buku yang terbuka.
Semua siswa sudah tenang. Matanya berbinar seperti hendak dikasih Bintang. Himejima menatap sedih murid-muridnya yang kalau tiap hari antusiasme belajar begini bisa masuk universitas manapun yang mereka mau.
“Soal itu, tidak baik membicarakan kehidupan pribadi guru kalian..”
“Jadi itu benar?” Himejima menoleh pada seorang anak di sudut ruangan.
“Benar atau tidak, itu bukan urusan kalian. Jadi mari lupakan ini dan Kembali fokus belajar.”
Sekelas mendesah kecewa karena rapatnya mulut Himejima.
“SENSEI TIDAK SERUU..!”
Himejima diam sebentar. Habis ini adalah jam pulang. Ia lirik waktu di dinding. Masih ada 5 menit sebelum doa penutup oleh ketua kelas.
“Teman-teman perhatikan..”
Himejima jarang memakai karisma dan kekuatannya untuk menarik atensi semuanya. Jika sudah keterlaluan barulah keluar tepukan dahsyat dari telapak tangan ke papan tulis.
“Hubungan itu tidak sesederhana seru atau tidak. Kalian tidak boleh meremehkan ikatan suci yang dijalin dua anak manusia.”
Karena bagi Himejima, penting mengajarkan ini kepada anak-anak didiknya.
“Jika tidak bisa memberikan kebahagiaan. Maka jangan menyakiti.”
Seketika semua terdiam. Bel berbunyi nyaring. Ternyata pembicaraan ini menyita lebih banyak waktu dari yang ia kira.
.
.
“Udah cepetan! Mau sampai kapan coba,”
Obanai mendorong.
Shinazugawa terdiam. Karena mengajak hidup bersama lebih sulit daripada membimbing ujian anak kelas 3. Shinazugawa sudah tidak mood bekerja. Pikirannya bercabang kemana-mana.
“Duitnya belum kekumpul ya?” Obanai bertanya lembut. Tidak bermaksud merendahakan apalagi menghina. Hanya murni sebuah perhatian dan kekhawatiran dari seorang sahabat lama.
Sanemi menghela napas. “Buat mahar mah udah ada sih..” punggung dilemaskan ke sandaran kursi.
“Yaudah gaas!”
“ELU NGOMONG ENAK BANGET GAS GAS OKE GAS.”
“Allah. Salah ngomong gue.”
Tidak. Shinazugawa tidak menyalahkan Obanai sama sekali. Mendengar empati dari sahabat lama saja sudah membuat hatinya hangat. Obanai yang satu-satunya tuan muda dalam keluarga matriarki barangkali tidak akan pernah mengerti. Betapa beratnya menjadi seorang guru honorer yang mengurus rumah tangga sekaligus tulang punggung adik-adiknya yang masih sekolah.
Kalau mau dipikir, minimal sekali ia baru bisa bernapas jika Genya sudah lulus kuliah. Sekarang bocahnya masih kelas 1 SMA. Belum tentu sekolah tingginya dapat beasiswa. Mengikuti adik-adiknya yang lain yang masih membutuhkan sosok orangtua. Yang memberi nafkah. Secara lahir dan batin.
Shinazugawa sulung rasanya egois bukan main. Jika memilih keluar dari rumah. Memulai hidup baru berdua dengan Wanita yang selama ini ia damba.
“Gila gua.” Shinazugawa Sanemi mengacak surainya frustasi.
Ia belakangan sudah terbiasa menekan urgensi alamiah yang dirasakan pria seusianya. Otaknya yang terbiasa mengurusi soal logika mengasahnya membuat Keputusan paling rasional dalam hidupnya.
Buat sekarang, tidak realistis jika menikah dengan Kocho Kanae yang notabene keluarga dokter.
Cantik, anak sulung, dari keluarga berada yang dihormati semua orang. Sementara Sanemi siapa. Bukan dari keturunan terpandang. Kebetulan nasibnya kurang mujur. Punya ayah sialan yang suka main tangan. Beberapa tahun lalu akhirnya keluar rumah setelah pertengkaran hebat dengan Sanemi semasa kuliah. Ibunya sampai hari ini masih cari sambilan meringankan beban.
Sanemi sayang sekali dengan keluarganya. Dia bukannya merendahkan mereka saat Kocho Kanae membalas tatapan penuh arti miliknya. Sanemi hanya kebanyakan berpikir yang kurang menyenangkan saat keduanya bersanding dan berhadapan.
Makanya sampai sekarang, biar katanya Shinazugawa-sensei dan Kocho-sensei sering bersama. Sanemi belum percaya diri memperjelas kemana arahnya mereka berdua.
“Rame banget Shinazugawa sama Kocho diomongin.. hahaha!” Rengoku masuk. Bel pulang sudah berbunyi. Artinya kelas sudah selesai dan guru kembali ke kantor.
Sedihnya, punya kisah cinta terhalang ekonomi.
“Shinazugawa. Kapan sebar undangan?” Rengoku duduk di kursinya. Mengambil tumbler dan menenggak semua isinya hingga tandas.
Ini lagi satu. Rengoku Kyojuuro pewaris utama sebuah keluarga bangsawan yang anomali jadi guru.
Heran Sanemi juga. Udah struggle beasiswa penuh selama kuliah. Cari tempat kerja yang stabil dan dekat dari rumah. Makin banyak uang yang ia sisihkan, makin Sejahtera keluarga. Dengan perhitungan sematang itu juga, masih aja ketemu sama orang-orang kaya yang tidak jarang membuatnya iri dan dengki.
Tapi mereka ini sahabatnya Sanemi. Menghargai keringat dan perjuangan seperti idealism hidup itu sendiri. Makanya kali mereka ketemu ya. Kata orang-orang mah.. mereka sefrekuensi.
PLAK!
Obanai tiba-tiba menggeplak Rengoku yang lagi elap mulut pakai tisu. Pakai kode mata melotot dan lirik-lirik kecil kepadanya.
“SSSSTT…! Jangan ditanya itu!”
“Oh? Lagi sensitive ya?”
Obanai mengangguk. Mengurangi suara yang sebenarnya percuma karena udah sampai juga ke telinganya.
Sanemi sudah tidak fokus mengoreksi. Akhirnya berdiri meninggalkan derak kaki kursi diikuti dua pasang mata yang menatap penuh empati.
“Sial..” hatinya berat. Pikirannya kacau.
Keadaan tidak pernah memihak kepadanya.
.
Bruk!
“Oh, Shinazugawa-sensei—”
“Permisi Himejima-san. Saya mau cari makan sebentar,”
Gyomei Himejima dilewati begitu saja. Ia pandang sekilas guru matematika andalan sedang murung air mukanya. Menabraknya di pintu masuk seolah tidak lihat ia disana.
Himejima mengalihkan pandangan pada dua orang yang sampai lebih dulu di ruang guru.
“Ada yang mau cerita kenapa Shinazugawa semurung ini?”
Rengoku dan Obanai berpandangan. Separuh tidak tega membuka rahasia umum sahabatnya. Separuh lagi berharap Himejima punya Solusi.
.
.
Beberapa hari ini, Sanemi kelihatan murung. Guru yang anti absen walau hujan badai menerjang itu sedang jarang marah-marah. Alih-alih meraung dan membentak, Sanemi sekarang lebih gampang main tangan menyeret masuk anak-anak yang berlarian di luar jam Pelajaran.
Bisik-bisik diantara siswa makin panas. Dikiranya semua ini ada hubungan dengan absennya Kocho-sensei dua hari belakangan.
Guru piket bilang beliau sedang cuti. Harusnya lusa sudah masuk. Beberapa anak kelas 3 yang dekat dengannya dan memang ditarget mendapat nilai sempurna pada mata pelajaran eksak, meledek Sanemi terang-terangan di depan kelas.
“Shinazugawa-sensei lovesick nih, sama Kocho-sensei.. cihuuyy..!”
“CIE CIE CIE…”
“Makanya jadi cemberut karena pengen ketemu ayang..”
“AIHH..!”
Wah gila. Anak sekarang enggak ada hormatnya sama guru.
Keberanian mereka bukan tanpa alasan. Selain memang karena Shinazugawa-sensei adalah wali kelas mereka, banyak kenangan berkesan yang telah mereka lalui bersama Sanemi selama hampir satu tahun belakangan.
Mulai dari tempat curhat, bimbingan karir, sampai menjemput mereka yang hendak tawuran. Pokonya, Shinazugawa-sensei adalah yang paling berdedikasi! Walau sering marah dan mengamuk, Shinazugawa-sensei adalah yang paling peduli dan mengkhawatirkan mereka. Memang deh, anak sulung dengan enam adik dan tulang punggung tidak bisa diremehkan!
Seolah kekuatan itu membuat siapa saja merasa aman. Karena dari kemarahan ada kasih sayang yang banyak dirasakan.
Maka dari itu.. entah bagaimana perasaan itu muncul saja diantara para siswa. Perasaan bagaimana kesedihan melihat orang yang kau sayangi sedih..
Urat di kemarahan di kening Sanemi muncul. Tangannya berhenti menulis rumus di papan tulis dan menoleh pada ledekan anak-anak kelas 3 yang nyawanya sembilan itu.
“Mau diem, apa lompat dari jendela?”
“Aaa takutt.. Kocho-sensei tolongg..”
“Kita butuh pawangnya Shinazugawa-sensei nih..!”
Mereka tertawa-tawa. Wajah Shinazugawa makin memerah. Kelewat kesal dan akhirnya mematahkan kapur ditangan sambil meraung menceramahi seisi kelas.
“PUNYA MULUT DISEKOLAHIN GAK? ADAB DIMANA NGELEDEKIN GURU KAYAK GITU HAAA? DAH, SEMUANYA GANTI BAJU OLAHRAGA KITA LARI DI LAPANGAN SAMBIL NGERJAIN SOAL MATEMATIKA!”
“EEEEHHHH…!!!!!”
“CEPAT! 5 MENIT BELOM DI LAPANGAN, UJIAN BESOK AUTO NOL!”
“WAAAA…!”
Seisi kelas bergemuruh seperti badai. Berlarian ke ruang di loker bawah untuk ganti Sepatu dan seragam sebelum hukuman semakin berat.
Para siswa berlalu seperti angin. Berhembus dalam sekejap. Meninggalkan jeda kosong seperti sudut lain di hatinya.
Shinazugawa menghela napas berat. Walau sudah marah, belakangan dadanya tidak kunjung menjadi lega. Sedikit banyak ia merasa payah karena emosi pribadinya bocor keluar sampai terbaca para siswa.
Salah seorang siswi yang terlihat santai merapikan tempat pensilnya bertemu mata dengan Sanemi.
“Kocho.. aku memuji ketenanganmu,”
Shinobu Kocho. Adik dari heroine yang disandingkan oleh Sanemi beberapa hari belakangan. Mungkin informasi A1 yang anak-anak dapatkan tidak lain bersumber dari calon adik iparnya ini-eh.
“Aku tidak pernah takut dengan Shinazugawa-sensei. Begitu juga kakakku. Dan semua anak di kelas ini. Kami semua menghargai dan menghormatimu. Serta mengkhawatirkanmu, sensei.”
Shinazugawa membuang wajah. Tersentuh sedikit mendengar Shinobu menjelaskan perhatian hari ini dengan bahasa yang gamblang.
Shinobu gemas melihat Sanemi yang tidak mengatakan apa-apa. Ia memasukkan tempat pensilnya dengan kasar dan melangkah melewatinya menghampiri tempat Sanemi berada.
“Shinazugawa-sensei yang kami kenal bukanlah kucing pengecut yang bersembunyi! Shinazugawa-sensei yang kami kenal adalah singa putih yang tidak ragu mengambil keputusan sulit! Dengarkan aku, Kanae nee-chan di rumah sedang—”
“Kocho,”
Sanemi memotong dengan berat. Akhirnya membalas tatapan gadis 18 tahun yang jauh lebih kecil darinya. Sanemi sungguh menghargai itu. Selepas mereka pergipun, Sanemi tidak bisa tidak merasa hangat menyelimuti hatinya. Cinta anak-anak itu tulus. Murni. Menghibur hatinya yang gelisah walau sedikit.
Tapi Shinazugawa-sensei tetaplah seorang guru. Tidak boleh, dan tidak bisa menjadikan masalah pribadinya sesuatu yang harus dipikirkan muridnya. Ia harus tetap professional, menjadi wali kelas tempat mereka belajar dan maju. Bukan seseorang yang lemah dan menyedihkan yang harus mereka khawatirkan.
“5 menitmu akan habis,”
Shinobu membelalak lebar. Tidak mengenal pria dihadapannya dan apa yang ada dipikirannya. Seketika wajah sembap Kanae di kamarnya terbayang. Beserta senyum tangguh dan suara lembut yang dikuatkan saat berecerita tentang keteguhannya mempertahankan seseorang.
Shinobu menahan rasa kecewanya. Sanemi memilih menggunakan profesionalitas alih-alih menjawab rasa mengganjal di hati kedua belah pihak.
“Baik..” Shinobu mendengus mengalah. Walau ia sering bicara dengan Sanemi di luar jam pelajaran. Ia hargai aturan yang masih berlaku jika memang itu permainan yang Sanemi mau.
“Besok malam kau ada jam privat bersamaku. Tolong jangan absen, Shinazugawa-sensei.”
Shinobu berlalu. Sanemi menatap kepergiannya dan menghela napas frustasi.
Ah, sial. Dia tidak bisa menghindar dari yang satu itu. Sanemi memang mengambil privat beberapa murid di sekolah. Bervariasi. Sesanggupnya menghabiskan waktu weekday atau libur demi menutup uang jajan Genya dan adik-adiknya.
Rabu malam adalah waktunya mengajar Shinobu di kediaman Kocho atas permintaan Shinobu dan rekomendasi Kanae sendiri. Artinya ia tidak bisa menghindari Kanae juga. Bahkan keluarga Kocho.
Sanemi mengacak rambutnya. Kemudian mengatur napas dan meraih bukunya di atas meja. Yah, segila apapun hari, dia masih memiliki jam pelajaran di akhir sore ini.
Tuhan.. tolong minta uang satu miliyar.
.
.
Chapter Text
.
.
Zenitsu tidak bisa tidak penasaran. Dari semua data yang ia kumpulkan, semuanya tidak bisa tidak mengarah pada kisah romantis guru-guru berkesan dalam hidupnya.
Beberapa anak memang pernah lihat Kocho-sensei dan Shinazugawa-sensei makan berdua di kantin. Ada juga yang katanya pernah lihat mereka di pusat perbelanjaan bersama. Kelewat mencurigakan untuk dua orang yang sudah dewasa dan sama-sama single jika terlalu tidak ada apa-apanya, huh.
Shinazugawa-sensei yang memiliki sembelit emosional itu menikah dengan Kocho-sensei yang seperti malaikat?
Kebaikan apa yang ia lakukan sampai bisa mendapat hadiah seindah itu dari Tuhan?!
BUAKK..!
“UGHH!”
“JANGAN HINA ABANGKU..!”
“HAAAH? BAHKAN SAAT AKU DIPIHAKMU?!”
Zenitsu, Tanjiro dan Genya sedang makan siang bersama di kantin. Zenitsu yang mengutarakan pikirannya keras-keras. Membahas berbagai macam kejadian mumpung ada sumber informasi untuk konfirmasi di hadapan.
Awalnya pembicaraan berjalan normal. Dimulai dari Tanjiro yang diseret untuk mengungkap misteri murungnya Shinazugawa-sensei hari ini. Sampai ide menggali dari sumber terpercaya yang selama ini ada di sekitar mereka.
“Genya! Apa benar Kakakmu yang galak itu pacaran dengan Kocho-sensei?!” Zenitsu bertanya dengan berapi-api.
Genya mendesah. “Oooh.. aku lelah mendengar pertanyaan itu minggu ini..”
Nah. Ternyata yang penasaran memang bukan dirinya saja. Zenitsu dengan semangat memajukan tubuh dan menyimak setiap informasi yang akan keluar.
“Jadi, jadi? Mereka tidak sungguhan menjalin hubungan bukan? Itu hanya gossip seliweran yang tidak bertanggung jawab bukan? “
Tanjiro lihat Genya menggigit bibirnya keras.
“Oh, tentu saja begitu! Mana mungkin Kocho-sensei mau dengan seorang pria kasar dan pemarah yang bahkan memukul mu, merobek sertifikat kejuaranmu—adiknya sendiri padahal kau melakukan semua itu demi membuat dirinya bangga—UGH!”
Begitulah mengapa tangan Gennya terdampar di pipi Zenitsu.
“Uwahh..! Genya, Zenitsu! Tenanglah kalian berdua, bagaimana kalau kita minum dulu?” Tanjiro seperti biasa melakukan tindakan paling dewasa dan paling damai.
Genya terengah-engah. Zenitsu menangis di bahu Tanjiro berlebihan.
“Uhm. Eh.. maafkan aku, Agatsuma..” sesaat kemudian Genya merasa menyesal. Dan menundukan kepalanya karena terbawa emosi sesaat.
Tanjiro dan Zenitsu memperhatikan lamat-lamat. Tampak di manik hitam Genya ada perasaan yang berkecamuk. Bergolak rumit. Membuat Shinazugawa nomor 2 kewalahan sendiri.
“EHH..! GENYAA..!”
Tanjiro tidak bisa tidak panik saat ia lihat bulir-bulir bening di mata Genya tumpah ruah. Zenitsu mengambil tisu terburu-buru.
Lalu begitu saja. Mereka tenggelam dalam isak pilu Shinazugawa Genya yang penuh memikirkan abangnya.
.
.
Siang lain dimana matahari masuk dengan teriknya menembus jendela kantor guru Akademi Kimetsu.
Himejima bangkit menutup tirai yang menyilaukan matanya.
Ping!
Lantas menoleh begitu ponselnya berdering. Himejima dengan cepat meraih. Lantas membalas pesan masuk. Ia telah mendapat jawaban untuk keresahan selama ini.
“Shinazugawa-sensei. Habis ini masih ada jam?”
Mempertimbangkan kericuhan gossip yang beredar ditengah anak-anak, kestabilan mental guru-guru serta keadaan yang khawatir semakin rumit, akhirnya Himejima melakukan inisiatif.
Di kantor guru hanya ada dirinya dan tokoh utama yang sedang ramai diperbincangkan.
Himejima menjeda Sanemi yang sedang bikin power point di mejanya sendiri. Hari ini rabu. Shinazugawa-sensei hanya memiliki dua jam pelajaran di pagi dan siang hari, yang baru saja selesai. Shinazugawa memang patut dipuji atas kerja kerasnya yang bahkan sudah mulai merampungkan materi ajar untuk pelajaran esok hari.
Mata membalas sopan mengalihkan pandangan dari layar. “Sudah tidak ada Himejima-san.” Shinazugawa menyahut pelan.
“Begitu. Pergilah ke kantor kepala sekolah. Amane-san memanggilmu,”
Shinazugawa terdiam. Ia sudah punya tebakan mengapa dipanggil tiba-tiba. Bahkan sebelum bangkit dari kursinya ia melihat pada Himejima dan meminta penjelasan secara tidak langsung.
“Mengapa beliau tidak menghubungi saya pribadi?”
“Beliau ingin memastikan anda baik-baik saja sensei..”
Shinazugawa tertunduk diam. “Baiklah,”
Tidak lagi melayangkan protes. Guru matematika sekaligus walas kelas 3 bangkit tersendu.
Himejima dalam diam memperhatikan. Kemudian berdoa demi kebaikan Shinazugawa, Kocho, dan semua orang yang mengharapkan kebahagiaan.
.
.
.
Kagaya Ubuyashiki, pemilik Yayasan Pendidikan Kimetsu Gakuen duduk di kursi kepala sekolah Amane yang sedang menghidangkan teh.
Melilhat Sanemi masuk, Ubuyashiki langsung berdiri dan menyambutnya. Membawa mereka pada suguhan ohagi dan teh hijau kesukaan Sanemi di atas meja sofa.
Ruang kepala sekolah yang luas. Meja kerja di bagian dalam dengan satu set meja tamu berhias vas bunga ditengah ruangan. Semua tamu kepala sekolah diterima dengan baik dan hangat.
Sanemi menunduk. Memenuhi panggilan dari Kepala Sekolah yang ternyata, kepala Yayasan juga sudah hadir disana.
“Apa kabar, Sanemi?”
Barangkali Ubuyashiki memahami raut wajahnya yang tegang. Bagaimanapun juga semua staff yang masuk ke lembaga ini telah bertemu langsung dengan Ubuyashiki. Selain rekrutmen awal melakukan wawancara dengan Ubuyashiki, para guru dan staff baru mengalami pelatihan dan rapat koordinasi rutin dengan beliau.
Sanemi sebagaimana seluruh staff dan guru yang bekerja di Kimetsu Gakuen menghormatinya, mematuhinya, menurutinya dengan segala kharisma yang ia punya.
“Aku baik. Bagaimana kabar anda, Oyakata-sama. Dan juga ibu kepala sekolah?”
Sanemi yang lembut di dalam dan keras di luar ini membalas sapaan sekadarnya. Ia sangat memahami bahwa Ubuayshiki bukanlah orang yang semena-mena dalam menilai. Beliau berhati lembut seperti suaranya. Punya hati yang lapang dan bijaksana. Tidak akan menyudutkan Sanemi walau berbuat keliru.
Tapi membiarkan masalah pribadi mengganggu pekerjaan sangatlah tidak professional. Sanemi merasa harga dirinya menciut sedikit.
“Kami baik. Terima kasih atas perhatiannya. Sayangnya wajahmu terlihat tidak baik seperti kata-kata yang kau pilih..”
Sanemi tahu ia tidak bisa menghindar. Maka alih-alih membalas komentar Oyakata-sama, Sanemi membungkuk dalam dari tempat duduknya.
“Mohon maaf yang sebesar-besarnya. Karena menjadi guru yang tidak bisa menjadi teladan yang baik.”
Oyakata-sama dan Amane saling berpandangan.
Sanemi tahu. Alasan mengapa ia dipanggil. Mengapa dua orang terpenting sampai turun tangan menangani masalahnya.
Karena gossip akan hubungannya dengan Kanae semakin santer. Tidak baik bagi sekolah ketika dua guru dibicarakan dalam hubungan yang bisa menimbulkan kesalahpahaman. Jika dibiarkan, selain merusak marwah keduanya sebagai sosok guru yang dihormati, hal ini juga dapat merusak kehormatan sekolah itu sendiri.
“Sanemi..” Ubuyashiki kali ini memanggil namanya lembut.
“Iya, Oyakata-sama.”
“Angkat kepalamu,”
“Tidak, Oyakata-sama.”
“Sanemi..”
Sanemi terdiam. Melirih. “Maaf.. maafkan aku.”
.
.
Ubuyashiki menghela napas. Mengenal Sanemi sejak pria itu masih freshgraduate dan kerja sambilan sana-sini untuk meraih rezeki. Sudah pernah ke rumahnya. Bertemu adik-adiknya dan Ibu Sanemi.
Ubuyashiki melihatnya sebagai sosok pekerja keras. Bertanggung jawab. Kuat dan memiliki keinginan melindungi yang tinggi. Sanemi pada aslinya adalah sosok yang sangat lembut. Namun mengeraskan hati dan diri demi menjaga keluarga dari kerasnya dunia.
“Sanemi..”
Oyakata-sama memanggilnya pelan. “Kau dan Kanae. Bagaimana sebenarnya?”
Sanemi membatu. Amane samar-samar melihat merah tersepuh di pipi pemuda sulung Shinazugawa.
“Tidak.. tidak ada apa-apa, Oyakata-sama.”
Lagi, Amane dan Ubuyashiki bertukar tatapan penuh arti. Salah satu kesulitan menghadapai Sanemi adalah lapisan omong kosong dan kebohongan yang terlampau jelas jika berkaitan dengan dirinya sendiri. Seperti bagaimana di awal masuknya Genya ke sekolah karena prestasi panahannya yang gemilang, Sanemi menolak mengakui bahwa itu adalah adiknya yang sangat ia sayangi.
“Sanemi..”
Sudah berapa kali hari ini Ubuyashiki memanggil namanya.
“Kanae pasti menangis kalau mendengar itu darimu..” Ubuyashiki bersandar.
Sanemi tersentak dan mengangkat wajahnya.
“Jika benar kalian bukan apa-apa. Maka kasihan sekali gadis itu karena cintanya bertepuk sebelah tangan.”
Sanemi menggigit bibirnya. Matanya berlarian mencari apa saja selain mata Amane dan Oyakata-sama. “A-anda tahu darimana kalau Kocho-sensei..”
“Karena Kanae bercerita kepada kami. Bahwa dirimu menatapnya sebagaimana ia menatapmu. Bahwa kalian pergi bersama dan berbagi cerita tentang masa depan berdua. Tapi ia tidak juga mendengar kata cinta darimu. Tidak juga mendapat tanda tentang kapan kalian melangkah ke sana. Katanya ia sudah mengungdangmu kerumah? Tapi kau belum juga datang? Sementara undangan serupa tidak datang darimu. Dan tidak ada satupun yang Sanemi jawab soal itu..”
Sanemi mendesis pusing. Tidak kaget kalau Kanae cerita pada Ubuyashiki dan Amane yang sudah mereka anggap orangtua kedua.
“Tapi Kanae bilang, ia percaya padamu. Karena Sanemi adalah pria yang baik. Yang tidak akan mempermainkan hati dan perasaannya..”
“Tiba-tiba, belakangan ini kau tidak bicara padanya. Dan kebetulan ia ada urusan keluarga. Jadi aku izinkan cuti 3 hari untuknya.” Tambah Amane lembut. Tidak berniat menyalahkan apalagi menyudutkan.
Sanemi mengusak wajahnya. Merasa berdosa telah membuat perempuan sebaik Kanae jatuh cinta kepada bajingan sepertinya.
“Oyakata-sama, Amane-san.. sebenarnya aku—”
Sanemi berhenti dan menelan ludah.
Oyakata-sama dan Amane menunggu dengan sabar. Ohagi dan teh hijau di atas meja mulai mendingin. Walau dihadapannya ada makanan dan minuman yang paling Sanemi suka, ia tidak nafsu sama sekali untuk mecoba.
“Aku.. aku tidak bisa bersamanya.”
“Mengapa begitu?”
Sanemi mengatur napas. Sarat tekanan dan kekhawatiran yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.
“Aku tidak bisa, membahagiakan Kanae..”
“Sanemi..” Ubuyashiki memanggil seperti ayah yang mengingatkan anaknya karena berpikir kelewatan.
“Tidak. Anda tahu maksud saya? Meski sama-sama seorang guru, Kanae dan saya bukanlah dari kalangan keluarga yang setara.”
Ubuyashiki dan Amane terlihat kaget mendengar tuturan bibir Sanemi.
“Kanae adalah sulung Kocho yang memiliki rumah sakit. Keluarganya terpandang. Ia dibesarkan dalam kasih sayang dan kecukupan. Kanae memiliki kehidupan yang baik dan menyenangkan. Saya tidak bisa—” Sanemi menggeleng. “Saya tidak bisa menyeretnya keluar dari sana untuk menemani saya dalam hidup sengsara. Hanya karena saya jatuh cinta kepadanya.. dan ia jatuh cinta kepada saya..”
“Astaghfirullah Sanemi.”
.
.
“Maaf, membuat kalian khawatir..” Genya menyusut ingus.
“Tidak perlu minta maaf Genya. Kau pasti sangat menyayangi abangmu kan? Jika kau tidak keberatan, ceritalah kepada kami. Walau aku tidak bisa menjamin solusi, tapi membagi perasaanmu akan membuat hatimu sedikit ringan kau tahu?” Tanjiro tersenyum lembut. Ia usap bahu Genya seperti menenangkan Rokuta meyakinkan bahwa semua akan baik-baik saja.
“Tanjiro benar. Maaf jika kata-kataku ada menyinggung perasaanmu Genya. Sungguh, aku tidak bermaksud melukai hatimu..” Zenitsu di sebelahnya menekuk alis. Kini dihantui rasa bersalah karena detak jantung Genya terdengar sedih.
Genya mengusap mata. Mengangguk paham dengan niat baik kedua teman seperjuangannya saat ujian masuk ke Kimetsu Gakuen walau akhirnya berbeda kelas.
“Terima kasih,”
Tanjiro dan Zenitsu tersenyum lembut. Senang melihat Genya menjadi lebih baik.
Saat itulah bibir tipis Genya membuka ragu. Suaranya gemetar seperti telapak tangan yang ia remas-remas tidak jelas. Genya seperti memanggil memori berdarah yang sebenarnya tidak ingin ia ingat lagi.
“A-ayahku adalah seorang teknisi pesawat terbang. Tubuhnya besar. Dan tidak jarang memukul kami dan ibu.“
Tanjiro dan Zenitsu terdiam. Genya perlahan memejamkan mata. Memvisualisasi kembali ingatan masa lalu yang berkeras ingin ia bagi.
Malam dimana ayahnya pulang. Malam dimana suara teriakan dan pecahan kaca bersahutan. Malam dimana kegelapan menyelimuti hati yang mestinya saling menyayangi.
.
.
Ayah mereka Bernama Kyogo Shinazugawa.
Ia adalah seorang mekanik ahli di sebuah perusahaan pesawat terbang. Kecerdasan matematis dan fisiknya menurun penuh pada Sanemi. Termasuk pada wajah dan temperamental marah yang ada padanya. Ibunya juga dulu seorang guru, lalu meninggalkan pekerjaannya demi mengurus rumah tangga. Ibunya yang berperawakan kecil tetapi cerdas, baik hati dan penyayang.
Secara finansial, keluarganya tidak kekurangan. Ibunya dan adik-adiknya tinggal di rumah besar. Setiap hari ayahnya pulang membawa kelelahan fisik dan mental, lalu menumpahkan semuanya kepada ibunya yang bertubuh mungil seperti perempuan itu adalah samsak tinju.
“APA YANG BISA KAU LAKUKAN TANPA AKU HAH?! JANGAN SEENAKNYA DI RUMAH INI, KAU JALANG SIALAN!”
“AYAH JANGAN PUKUL IBU.. AYAH..”
“DIAM KALIAN BOCAH—”
“JANGAN SAKITI ANAK-ANAK!”
Setiap hari.
Ibunya tidak ragu untuk melompat. Melindungi Sanemi dan adik-adiknnya walau ia harus diinjak, dipukul, bahkan dilempar.
Bughh..!
“IBU!”
Sanemi hari itu pulang lebih lambat dari ayah mereka. Segera melempar tas dan memeluk tubuh Ibunya yang memeluk adiknya.
“KAU YANG BAJINGAN!”
Sanemi tumbuh besar. Merasa jijik pada dirinya sendiri yang mengalir darah biadab seperti ayahnya.
Sanemi memutuskan melawan. Saat itu ia pulang kuliah. Mendorong tubuh besar ayahnya dari ibunya yang sudah memar dan berdarah.
“MENJAUH DARI IBU DAN ADIK-ADIKKU, BRENGSEK!”
“HAH. APA INI. ANAK HARAM BERANI MELAWANKU?”
Sanemi meludah. Ia tidak habis pikir darimananya sang ayah tidak percaya Sanemi adalah putranya.
“JIKA AKU BISA, AKU JUGA TIDAK MAU JADI ANAKMU!”
“Sanemi..” ibunya di belakang melirih pelan.
“Ibu masuk. Genya, bawa ibu masuk, SEKARANG!”
“Nemi-niichan..!”
Ayahnya dan Sanemi bertukar tatapan bengis.
“LIHAT INI SHIZU! HASIL SELINGKUHMU SEKARANG MENGHANCURKAN KELUARGA KITA!”
Sanemi merasa genggaman keras di lehernya menyita jalan napas. Kuat tangannya menahan pergelangan gorilla di depannya.
“Kyogo.. tidak.. Aku tidak pernah selingkuh.. Sanemi bukan..”
“JANGAN MENJAWABKU, KAU JALANG! MENURUTMU DARIMANA RAMBUT PUTIH INI!” Ayahnya beralih pada Sanemi. “AKU SANGAT INGIN MEMATAHKAN LEHERMU!”
“YA, AKU JUGA MAU MELAKUKAN HAL YANG SAMA!”
Sanemi menendang. Ayahnya mundur sesaat melepaskan diri dari serangan barusan. Sanemi maju dengan kecepatan tinggi. Ia dan ayahnya bergelut. Sanemi mendorong hingga punggung ayahnya jatuh ke meja kaca di ruang tamu. Suara pecahan kaca menyayat telinga dan mengundang jeritan dari adik-adiknya.
Kyogo Shinazugawa bangkit sambil mengayunkan pecahan kaca. Ibunya menjerit melihat darah keluar merobek kulit wajah Sanemi. Dengan tenaga yang besar, Kyogo Shinazugawa menarik kaos Sanemi dan melemparnya hingga ke halaman rumah.
“KYOGO..! SUDAH HENTIKAN AKU MOHON.. ITU SANEMI.. ITU ANAKMU..”
“DIAM!” BUGH!
Shizu Shinazugawa menerjang untuk menghalangi pertengkaran. Namun Kyogo Shinazugawa dengan sadar memukulnya di wajah.
“IBU…!”
Genya saat itu masih SMP. Ketakutan melihat kakaknya bangkit dan beradu pukulan dengan ayahnya. Tapi Sanemi tidak gentar. Naluri melindunginya membuat ia kuat entah bagaimana.
Sanemi bangkit. Menghindari pukulan dan menubruk pinggang ayahnya hingga jatuh ke tanah.
.
Pergelutan tidak berlangsung lama. Tidak sampai Sanemi berhasil meraih pot bunga dan hendak membenturkannya ke kepala ayahnya.
“SANEMII..!”
Jika ia tidak mendengar ibunya yang mimisan itu berteriak. Sanemi pasti sudah jadi pembunuh.
Sebagai gantinya, Sanemi membanting pot tanah liat itu ke samping kepala ayahnya penuh ancaman. Ia bangkit. Berdiri dengan pelipis mengucurkan darah.
“AKU MENANG. DAN KAU.. JANGAN PERNAH, MENUNJUKKAN WAJAHMU LAGI DI RUMAH INI KAU, BAJINGAN BUSUK!”
Kyogo Shinazugawa merasa seperti menghadapi setan. Ia bangkit dengan harga diri terluka namun tak berani menyentuh mereka lagi.
Kyogo dengan luka di sekujur tubuhnya masuk ke dalam. Mengambil kunci mobil dan pergi dari sana.
Setidaknya untuk beberapa hari, mereka tidak akan mellihat wajahnya lagi.
“SANEMI NII-CHAAANN…!”
Adiknya berhamburan. Memeluknya dengan hangat karena telah menyelamatkannya dari raksasa gila yang kehilangan kewarasannya.
Kemudian Sanemi menunduk dan memeluk mereka. Dan tenggelam dalam kesadaran yang mengabur.
“SANEMI-NIICHAN!”
.
“Sejak saat itulah Nemi-aniki selalu melindungi kami.”
Genya menyusut ingus.
“Adik-adik kami yang kecil tidak memahami permasalahannya. Terus menerus menanyakan ayah, dan kapan ia pulang.. Yah, namanya anak-anak..”
Genya teringat saat ia bertanya mengapa Sanemi menolak memberitahu adik-adiknya tentang betapa ringannya tangan ayah mereka. Kemudian ibunya yang lembut itu berbisik pelan sambil mengusap wajah adik-adiknya yang sedang tertidur.
“Sanemi hanya tidak ingin membuat adik-adiknya teringat pengalaman mengerikan itu lagi.”
Ya. Begitulah Sanemi. Sebenci-bencinya ia dengan ayah mereka. Sanemi memilih menjadi sosok ayah untuk semuanya. Sanemi yang lembut, dan penyayang. Mengeraskan diri dan hati demi melindungi keluarganya. Daripada menanamkan kebencian, ia malah memanfaatkan ketiadaan ayah mereka untuk membangun kembali ideal baru tentang sosok seorang ayah.
“Nii-chan bekerja keras. Bahkan sebelum lulus kuliah. Nii-chan bekerja siang malam, setiap hari tanpa lelah. Hanya demi kami..”
Perginya sosok ayah sekaligus sumber nafkah menjadi konsekuensi besar yang harus ditanggung Sanemi. Tapi bagi laki-laki tertua Shinazugawa, itu cukup setimpal jika dibandingkan dengan keselamatan ibu dan adik-adiknya.
Sanemi tidak bisa tidak memikirkan mereka. Sanemi harus menjamin mereka semua hidup dengan apapun bayarannya.
Genya teringat percakapannya di malam hari saat membukakan pintu bagi abangnya baru pulang.
“Nii-chan! Izinkan aku bekerja juga! Aku, aku bisa –”
“Genya.” Suara rendah Sanemi menginterupsi. Manik ungunya yang buta warna sebagian mengedip indah seolah tidak akan kalah dari dunia.
“Berjanjilah untuk menemani adik-adik dan ibu. Karena bagaimanapun mereka kesepian karena ayah sudah tidak bersama kita.”
.
Tanjiro tanpa sadar meneteskan air mata.
“Maaf Genya. Akuu sedih sekali mendengar ceritamu. Tapi.. aku bisa mengerti perasaan Shinazugawa-sensei. Sebagai sama-sama anak sulung dan adik-adik yang masih kecil. Aku juga akan melakukan apa saja untuk mereka. Kau benar, Shinazugawa-sensei adalah orang yang sangat baik..”
Genya tersentuh. “Terima kasih Tanjiro.”
Zenitsu terdiam. Tidak menyangka dibalik sosok mengerikan ada pahlawan yang banyak menanggung beban. Luka dan kekuatan adalah bukti dari hebatnya Shinazugawa.
“Sekarang, saat ia dekat dengan Kocho-sensei.. aku bahagia karena akhirnya Nii-chan bisa tersenyum sedikit. Memiliki kebahagiaan untuknya sendiri. Aku ingin ia bahagia, Tanjiro..”
.
.
Ubuyashiki mendengus dalam. Kurang lebih sudah terbayangkan apa akar masalah jika itu bersumber dari seorang pemuda hebat penuh tanggung jawab.
Sanemi tidak bisa berpikir untuk kebahagiaannya sendiri. Sekarang pemudia berkarakter badai menjadi tenang. Seperti kehilangan jati diri terhempas angin topan. Ia berceceran. Melayang-layang terpisah dari tanah. Sanemi kehilangan pegangan.
Ubuyashiki merasa bersalah. Sedih tak terkira karena membiarkan perihnya luka pemuda yang ia anggap anak sendiri tidak lebih cepat tertangkap radarnya. “Dengar. Untuk sekolah adik-adikmu, aku sudah memiliki tawaran yang bagus untukmu,”
Sulung Shinazugawa menunduk. Ubuyashiki sangat ingin membantunya keluar dari penderitaan.
“Tapi sebelum itu Shinazugawa Sanemi..”
Atmosfer menjadi berat. Sanemi merasakan nada suara Oyakata-sama berubah dan meminta atensinya secara penuh.
“Menikah itu rezekinya dari Allah. Jangan takut miskin. Tuhan kita nanti yang cukupkan,”
Sanemi sudah sering mendengar kata-kata itu. Pun beranda sosial medianya tidak jarang menampilkan ide-ide bernada sama. Tapi untuk mereka yang bisanya update status dengan quote-quote murahan, tentu tidak akan terbayang seberapa besarnya ketidakpastian dan kemelaratan yang dihadapi oleh kelas ekonomi bawahan.
“Saya tahu itu Oyakata-sama! Tapi terus gimana adik-adik saya? Ibu saya?”
Sanemi tidak bisa memungkiri itu. Buatnya, keterlaluan egois menikah dengan Kanae disaat ia belum mampu menyediakan kesejahteraan kehidupan keluarganya secara layak. Ia adalah tulang punggung. Ia tidak bisa meninggalkan Ibu dan adik-adiknya dalam kemiskinan dan kesulitan..
“Sanemi. Kamu percaya kan sama Allah. Titipkan mereka kepada-Nya..”
Tanpa dirasa air matanya rembes begitu saja di hadapan Ubuyashiki. Sosok ideal yang mengobati lukanya dalam anggapan seorang ayah.
“Tapi saya—”
“Perempuan yang baik itu, Sanemi-kun.. tidak menjadikan harta sebagai ukuran pertama memilih pria sebagai pendamping hidupnya..”
Ubuyashiki Kagaya akhirnya mengulurkan tangan ke bahu kokoh yang sekarang terkulai lesu.
“Kau laki-laki yang baik. Kanae perempuan yang baik. Laki-laki baik diciptakan untuk perempuan baik. Dan ingat, kebaikan itu tidak dinilai dari seberapa besar kekayaanmu..”
Amane turut sedih. Besarnya kekhawatiran yang Sanemi rasakan pernah Kagaya hadapi suatu hari. Kagaya yang sekarang jadi suaminya juga pernah berada dalam posisi itu. Ia kehilangan harga diri karena dibuang keluarga utama. Menghidupi Amane dan 5 anak yang masih kecil semua.
Tapi jangan pernah meremehkan perasaan seorang wanita.
Saat seorang pria yang amat saleh, menyayangi keluarga dan bertanggung jawab ada dihadapanmu dan menyatakan cinta.
Makan garam dan nasi kepal saja tidak masalah.
“Keadaan bisa berubah. Kalian adalah orang-orang baik yang pasti mendapat berkah..”
Sanemi tanpa sadar menitikkan air mata. Ini tidak semudah dikatakan. Tapi kekuatan biasanya datang dari kata-kata yang menghangatkan. Ubuyashiki Kagaya lebih dari tahu seberapa besar energi positif yang bisa didapatkan oleh Sanemi dari sebuah dorongan.
“Bulatkan tekadmu. Bicara baik-baik pada ibumu. Dan Sanemi. Ini saatnya kamu berdamai dengan ayahmu,”
Ubuyashiki tersenyum. “Pasti akan ada jalan..”
Amane ikut menepuk bahunya lembut. Ubuyashiki tersenyum. Membiarkan Sanemi menikmati kesedihannya sendiri. Karena di rumahpun, ia tidak boleh menangis. Sanemi-lah yang paling kuat dan tangguh. Yang menjadi teladan dan panutan semua orang. Sanemi yang hebat yang dicintai keluarganya, anak-anak didiknya, dan Kanae..
“Kami disini, selalu mendoakan mu..”
.
.
Biarkan waktu yang sempit ini menjadi ruang yang aman untuk Sanemi mengakui dirinya lelah. Serta sekali lagi percaya bahwa harapan itu masih ada. Untuk masa depan adik-adiknya. Untuk masa depan Kanae bersama dirinya..
Notes:
Peluk Sanemi sama-sama...
Chapter 3: Kenyataan Pahit
Chapter Text
.
.
Sanemi sudah seperti zombie. Tapi ia tidak boleh diam saja dan meratapi kehidupan. Ia adalah seseorang yang bertanggung jawab. Ini adalah pilihan hidupnya.
Ia akan menjaga keluarganya sampai kapanpun itu.
Meski artinya ke rumah Kocho yang belakangan sedang ia hindari setengah mati.
Kocho Kanae sedang cuti 3 hari. Gak tau kemana. Shinobu ditanya juga diem aja. Sore ini Sanemi ke rumah Kocho. Shinobu ada privat matematika dengannya.
Ting tong..
“Permisi..”
Shinobu muncul. “Waktu yang tepat!”
Sanemi menatap penuh curiga pada Shinobu yang kegirangan. “Kalau aku menemukan sesuatu yang aneh, aku akan langsung pulang!”
Kocho Shinobu tertawa misterius. Sanemi dipersilahkan masuk. Melewati ruang tamu. Menuju ruang tengah tempat dimana ia biasa belajar bersama Kocho bersaudara.
Yang Sanemi tidak duga adalah, saat ia melewati ruang tengah dan memberi salam pada tuan rumah. Kocho Kanae bertemu pandang dengannya.
Dalam balutan gaun yang rapih. Bersama kedua orangtuanya. Serta seorang pria dengan setelan jas yang tak kalah rapi. Bersama kedua orang tuanya pula.
“Sane—”
“Ohh, Shinazugawa-sensei sudah tiba? Silahkan, silahkan..” kedua orang tua Kanae dengan ramah mempersilahkan ia masuk ke tempat biasa.
“Maaf, mengganggu.” Sanemi memberi salam sekadarnya.
“Tidak sama sekali, Shinazugawa-sensei. Kami yang minta maaf karena mungkin akan mengganggu sedikit privatmu,” ujar Nyonya Kocho tersenyum.
“Benar, Shinobu menolak mengikuti acara kami, dan berkeras tidak libur dari privatmu. Maaf, dia anak yang keras kepala..” Tuan Kocho tertawa.
“Tidak masalah Papa, Mama. Aku akan ada ujian dalam waktu dekat! Shinazugawa-sensei bertanggung jawab dengan nilaliku!”
“Hei, hormati senseimu sedikit!” Nyonya Kocho memperingatkan. “Kanae sedang tidak bisa menemanimu. Jangan iseng dengan sensei!”
Kanae dan Sanemi bertatapan. Kanae seperti mau menangis. Dan Sanemi tidak bisa mengungkapkan perasaannya dengan baik.
Kocho Shinobu lantas menyeret Sanemi masuk ke ruang sebelah diikuti berbagai macam tatapan yang tidak bisa diartikan.
.
.
Bukan hal baru, untuk para guru dapat cinlok di tempat kerjanya. Lagian hei, dimanapun terjadi hal yang sama saat kau jatuh cinta pada rekan kerja.
Dan tidak ada yang special dengan itu. Begitu juga dengan Kanae dan Sanemi yang memasuki tahun mengajar pertama mereka di Kimetsu Gakuen.
Semua berjalan seperti biasa. Saat Sanemi mengajar matematika dan Kanae biologi.
Mereka satu universitas. Kenal juga dengan Giyuu dan Obanai yang notabene seangkatan. Ada Rengoku juga saat mereka bergabung dalam rapat staff yang menyenangkan.
Semua, mulanya hanya kebetulan. Saat Sanemi tidak sengaja menggores tangannya dengan penggaris tajam. Ia ke ruang kesehatan. Mencari Tamayo untuk minta atibiotik dan perban mengingat kulit dan darahnya agak sensitive terhadap luka luar.
Disanalah, tidak sengaja Kocho-sensei yang sedang pinjam mikroskop bertemu mata dengan Shinazugawa-sensei.
“Oh, Tamayo-san gak ada ya?”
“Oh, tadi lagi pergi pas saya mau pinjam mikroskop, sensei.”
Kocho-sensei menangkap luka berdarah di jari-jari Shinazugawa-sensei.
“Oh, yaudah. Saya permisi.” Shinazugawa-sensei seperti menyembunyikannya. Lalu naluri menolong makhluk hidup dan tanaman nilai yang Kocho-sensei miliki membuatnya tidak bisa diam saja.
“Shinazugawa-sensei, apa aku bisa membantumu?”
“Hah? Oh, ini..”
“Kelihatannya menyakitkan..”
“Tidak juga. Kulitku hanya agak sensitive, jadi aku butuh sesuatu untuk menutupnya.”
“Bolehkah, aku membantumu? Maksudku, biar begini orang tuaku dokter, dan aku guru biologi. Jadi aku punya sedikit pengelaman memperlakukan luka.”
Shinazugawa-sensei tidak menolak itu. Mengingat debu kapur bisa berbahaya bagi luka yang terbuka, dan ia perlu kembali segera ke kelas, ia akhirnya duduk di kursi UKS dan membiarkan Kocho-sensei sibuk dengan lemari obat-obatan.
“Mohon bantuannya.”
“Serahkan padaku..!”
Shinazugawa-sensei tersenyum kecil.
.
Melihat kehati-hatian Kocho-sensei membalut lukanya membuat ia ingin tertawa. Kalau diflashback bagaimana ia mendapatkan luka-luka ditubuhnya. Rasanya lucu melihat ada orang yang memperlakukannya seolah ia adalah yang paling rapuh sedunia.
“Nah, sudah selesai. Semoga cepat sembuh yaa..”
“Lagian aku bukan anak tk yang akan menangis dengan luka begini.”
“EH, BUKAN BEGITU MAKSUDKU,”
Shinazugawa tidak tertawa. Entah mengapa kehangatan jemari Kocho-sensei yang membalut jarinya masih tersisa disana. Shinazugawa-sensei tanpa sadar menggenggamnya erat-erat. Seolah tidak ingin sensasi itu menghilang dengan cepat.
“Terima kasih, Kocho-sensei..”
Kocho berhenti panik. Shinazugawa bangkit dan izin pamit.
“Uhm, tidak. Bukan apa-apa.”
Shinazugawa mengagguk. Lalu menggeser pintu UKS untuk kembali ke kelasnya.
“Shinazugawa-sensei!”
Shinazugawa berhenti dan menoleh.
.
Kocho Kanae panik mengapa tiba-tiba ia memanggil nama guru pria itu dengan keras. Tetiba linglung mau bilang apa dia tadi. Kanae hanya ingin memperpanjang interaksi sedikit lebih lama. Tapi melihat cepatnya ia berlalu seperti angin, Kanae jadi rusuh dan tidak inign..
Senyum hangat dari wajah yang terluka itu cepat-cepat menghilang..
“Uhm.. lain kali hati-hati,”
Nah, setidaknya tidak terlalu memalukan.
“Aku akan. Permisi,” angguk Shinazugawa pelan.
Sekali lagi mereka bertukar senyum.
.
.
“Kocho-senseeeii… Shinazugawa-sensei ngamuk please, takuttt..!”
“Kocho-sensei tolooongg..”
“Permisi, Kocho-sensei. Saya ada urusan dengan anak-anak ini.”
“HIII…!”
Kanae berpandangan dengan para siswa yang bersembunyi di belakangnya. Agatsuma, Kamado dan Hashibira. Anak kelas 1 yang masih imut-imut bawaan dari usia mereka.
“Ara, ara.. Shinazugawa-sensei, bagaimana kalau kita bicarakan baik-baik ada masalah apa ini?”
Shinazugawa-sensei tidak terlihat bergeming. “Itu bisa nanti. Saya tidak bisa menunggu untuk yang satu ini,”
Kanae memutar otak. Akhirnya berbisik pelan di telinga Sanemi membuat kesepakatan.
Di luar dugaan, Shinazugawa-sensei mengangguk dan menghela napas.
“Baiklah, untuk saat ini, kalian lolos. Pastikan anda menepati perkataan anda, Kocho-sensei.”
“Hai, Shinazugawa-sensei,”
Shinazugawa berlalu. Kemudian Kocho-sensei berbalik menatap trio kelas satu yang sedang ramai diperbincangkan ini.
“Jadi, ada apa ini anak-anak?”
Yah.. mungkin dari sana. Alasan mengapa anak-anak Kanae dan Sanemi memandang mereka seperti ada sesuatau. Padahal interaksi sesama guru juga kurang lebih begitu. Bukan hanya Kocho yang bernegosiasi dengan Sanemi. Pun juga bukan hanya Sanemi yang pernah dibujuk Kanae soal penanganan siswa.
Barangkali karena semesta yang terlalu usil mendorong kebersamaan mereka kali ini. Yang membuat Sanemi berani menatap lebih lama.
.
.
“Jangan lupa mengubah persamaan ini terlebih dahulu sebelum memasukkan angkanya..”
Shinobu Kocho dengan sengaja mengabaikan penjelasan itu. Ia menaruh pensil, lantas mendelik tajam. “Kau akan diam saja?”
Sanemi dan nomor dua Kocho menatap. “Apa maksudmu?”
“Jangan pura-pura bodoh, Shinazugawa-sensei. Kau tidak akan diam saja melihat kakak bukan?”
Sanemi terdiam. Hari ini terlalu banyak kejadian. Kepalanya mau pecah, dan Shinobu sama sekali tidak mau mengerjakan soalnya.
“Kau sengaja menyeretku kemari agar bisa kabur di acara keluarga sepenting ini,”
“Aku tidak suka dengan bajingan itu. Douma adalah pria busuk yang suka memakan wanita!”
“Lalu apa hubungannya denganku?”
Mata Shinobu membola seolah ingin keluar dari tempatnya. “Shinazugawa-sensei! Kau tidak serius kan mengatakan ini?” semburnya. Terungkap sudah alasan mengapa tiga hari ini Kocho-sensei cuti.
Selain karena tamu yang ingin meminangnya telah datang berhari-hari. Kocho Kanae tidak bisa lari.
“Bagus kalau kakakmu mendapatkan suami yang setara dengannya. Ia wanita baik. Pasti bahagia.” Sanemi mati rasa. Ia merasa kekuatan di tubuhnya menguap seperti udara. Ia sudah tidak bisa berpijak. Ia menolak membuka mata.
“Tidak.. Shinazugawa-sensei! Pria yang bisa membuatnya bahagia—"
“Dengar, Kocho. Kalau kau tidak mau belajar, lebih baik aku pulang.” Shinazugawa memperingatkan.
Tapi Shinobu adalah Kocho. Ia punya kemauan teguh dan menolak dikendalikan siapapun.
“Shinazugawa-sensei! Aku tidak mau kakakku menikah dengan pria sialan itu! Kanae nee-chan mencintaimu! Kau juga mencintainya kan? Mengapa kau tidak muncul disana dan membawa lari kakakku? Rusak perjodohan itu! Jangan biarkan ia sengsara dan menderita…”
Sanemi menghela pelan. “Bocah tengil, kebanyakan nonton drama..”
“Apa? Tidak! Aku serius. Kau harus maju. Kanae-neechan menunggumu, dasar kau Shinazugawa-sensei!”
“Kocho!” Shinazugawa melotot. Shinobu terdiam dan berjengit pelan. Sanemi memang orang yang gampang marah. tapi bentakan barusan bernada lain. Sarat keputusasaan, kelelahan, serta kemarahan karena rasa tidak berdaya terhadap kenyataan.
“Aku pulang.”
“Eh?”
Cukup sudah.
“SHINAZUGAWA—”
Sanemi bangkit dengan cepat. Ia tinggalkan begitu saja gelaran soal dan buku paket miliknya untuk mengajar privat Kocho hari itu. Sanemi mengabaikan langkah Kocho Shinobu yang mengejar. Detak jantungnya berdebar gila. Tangannya dingin dan kepalanya pusing bukan main. Untuk saat ini, Sanemi kecewa pada dirinya yang tidak mampu bersikap biasa saja.
“Nyonya dan Tuan Kocho.. maaf saya permisi. Shinobu sepertinya sedang tidak enak badan. Jadi aku meninggalkan soal saja untuk dikerjakannya jika sudah enakan. Kita ketemu lagi di sekolah ya..”
Ia menoleh sedikit pada Shinobu yang tertinggal di belakang.
Shinobu meremas gemas kedua tangannya. Mau teriak tapi martabat dipertaruhkan. Ia tidak punya jaminan kalau ikut campur akan menyelesaikan.
“Makanya dia tidak mau ikut acara penting keluarga Kocho hari ini.”
“Ah, sudah kuduga. Shinobu belakangan jadi aneh. Kan benar, dia sakit.”
“Baiklah Shinazugawa-sensei. Maaf merepotkanmu yang sudah jauh-jauh datang kemari..” Nyonya Kocho tersenyum tipis.
Cukup sudah basa-basi hari ini. Sanemi harus segera pergi sebelum kehilangan kewarasannya.
Sanemi menangguk. Hendak pamit undur diri. “Tidak masalah, aku permisi—”
“Shinazugawa-sensei! Biar aku antar..”
Sanemi dan Kanae berpandangan. Dari manik ungunya, Sanemi memperingatkan agar Kanae tidak nekat dan mempermalukan keluarganya sendiri.
“Tidak sopan membiarkan gurunya Shinobu pulang sendiri kan? A-aku permisi sebentar ya Papa, Mama!”
Tapi Kanae adalah perempuan yang pandai berakting. Ia bangkit dengan cepat. Dan meninggalkan perjamuan dan mendorong Sanemi untuk turut keluar dari ruangan.
Tanpa mereka sadari, semua pasang mata disana mengikuti langkah Kanae Sanemi sampai menghilang.
.
.
.
Masih sangat jelas, darimana semua ini bermula. Kanae saat itu sedang membuat soal. Shinobu di sisinya mengerjakan matematika sambil sesekali marah-marah.
“Nee-chan, tolong katakana pada Shinazugawa-sensei untuk memberi soal lebih banyak! Ini sama sekali tidak cukup kalau aku mau nilai sempurna untuk ujian masuk!”
“He?” Kanae terkejut sebentar.
“Dia itu, kalau sedang mengajar akan fokus pada yang tidak bisa! Dikata kita yang pintar tidak butuh perhatian,”
Kanae terdiam. Melihat Shinobu misuh-misuh dengan pelajaran matematika yang sedang ia hadapi.
“Kau mau les di luar?” tawar Kanae pelan.
“Aku sudah mencoba trial class mereka. Tapi harus kuakui tidak ada yang mengajar matematika sebaik Shinazugawa-sensei..”
Kanae terdiam. Tapi sebuah ide briliant muncul dikepalanya tidak tahan untuk dibicarakan.
“Mau ku tanya Shinazugawa-sensei ambil privat atau tidak?” Kanae diam-diam merasakan jantungnya berdebar. Membayangkan Sanemi datang kerumahnya.
Sanemi duduk di karpet. Merilekskan punggung di pangkuan dan bermain dengan surainya— sebentar! KEMANA INI PIKIRANNYA BERKELANA?
“Ou, benrakah? Ah, tapi aku tidak mau hanya berdua dengan pria galak itu.” Komentar Shinobu mengembalikan Kanae ke kenyataan.
“Bocah tengik, hargai gurumu sedikit!”
Shinobu tertawa. “lumayan kan, kau bisa sambil pacaran?”
“ANAK KECIL!” Kanae menggelitiknya.
“AAA.. NEE-CHAN KETULARAN GALAKNYA SHINAZUGAWA-SENSEI..”
“Heh!”
Setiap dua hari dalam seminggu, Sanemi Shinazugawa bertandang ke rumah Kocho. Bertiga di ruang tengah. Sanemi mengajar Shinobu sementara ia menyeduh teh dan menyediakan kudapan.
Kanae akan menemani Shinobu belajar sambil mengerjakan persiapan mengajar. Sesekali mengobrol dan beristirahat membicarakan sekolah dan anak-anak. Asik bertukar cerita, sambil Shinobu menyelesaikan soalnya.
“Kalau kau fokus sedikit, kau bisa dapat nilai sempurna, Kocho.” Sanemi dengan puas memberi angka 100 pada pekerjaan rumahnya.
Shinobu tersenyum bangga pada kertas di hadapannya. Lalu membawa masuk kertas itu ke kamarnya untuk dipamerkan kepada Ayah dan Ibunya. “Katakan itu pada senseiku yang tidak fokus.”
“Heh.”
Kanae tertawa.
“Baiklah, aku pamit dulu.” Sanemi memasukkan alat tulisnya.
“Biar ku antar sampai stasiun, Shinazugawa-sensei..”
Lalu Shinobu berdengung seperti nyamuk.
.
.
Hari-hari menyusuri jalan stasiun adalah salah satu waktu yang menjadi favorit Kanae.
“Menyebalkan memang punya adik yang tidak beda jauh denganmu,”
“Aku memahami itu,”
Kesamaan yang mereka miliki, seperti jiwa yang sebelumnya satu dan terpisah, lalu bertemu lagi.
Lalu hari demi hari berlalu.
“Nih,” Kanae menoleh. Kaget melihat Shinazugawa menyodorkan bunga kedepan hidungnya.
“Hari ini ekskul kan? Jangan bikin bunga mulu. Sekali-sekali harus nerima bunga.”
Kanae tidak bisa berhenti tersenyum sepanjang hari mengajar ekskul.
.
Entah sudah berapa lama berlalu. Kanae punya kebiasaan membagi apapun kebahagiaan yang ia punya bersama semua orang.
“Genya, aku titip ini yaa?”
“Oh, oh boleh Kocho-sensei.”
Satu tas kertas diangsurkan dengan ceria saat siswa kelas satu mengambil buku PR teman-temannya. Mummpung Genya ke kantor, jadi Kocho-sensei tidak perlu menarik perhatian berlebihan.
“Kemarin orangtuaku baru dari luar kota, Cuma Shinazugawa-sensei saja yang belum dapat oleh-olehnya.” Sebalnya punya jam pelajaran yang tidak pernah sama. Jadi waktu kosong tidak pernah berdua.
“Siapp..”
.
Orangnya marah keesokan paginya.
“Ngapain sih dititipin Genya?”
“Ya gapapa, biar dia ikutan makan?”
“Jadi gossip tahuu..”
“Masa sih?”
“Iyaa. Anak kelas aku rame ngeledek.”
“yaudah, biar sekalian tahu gak ada yang boleh deketin aku atau kamu lagi.”
“Dih, posesif.”
“Emang.”
.
.
Sekarang, perjalanan menyenangkan itu terasa amat berat. Dan muram meredupkan cahaya di hati mereka.
“Kanae, kau!”
Sekarang siapa pria dihadapannya ini. Sanemi yang mudah marah. Sedang memarahinya. Tidak ada kerinduan yang sama. Tidak ada nelangsa yang mirip di mata mereka.
“Biarkan aku..!”
Mereka berjalan dalam ketenangan malam.
“Kau tidak boleh seperti itu kau tau..” nasehat Sanemi seperti saat ia kelelahan menghadapi murid.
Kanae menunduk. Menghapus air mata yang tidak terasa sudah jatuh.
“Siapa pria itu? Dia terlihat menjanjikan..” tambah Sanemi sambil memandang langit gelap yang muda.
“Cukup, Sanemi!” Kanae menatapnya. Berhenti melangkah dan memaksa sulung Shinazuwaga menatapnya tepat dimata.
“Aku tidak peduli pada lelaki manapun! Aku peduli pada kau saja..!” Kanae menyusut ingus. “Aku tidak suka pada mereka! Aku tidak mau dengan mereka!”
Sanemi menatapnya sendu. Sangat ingin meraih tangan yang sedang memukul-mukulnya ini dan membawanya dalam pelukan.
“Kenapa kau diam saja? Kenapa belakangan kau menjauhiku? Kau bahkan tidak menghubungiku atau membalas pesanku!”
“Kanae..” Shinazugawa menelan ludah. “Kau.. akan lebih baik jika bersama salah satu dari mereka.”
“Apa?”
“Shinobu memberitahuku. Perjodohan ini sudah berlangsung selama kau cuti bukan?” Shinazugawa tertua mengusak wajah. “Aku mengerti bagaimana kau ingin merahasiakannya dariku..”
“Bukan! Tidak begitu maksudku—”
“Kau tidak perlu menjelaskan apapun oke? Sejak awal, kita memang bukan apa-apa..” Shinazugawa berjalan lagi.
Kanae shock berat dan mematung disana. Sanemi sadar Kanae tidak lagi disampingnya. Makanya ia menoleh dan melihat manik-manik merah muda mulai mengucurkan air mata.
“Kanae—”
“AKU TIDAK PERCAYA ITU!” Kanae berteriak. “AKU YANG MENENTUKAN KEBAHAGIAANKU SENDIRI! BAHKAN SANEMI JUGA TIDAK BERHAK MENENTUKANNYA!”
Sanemi terhenyak.
Kanae akhirnya menangis. Hampir satu minggu tidak ada kabar dari Shinazugawa. Orang tuanya memang tidak menekan perjodohan. Tapi kosongnya hati dalam interaksi hubungan yang tidak seperti mimpi menyiksa diri.
Kanae ingin meraih.
Kanae ingin Sanemi ada disini.
Jika memang Sanemi tidak hendak menseriusi hubungan ini. Lalu apa artinya selama ini. Apa arti semua ini?
Walau Sanemi bilang mereka bukan apa-apa. Tapi Kanae lebih dari tahu bahwa Sanemi bukanlah orang seperti itu. Tidak ketika manik ungu yang dia tinggal menangis juga.
"Kanae kumohon jangan begini.."
Hei, Sanemi..
Kau juga pasti sama frustasinya bukan?
Sama ingin bersamaku bukan?
Mengapa.. apa yang sebenarnya terjadi padamu?
Hei, aku mencintaimu tidak peduli bagaimanapun kamu.
Tanpa Kanae sadari. Ia sudah jatuh sangat dalam kepada pria sulung Shinazugawa.
“POKOKNYA.. AKU AKAN MENCINTAI SESEORANG YANG INGIN AKU CINTAI!”
Lalu Kanae lari. Pergi memutar dan kembali ke rumahnya. Tangan Sanemi sudah terulur. Tapi tidak bisa meraih apa-apa. Suaranya tidak keluar. Air mata yang jatuh di pipi Kanae tadi, sekarang jatuh ke pipinya juga.
.
.
.
Sanemi pulang dengan gontai. Barangkali memang mustahil baginya mencintai Kanae. Bagai pungguk merindukan bulan. Semua terasa mustahil dan berlebihan.
Sanemi mengantukkan kepalanya pada pegangan kereta malam. Hanya satu stasiun sebelum ia sampai ke rumahnya. Sanemi merasa kepalanya akan pecah. Ia belum siap menerima kata-kata Ubuyashiki sepenuhnya, sudah ketemu kenyataan realistis yang terlampau pahit di hadapannya.
“Kanae bisa berakhir dengan siapa saja.”
“SIAL.”
Lupakan saja. Besok, jika Kanae sudah masuk. Ia akan bicara baik-baik menghentikan private ini. Siapa dia berharap penungguan Kanae saat tidak ada apapun sebelumnya yang pernah ia utarakan. Jangankan menjanjikan sesuatu. Membuatnya menangis iya.
“Sanemi.. kau benar-benar payah..”
Kemana kepercayaan dirinya selama ini membawa teladan dan panutan bagi adik-adiknya. Ia selalu mengajarkan Genya dan laki-laki dirumahnya untuk tidak main tangan, memukul, atau sekadar membuat Pperempuan menangis.
Tapi lihat apa yang ia lakukan sekarang.. siapapun tolong pukul Sanemi..
Pacaran itu tidak baik jadi contoh murid-murid.
Sanemi dan Kanae punya sumpah profesi untuk tidak berperilaku amoral di hadapan para siswa. Mereka adalah teladan. Dan ia bukanlah seorang bajingan yang menunjukkan cinta hanya dengan pacaran.
Sudahlah. Orang bilang jodoh gak kemana. Jika rintangan itu memang tidak bisa, jadi ya sudah. Sanemi harus belajar rela.
Jika suatu hari ada undangan dari Kocho dan bukan nama mereka yang bersanding bersama. Sanemi harus—
“Astagfirullah..” Sanemi tidak sangka sebuah cinta bisa membuatnya sebegini gila. Tiba-tiba dadanya sesak seperti terkena serangan jantung. Apa ia sanggup hidup tanpa Kanae? Menikah dan bahagia tanpa Kanae? Yang lebih buruk..
Melihat Kanae menikah dengan pria lain? Menyandang nama lain di belakangnya, tidak lagi membalas tatapannya? Aarrhh.. sepertinya surat resign mulai menggoda.
Tunggu. Bagaimana adiknya nanti kalau ia keluar dari pekerjaan ini?
“Oh, Tuhan..” kepalanya kacau.
Sanemi mengikuti malam. Ia berjalan dari stasiun menuju rumahnya. Sambil mengumpulkan kesadaran dan kewarasan yang tersisa, Sanemi mengucap salam bahwa ia telah pulang. Baru ia membuka gerbang.
Sanemi lihat ada pasangan sepatu yang tidak biasanya ada. Kemudian sebuah mobil hitam terlampau familiar terparkir di depan rumahnya.
Seketika Sanemi membeku. Pikirannya cepat berganti. Jantung memompa darah ke sekujur tubuhnya membawa Sanemi berlari bak kesetanan.
Bajingan itu kembali.
.
.
Chapter 4: Keputusan Sulit
Summary:
Waktu belum tentu menyembuhkan.
Notes:
(See the end of the chapter for notes.)
Chapter Text
.
.
Sebenci-bencinya Sanemi pada Kyogo Shinazugawa, Sanemi tidak bisa membohongi diri bahwa kesenangannya pada angka diturunkan dari ayahnya.
Dulu sekali, Ibunya pernah bercerita tentang betapa hebatnya sang ayah yang mampu memperbaiki pesawat rusak, sehingga bisa terbang lagi. Karena itu Sanemi belajar matematika. Karena itu angka-angka terlihat lebih menarik daripada pelajaran lainnya.
Namun tidak peduli berapa kali ia dapat seratus dalam ujiannya, Ayahnya tetap memukulnya. Ibunya tetap melindunginya.
“Kenapa ayah?”
Sanemi lupa sejak kapan ia sudah peduli dengan penampilannya. Ia punya bekas luka, badan besar dan tinggi, tatapan mata tajam bak serigala, tidak ketinggalan suara berat dan serak seperti habis berteriak. Sanemi sudah lupa kapan ia terakhir peduli pada orang-orang yang membicarakannya di belakang, yang menyebutnya preman dan berandalan, yang menyebutnya kriminal karena pandai berkelahi.
Shizu dan Kyogo punya rambut sehitam malam. Begitupula Genya, Shuya, Hiroshi, Koto, Sumi dan Teiko. Beberapa lahir dengan mata cantik milik ibu. Beberapa punya dagu tegas seperti ayah.
Sanemi punya tubuh yang besar seperti ayah. Senyuman yang lembut seperti ibu. Lalu surai seputih salju yang bagi Kyogo, membuat Sanemi tidak menjadi putranya.
“Dasar kau anak haram,”
Sanemi memejamkan mata dalam-dalam, tak ambil pusing. Sejak ia bisa menilai betapa jahatnya tangan dan tubuh besar itu menindas Ibu dan adik-adiknya, Sanemi tidak sesedih itu melihat ayahnya menolak kehadirannya. Ia takkan mati jika sampah seperti itu tidak mengakuinya.
Sanemi terlanjur jatuh cinta pada matematika. Ia sudah pernah mendaftar pada fakultas serupa yang mampu menuntunnya menjadi ilmuwan atau teknisi berpenghasilan banyak untuk membebaskan keluarganya dari himpitan ekonomi di masa depan ketika mereka siap meninggalkan ayah mereka.
Namun bukan hanya rambut putihnya, tetapi mata ungunya yang redup ini, bukanlah sesuatu yang bisa ia kalahkan hanya dengan berusaha keras.
“Terdapat kerusakan pada retina putra anda..”
Shizu menangis di depan dokter. Diagnosa yang didapatnya terbaca diskromatopsia yang akan semakin parah jika tidak ditangani. Harga pengobatan dan kacamatanya itu sangat mahal. Universitas tempatnya mendaftar tidak mengizinkan Sanemi masuk karena faktor resiko yang mungkin timbul di waktu mendatang apabila ia menggeluti bidang ini.
Ayahnya menolak membiayai pengobatannya.
“Bagus sudah kuberi makan,”
Otomatis memupuskan semua mimpinya untuk mengambil jurusan-jurusan mesin dan teknik lapangan.
Walau begitu, Sanemi tahu ini bukanlah akhir kehidupan.
Ia melanjutkan sumpahnya untuk melindungi keluarganya dari tangan kotor ayah mereka. Dan memilih jurusan kuliah dimana ia bisa tetap jadi manusia walau hidup bersama angka.
Bagaimanapun, ini adalah jalan yang Sanemi pilih. Ia percaya ibu dan adik-adiknya tidak harus terus bergantung pada bajingan seperti ayahnya.
Walau hidup amat berat, selama mereka saling menyayangi, Sanemi percaya mereka bisa melewati semuanya.
Jangan sampai.. pukulan dan tamparan yang membuat memar sekujur tubuh Ibu dan adik-adiknya muncul kembali..
“IBU..! GENYA..! SHUYA, HIROSHI!”
Sanemi mengabaikan sepatu dan tasnya yang memantul-mantul seperti detak jantungnya. Rasa lelah seharian mengajar, ditambah perjalanan panjang di rumah Kocho dengan taburan garam di luka hatinya, membawa kesadaran samar-samar tersetel dalam otaknya.
“Nemi aniki..!” Adiknya berlarian. Mengejar tubuhnya dengan buncahan perasaan tak terbendung.
Jangan lelah dulu, jangan pingsan dulu, Ibu dan semuanya sedang menunggunya untuk diselamatkan—
.
.
“AYAH PULANG...!” wahahaha.
Adik-adiknya tertawa-tawa riang. Di meja makan tersedia berbagai macam hidangan yang lezat seperti kotak-kotak kue dan sushi mahal, beserta potongan daging dan mangkok sup yang telah berkurang isinya.
“Ayah pulang, Nemi-aniki! Ayah pulang! Lihat..!” Teiko menarik bajunya dan menunjuk pria besar yang duduk di sofa. "Aku dibelikan baju baru oleh Ayah..!" Teiko berputar centil. Menunjukkan gaun baru berwarna merah muda ke hadapan Sanemi.
“Lihat ini aniki!” Shuya pamer ponsel keluaran baru ditangannya.
“Aku dapat ini lho Nemi-aniki..!” Hiroshi dan Koto kembali sibuk membuka kotak-kotak besar berisi konsol game dan sepatu.
Sumi melihatnya tertawa. Baru saja ia turun dari pangkuan ayah untuk menggelendot pada abang tertua Shinazugawa.
Sanemi membeku.
“Sanemi, duduklah dulu nak..”
Sudah lama sekali ia tidak melihat ibunya tersenyum begitu lembut. Ibunya paham perasaannya. Maka ia bangkit dari sisi ayahnya, membawa tangan Sanemi lembut duduk di sebrang sofa tempat ayah ibunya berada.
Mata ungunya bertemu hitam legam Shinazugawa tertua disana. Mereka seperti bertukar tusukan pisau. Saling membunuh menyayat leher sampai putus urat nadi.
“Aniki ayo sini makan sama kita..”
Tapi seolah menjadikan adik-adiknya sandra. Sanemi tidak bisa mengamuk cepat mengusir bajingan ini keluar dari rumahnya.
.
Beberapa jam. Sanemi lihat adik-adiknya yang kembali menemui sosok ayah mereka bergantian mencari perhatiannya. Sesekali minta digendong dan mengusel manja. Sesekali memamerkan kepada Sanemi hadiah yang mereka dapatkan dari ayah mereka yang sempat menghilang.
Bajingan itu tak kalah bahagia. Walau sesekali bertukar racun lewat tatapan mata, tapi tawa dan senyum dari bibir yang sesekali mencium Sumi dan Teiko, atau tangan besar yang mengusap sayang kepala Shuya dan Hiroshi, bukanlah sesuatu yang pernah Sanemi temukan dalam memorinya.
Sanemi berdebar. Sanemi tidak tahan untuk cepat-cepat menjauhkan senjata hidup itu dari bagian-bagian hatinya.
Baru sampai jam 9 malam, Sanemi yang tegas itu meminta semua dari mereka untuk kembali ke kamar.
“Genya, Shuya, Hiroshi, udah jam 9. Ajak yang lain tidur, besok masih sekolah.”
“Tapi aniki..” Koto mulai merengek.
“Tidak ada tapi-tapi, Koto. Masuk ke kamar semuanya. Sekarang.”
Semua mendesah kecewa. Tidak ada yang bisa melawan aniki mereka. Sanemi adalah yang perintahnya tidak bisa ditawar-tawar. Walau Sumi dan Teiko sudah memasang wajah terimut mereka, menggantungkan air mata di kedua belah sudut mata, tetap tidak menggoyahkan pertahanan abang yang sangat mereka idolakan.
Sanemi alih-alih tersentuh, malah memejamkan mata dan mendesah. Membuka lagi manik ungu yang pucat, lalu menunjuk arah kamar dengan gerakan dagu satu kali.
Begitu saja. Semuanya bubar. Membereskan semua kekacauan yang sempat mereka buat, membawa boneka dan baju baru untuk menemani tidur mereka malam ini.
Sayup-sayup terdengar cekikikan dan obrolan singkat keramaian adik-adiknya. Suara Genya menyahuti semuanya untuk tidur. Terang cahaya satu persatu mati memastikan tidak ada lagi aktivitas yang lain.
Cukup lama. Sampai Genya kembali melaporkan kondisi mereka semua dalam keadaan nyaman, kenyang, dan hangat, terbuai ke alam mimpi.
“Semuanya sudah tidur, Aniki.” Ujar nomor dua Shinazugawa.
“Genya juga. Tidur, besok sekolah.” Sanemi mengultimatum.
“Tidak aniki. Aku juga.. mau bicara dengan Ayah!”
Sanemi memandangnya. Ketimbang bicara dengan ayah, wajahnya lebih menyiratkan ketidaksukaannya jika Sanemi menghadapi beruang ini sendirian.
“Bocah tengik.”
Sanemi hari ini sudah kelelahan berdebat.
.
.
“Kau pasti akan menjadi ayah yang baik..”
“Aku tidak butuh pujianmu, sialan.”
“Sanemi..” ibunya melerai.
Ayah dan ibu duduk berisisan di sofa. Genya dan Sanemi berada di sebrangnya.
Kalimat pembuka seperti mengajak gencatan senjata. Tapi Sanemi tidak lupa satu detikpun tentang Ayahnya pada apa yang terjadi sebelum hari ini.
Kyogo terlihat menahan urat marah yang menyembul di lehernya. Alih-alih melotot dan menggeletuk gigi, Kyogo memejamkan mata dan menghela napas perlahan dari mulut, melegakan dada sendiri.
“Maaf jika kedatanganku tiba-tiba, Sanemi..” Kyogo Shinazugawa memulai.
Sanemi membelalak lebar. Untuk sialan seperti Kyogo Shinazugawa, ‘maaf’ adalah kata-kata terakhir yang paling mustahil yang mungkin Sanemi dengar.
Oh, tidak. Sanemi cepat menenangkan diri. Ini bukanlah maaf yang ‘itu’. Kyogo Shinazugawa bukanlah sesuatu yang seharusnya bisa membuat Sanemi terkejut.
“Tapi aku dan ibumu sudah sepakat untuk rujuk kembali,” tangan besar menggenggam tangan kecil yang rapuh.
Membawa ibu yang mungil dan sendirian merasakan perlindungan lagi dari seorang yang selama ini masih ia cintai walau sudah pernah memukulnya lebih dari sekali.
Sanemi memicing jijik. “Kau pasti mengancam ibu kan, bajingan.”
“Sanemi. Jangan kasar pada ayahmu..”
“Ibu! Jangan bilang ibu lupa apa yang sudah si brengsek ini lakukan terhadap ibu dan kita?”
“Sanemi, Sanemi. Tenang nak..”
“Tidak apa Shizu.. biar aku yang bicara pada Sanemi.”
Sanemi sudah gatal ingin melayangkan tinjunya. Bisa-bisanya ia menggunakan kesepian dan ketakutan akan perlindungan yang ibunya miliki untuk memunculkan diri sebagai pahlawan dari masalah yang ia buat sendiri.
“Sanemi.. aku mengerti bagaimana perasaanmu atas apa yang telah aku lakukan selama ini..”
“Bagus. Baiknya kau juga tahu apa yang harus kau lakukan selain pergi dari sini sekarang?”
“Tidak. Dengarkan aku. Beri aku kesempatan bicara..”
“Aniki..” Kali ini Genya menegurnya pelan.
Sanemi menoleh pada adik sekaligus siswanya di sekolah. Sanemi tidak percaya Genya yang sama mengerti bagaimana perasaannya selama ini berpihak pada gorila rabies di depan mereka.
“Kumohon.. Sanemi..” Ibunya kali ini berbisik.
Genya yang langsung menunduk setelah dapat tatapan marah, memberanikan diri mengintip lagi. Abangnya yang lembut ini paling tidak sanggup kalau sang Ibu sudah melirih.
Sanemi terlihat mengatur napas. Genggaman tangan di lengan baju yang bersidekap sudah terasa menggaruk kulitnya. Sanemi dalam hitungan mundur ingin melempar kursi.
“Baik. Kalau yang keluar dari mulutmu sampah lagi, aku tidak akan ragu-ragu membuangmu bersama memori adik-adikku tentangmu..”
Itu adalah ancaman yang kejam. Membingkai ulang kebahagiaan hari ini dalam narasi yang paling buruk. Kemampuan pedagogi Sanemi lebih dari sanggup menanamkan trauma seperti ia menanamkan pentingnya matematika.
Shinazugawa Kyogo terpantik. Shizu cepat menangkap itu. Lalu tangan mungilnya menggenggam lembut jari jemari kokoh, menjeda kemarahan yang tetiba naik keubun-ubun, hanya untuk dibenturkan dengan kilauan mata penuh cinta yang telah lama ia rindukan.
Shinazugawa Kyogo kembali menarik napas. Menunduk beberapa detik. Lalu menatap putra sulungnya sambil tak lepas membawa tangan Shizu di dalam genggamannya.
“Aku.. aku tau aku salah.”
Genya dan Shizu bertukar tatapan. Was-was kalau Sanemi menyahuti dengan omongan sepedas cabe rawit merah.
“Jadi aku..” Shinazugawa Kyogo menelan ludah. “Aku minta maaf..” matanya berlarian. Enggan menatap Sanemi tanpa ia sadari.
Salahnya mungkin membuat Sanemi kini memicing curiga. Sanemi meragukan permohonan maaf barusan.
“Setelah aku pergi dari rumah ini.. aku jadi sadar kalau hidupku menjadi hampa. Aku bekerja keras, mencari uang demi kalian. Aku sudah sadar Sanemi. Aku ingin keluarga kita kembali..”
Kyogo berhasil menyelesaikan kalimatnya. Napasnya terengah-engah seperti habis dikejar kereta. Ketiga Shinazugawa menunggu jawaban satu-satunya surai putih.
Lantas seperti Shizu dan Genya duga..
“Jangan mimpi kau ayah gila.”
Mendapat maaf Sanemi tidaklah semudah itu.
.
.
Kyogo Shinazugawa, dengan kepribadian rasional dan matematis yang ia miliki, tidak pernah pandai berurusan dengan manusia.
Pertemuannya dengan Shizu yang lembut dan baik hati, yang berbicara kepadanya yang sangat canggung terhadap wanita, adalah semasa sekolah menengah atas. Kyogo Shinazugawa tahu bahwa Shizu adalah perempuan pertama dan terakhir yang akan ia kenal seumur hidup.
Maka ketika putra pertama mereka lahir dengan surai putih dan manik ungu yang redup, Kyogo Shinazugawa merasa dunianya hancur.
“Sanemi..” Kyogo berbisik lembut.
Namanya sendiri memiliki kanji yang berarti biji, buah, yang bisa bermakna hal-hal yang bernilai hasil kebaikan yang akan bertambah semakin banyak. Sanemi bertumbuh sangat sehat, dari sebuah bibit kecil hingga menjadi pohon rindang yang melindungi dan menyejukkan keluarganya.
Kyogo lupa kapan terakhir kali ia memerhatikan pertumbuhan putra sulungnya yang kuat ini. Seingatnya ia hanya memukuli Sanemi, mematahkan tulangnya yang masih seperti ranting, atau kadang-kadang mencabut surainya seperti membersihkan rumput di halaman belakang.
Ia tahu dosanya di masa lalu akan selamanya meninggalkan bekas pada diri Sanemi. Sebagaimana luka seset di wajah dan tangannya, apalagi dada dan lehernya yang membuat Sanemi tidak sanggup mengancingkan baju karena cekikan di leher dari perlakuan Kyogo untuk menghentikan lajur napasnya.
Setan apa yang merasukinya, hingga tega menyakiti Sanemi, kemudian melampiaskan marah pada Shizu yang sangat mencintainya..
Kyogo Shinazugawa menghapus sudut matanya yang panas.
Belum rela kalah sebelum isi hatinya dikeluarkan semua. “Karena itulah aku datang kemari,” Kyogo meraih sebuah amplop dari tas kantornya, mengeluarkan isinya.
“Ini adalah hasil terapi marahku selama setahun ini,”
Sanemi dan Genya terbelalak. Tangan Sanemi terdorong meraih berkas itu, membolak-baliknya cepat, menganalisis dari satu halaman ke halaman lain.
“Karena itulah Sanemi. Jika kau menignginkan sesuatu dariku untuk jaminan lain menjaga komitmen ini, aku akan lakukan.”
Belakangan saat pertengkarannya dengan Sanemi beberapa tahun lalu kejadian, Kyogo Shinazugawa tidak pernah seharipun tidur dengan tenang.
Pekerjaannya menjadi saluran mengeluarkan stress dan tekanan, sampai uangnya semakin banyak dan pangkatnya semakin tinggi. Kyogo Shinazugawa sadar, sebanyak yang ia bisa hasilkan, sebanyak itu yang tidak berguna jika Shizu, putra-putrinya, tidak ada disisinya. Tanpa mereka, Shinazugawa Kyogo merasa tidak ada yang berharga..
“Aku juga tidak tahu apa yang bisa membuatmu percaya.” Shinazugawa Kyogo menatap istrinya yang sudah ditalak satu dengan pandangan berkaca-kaca.
“Tapi aku ingin mencoba..”
Karena Shinazugawa Kyogo merasa jika ia tidak melakukannya, ia akan menyesal seumur hidupnya.
Genya disamping Sanemi sudah mau menangis. Shizu juga sudah menutup wajah dan sesenggukan sambil diusap lembut bahunya.
.
.
Sanemi terdiam, menurunkan berkas perlahan ke atas pangkuan. Ia masih mencerna dengan dalam semua kejadian yang terlalu beruntun ini.
Sanemi mau meledak seperti angin topan..
“Aniki,” Genya menyentuhnya.
Memaafkannya? Jangan gila. Tidak ada yang bisa merubah manusia dalam tiga tahun. Tiga tahun? Sudah tiga tahun ya sejak kepergiannya.
Apalagi bayangan dan bau darah di tangannya yang masih sangat basah dalam ingatan.
Dalam tiga tahun itu adalah waktu paling aman yang Sanemi punya tanpa pukulan keras maupun perih tamparan.
Sanemi mengangkat wajah. Ia tatap ibunya yang sudah sesenggukan menahan tangis takut membangunkan anak-anaknya.
Barangkali kelelahannya hidup sebagai orang tua tunggal dengan tujuh anak tanpa suami telah menumpuk tak terkira.
Sanemi kini menatap ayahnya.
Pekerjaan yang bagus, tubuh yang bagus, masa depan yang bagus. Mungkin itu juga hal yang tidak bisa membuat ibunya berhenti terjerat pesona ayahnya. Benar, biar bagaimanapun, wanita itu perlu jaminan, kepastian dan perlindungan.
Tak peduli seberapa muak dirinya dengan ayahnya, Sanemi harus mengakui kehidupan ekonomi Shinazugawa masih lebih baik ketika Kyogo ada ditengah-tengah mereka. Sanemi menggigit bibir. Diam-diam merasakan kecewa pada diri sendiri yang gagal mempertahankan harga diri.
Apakah ini keegoisan Sanemi sendiri untuk melindungi dirinya dari ketakutan penolakan dan buangan? Apakah keputusannya selama ini yang membuat Ibu dan adik-adiknya sengsara dalam kemelaratan?
Sial.. jangan-jangan selama ini Sanemi sendiri yang kepribadiannya berantakan.
Pergolakan batin tidak bisa dihindari. Satu sisi Sanemi sangat takut Ibu dan adik-adiknya terluka lagi, namun disisi lain ia juga sangat takut adik-adiknya terpaksa tidur karena kelaparan lagi. Manapun yang Sanemi lakukan, ia merasa telah membunuh perlahan-lahan. Bagaimana mungkin seorang pria yang mengabdikan dirinya untuk melindungi tidak punya kekuatan..
Ia berlagak kuat dan mampu melindungi semuanya, padahal yang ia tawarkan tidak lebih dari pelarian menuju kesulitan yang lain. Walau dengan mengorbankan dirinya sendiri, nyatanya Sanemi bukanlah pria yang mampu membuat orang-orang yang ia sayangi bahagia.
Tidak ibunya, tidak adik-adiknya.. apalagi Kanae..
Sanemi tanpa sadar menjatuhkan kening ke jari jemarinya. Khas dirinya saat berpikir keras menemukan persoalan yang terlampau sulit.
Pikirannya berceceran. Ia tidak bisa memutuskan karena luka fisik itu bahkan masih membekas di tubuhnya.
“Aku tahu kau butuh waktu.”
Kyogo Shinazugawa melihat itu. Ia tidak akan memaksa mendapat jawaban saat ini juga. Dalam hati harap-harap cemas semoga kemungkinan terburuk tidak terjadi—dan semoga bukan hanya masalah waktu. Tapi waktu berkali-kali membuktikan bahwa apa saja bisa terjadi, selain kemungkinan terburuk.
“Untuk sekarang.. hanya itu yang ingin aku katakan. Shizu. Aku pergi dulu. Titip salamku pada anak-anak. Dengar, ini alamatku sekarang. Datanglah bersama anak-anak kapankun kalian mau,”
Kyogo Shinazugawa sekali lagi menatap Sanemi yang masih enggan menatapnya.
“Sanemi. Aku menunggu jawabanmu. Karena biar bagaimanapun, kau juga yang paling berhak atas keluarga ini. Kaulah yang telah melindungi dan menyayangi Shinazugawa hingga bertahan sampai hari ini..” Kyogo tersenyum tipis dengan bangga.
Ia bangkit berdiri. Lalu memutuskan pergi melepaskan lengan Shizu yang masih ingin ia disini.
“Kyogo..”
Kartu nama diatas meja berbaring sepi. Genya mengikuti ibunya keluar mengantar pria berjas hitam dengan langkah terburu seolah mengejar sesuatu.
Sanemi bersandar di sofa. Hatinya menimbang apakah ia harus memastikan Genya dan ibunya baik-baik saja ditinggallkan bertiga dengan gorila yang menyebutnya kepala keluarga Shinazugawa.
Sanemi menghela napas. Tak lagi punya ruang untuk berpikir jernih ataupun kekuatan untuk memastikan semua orang tidak tercerai berai seperti kewarasannya.
Dalam keheningan malam yang begitu menenggelamkan, Sanemi berharap menemukan jawaban..
Notes:
tolong siapapun peluk Sanemi, huhuhuhu
Chapter Text
.
.
Obanai sudah sering dengar tentang kelas 3 yang dipegang Sanemi. Beberapa siswa didalamnya ketahuan broken home, ada juga yang orang tuanya tidak lengkap, beberapa dari mereka pernah hampir di keluarkan namun menjadi preman tobat karena ceramah Sanemi saat dijemput di lokasi tawuran.
Obanai menulis di papan kapur dengan cepat. Di belakangnya ada dua lusin lebih anak murid krisis jati diri yang sedang merengek tidak jelas.
“Iguro-sensei..”
Sudah langganan memang, Sanemi sebagai guru matematika ter-killer menjadi walas kelas 3 dengan anak-anak penuh catatan. Ubuyashiki sengaja menempatkan Sanemi disana sebab percaya pada pola didik Sanemi yang keras namun penuh perhatian. Jadi tidak heran, kalau bonding mereka sejak awal semester jadi begitu erat ketika ujian kelulusan semakin dekat.
Iguro berhenti menulis. Ia melirik dengan mata dwiwarna yang menyala tidak senang karena pekerjaannya diinterupsi.
Hari masih pagi. Tapi Iguro-sensei sudah pasang wajah seperti tanggal tua di sore hari. Masker yang tidak menunjukkan garis bibir menambah kesan misterius tentang kata-kata apa yang akan keluar dari sana.
“Apa?”
Seorang siswa perempuan berkuncir kuda takut-takut membalas tatapan Iguro-sensei.
“Kayaknya.. kami jam pelajaran pertama bukan kimia, deh..”
“Emang,”
“Te-terus.. kenapa Iguro-sensei yang masuk?”
“Karena saya piket.”
“Kenapa guru piket yang masuk ke kelas?”
“Ya karena guru yang harusnya ngajar gak masuk!”
Semuanya terdiam, mata membelalak perlahan-lahan mencerna informasi. Berbagai pertanyaan muncul satu persatu berkecamuk, terbaca jelas lewat tatapan satu sama lain tentang pikiran masing-masing.
Pelajaran pertama mereka di hari kamis, adalah matematika. Apa kata Iguro-sensei tadi? Guru yang harusnya mengajar.. tidak masuk?
“Iguro-sensei?”
Iguro yang sudah berbalik ke papan tulis untuk melanjutkan salinan soal yang dititipkan oleh pihak bersangkutan berhenti lagi menggores kapur.
“Iguro-sensei..?”
Kali ini seisi kelas bersahutan memanggil namanya hingga pemilik Kaburamaru bersedia menatap mereka.
“Iguro-sensei, Iguro sensei..” Iguro-sensei mengulang panggilan mereka dengan meledek.
“Berisik, paham gak?” Nah keluar bisa ular kaburamaru yang ada di lehernya.
Akhirnya Iguro-sensei yang pegel kupingnya dipanggil-panggil bersidekap sambil menyapu pandangannya ke seluruh penjuru kelas.
“Tapi.. Shinazugawa-sensei kemana?”
Obanai bersidekap. Menatap satu persatu wajah yang khawatir tentang sensei mereka.
“Kenapa emang nanyain Shinazugawa-sensei?”
Kadang-kadang, anak-anak ini perlu diajarkan tentang kerasnya kehidupan.
“Kangen dibentak-bentak?”
Ketika orang yang disayang selalu berada di sekitar, kemudian kehadirannya selalu jadi momen yang menyebalkan, ketika enggak ada baru deh kerasa.
“Kemaren siapa yang ngadu-ngadu kecapekan ke Nakime-sensei karena dibentak Shinazugawa-sensei?”
Obanai sudah dengar itu juga. Sanemi yang tidak pernah akur dengan Nakime ditegur dengan issue laporan dari anak kelas 3.
Semuanya terdiam. Kelas 3 tahu Nakime-sensei guru BK, seperti punya dendam pribadi dengan walas mereka. Tepatnya sepulang sekolah setelah disuruh keliling lapangan, mereka yang mau menghibur Shinazugawa-sensei itu bercanda ke Nakime-sensei kalau mereka capek dimarahin Shinazugawa-sensei, dan berakhir Shinazugawa-sensei ditegur sehingga mengeluarkan ekspresi lain selain sedih.
Mereka merasa berhasil, setidaknya itu membuat Shinazugawa-sensei memberi mereka pelototan lagi seperti biasa, tidak hanya murung dan kemarahan yang tidak bertenaga.
“Heran saya sama kalian. Udah mah tau dibentak tiap hari gara-gara kelakuan sendiri. Terus gurunya disuruh baik, gak mau dimarahin, gak mau dibentak. Sekarang pas gak masuk malah ditanyain.. Jadi maunya dibentak apa dibaikin?”
Omongan Iguro-sensei terasa mencekik seperti anaconda yang mulai melilit mereka sampai ke leher.
“Kalau segitunya pengen diomelin, pasang cepetan kupingnya baik-baik. Saya ocehin sampai melepuh.”
Semuanya menelan ludah, meresapi tanpa sadar bisa ular yang mematikan.
“Mau diomelin tiap hari?”
Semuanya terdiam seperti sesak napas.
“Heh. Denger gak kupingnya?”
Hening lagi seperti tikus di sawah yang ketakutan dimangsa ular. “MAU DIOMELIN LAGI GAK?”
“ENGGA SENSEI!”
Iguro-sensei mendengus sinis. “Dasar bocah remaja ga punya pendirian..”
Lalu Obanai berbalik. Kembali mengusak kapus dan menulis rumusan soal yang berjejer. Tapi mulutnya yang bertutup masker itu masih berbunyi dengan nyaring.
“Bersyukur hari ini libur dulu diomelin, kuping yang biasanya panas, ademan dikit istirahat. Kenapa sih enggak alhamdulillah aja gitu, gak usah mempertanyakan yang gak ada.”
Hati putra-putri harapan bangsa menciut cepat. Merasa bersalah karena perlakuan tempo hari kemarin. Lebih-lebih ketar-ketir karena Iguro-sensei tidak ada manis-manisnya sama sekali.
Iya sih libur dari diomelin Shinazugawa-sensei. Tapi ucapan nyelekit Iguro-sensei bukanlah ganti yang lebih baik.
Masih mending sama Shinazugawa-sensei, biar galak masih diperhatiin. Ini mah udah mana tajem, serem, mencekam..
“Ya.. ya tapi kemana Shinazugawa-sensei?”
“MANA SAYA TAHU?! UDAH SEKRANG CEPET KERJAIN, JANGAN NGURUSIN ORANG MULU. “ mata Iguro mendelik sebal, “ANAK KECIL PENGEN TAU AJA URUSAN ORANG TUA.”
Semuanya merasa mendengar desis ular yang siap melahap mangsa bulat-bulat diiringi gelegar petir di siang bolong.
“CEPETAN 5 MENIT AJA. Hari ini materi saya banyak, saya mau pake jam pelajarannya Shinazugawa-sensei buat latihan soal kimia.” Iguro-sensei menjatuhkan pantatnya ke kursi. Menopang pipi dan melipat kaki sambil mengawasi siswa-siswi.
Astagfirullah. Serentak kelas 3 membatu. Mimpi apa kelas 3 milik Shinazugawa-sensei dapat 4 jam pelajaran sama Iguro-sensei.
“Se-sensei, saya ijin ke toilet..” seorang siswa di pojok ruangan sudah mengangkat tangan hendak meninggalkan kursi.
“Ga ada. Tahan aja sampe pulang.”
Satu burung jatuh.
“Iguro-sensei tolong jelasin yang itu saya kurang paham..” seorang siswa berkaca mata mengangkat tangannya ragu-ragu.
“Gini aja gak bisa? Dari tadi saya ngoceh panjang lebar gak didengerin? Makanya kuping dipake dengerin pelajaran bukan gosip.. Becusnya ngomongin orang doang, pantes otaknya kosong semua.”
Burung selanjutnya jatuh.
“Sensei—”
“Apa lagi? Udah deh kalau gak niat sekolah diem aja disitu. Berdiri. Angkat tangan. Nunduk. Nunduk! Nah iya udah diem disitu sampe bel. Berisik tahu gak? Bikin gak fokus aja,”
Itu tadi tambahan jumlah burung yang jatuh.
Pagi itu kelas 3 Shinazugawa-sensei kompak merengek dalam hati.
“SHINAZUGAWA-SENSEI…. HUHUUUU..”
Mereka tidak siap jadi bulan-bulanan ular kadut..!
.
.
Hari ini, hari yang terlalu cerah untuk Obanai menyortir kertas kuis yang ada di atas meja kelas Sanemi. Biasanya guru matematika yang anti absen walau badai menghadang itu masih mengoreksi soal hingga jam makan siang, kadang ia lanjut sampai malam untuk persiapan mengajar, kadang dibawa pulang karena diminta dinas membuat soal untuk ujian.
Belakangan Obanai sadar wajah Sanemi tidak seperti biasanya. Bukan Obanai tidak tahu duduk persoalannya, cuma untuk hari-hari ceria penuh cerita drama keluarga dan sekolah, yang ini agak terlalu angst buatnya.
Obanai sejak dulu mengenal Sanemi sebagai pria yang hebat, bertanggung jawab, tidak ragu menolong. Walau wajahnya yang seram bikin anak kecil menangis itu tidak bisa diapa-apakan, nyatanya Sanemilah yang pertama berhasil mengajak main anak-anak sekolah tempat mereka KKN dulu.
Obanai menimbang untuk menghubungi Sanemi dengan ponselnya yang ada dalam genggaman. Jujur saja, rasa khawatir tidak terhindarkan memikirkan kejadian macam apa yang membuat Sanemi Shinazugawa abstain bekerja.
“Sakit katanya..”
Informasi dari Himejima-san saat memintanya menggantikan Sanemi mengajar hari ini terngiang lagi.
Sekarang manik dwiwarna Obanai melirik pada seorang guru biologi yang matanya berkantung seperti panda.
“Sakit apa sakit..”
Seperti tidak direstui semesta. Mereka berdua tidak bertemu juga.
.
.
“GUYS.. HARI INI GUA ULANG TAHUN, MANTAP.” Uzui menyalakan ponsel dan membuat vlog dari kamera depan. Semua guru bertepuk tangan merayakan hari kelahiran guru seni yang digelar kecil-kecilan.
Tapi namanya Uzui yang nyentrik dan meriah, tidak bisa tuh kalau acara ini tidak heboh. Minimal ada dokumentasi yang oke untuk diposting ke akun media social.
“Ganteng banget gue.” Komentar Uzui sambil menatap fotonya sendiri di layar ponsel.
Iguro menatap mau muntah. Kyogai menepuk gendang. Goto mengangguk-angguk saja menyenangkan yang punya acara.
“Posting dulu—”
“Uzui-sensei, apa sekarang kita sudah bisa makan?” Rengoku dengan berbinar dan badan tegap sudah berdiri di sebelah tumpukkan bento yang masih bertali.
“Iya udah dibagiin aja, minta tolong ya Rengoku! Iguro, lagu yang lagi viral itu apa judulnya mau gua pake di postingan story?”
“Hah? Yang mana?”
“Itu yang.. aaaaaaaah! Tetet tetotet..” Uzui menggoyangkan pinggulnya, lalu semuanya tertawa kecil.
“Oh itu. Sini gua ketikitn..” Iguro mengambil ponsel pria bersurai gondrong. Uzui disebelahnya sesekali mengintervensi, mengatur-atur caption dan sticker untuk membuat postingan lebih menarik.
“Udah makan dulu, Uzui-sensei, Iguro-sensei.. pisahin buat kepsek sama Haganezuka yang masih di kelas jangan lupa..” nasehat Himejima sambil menerima angsuran kotak bento dari Rengoku. “Terima kasih, Rengoku-sensei..”
“Sama-sama, Himejima-sensei.” Angguk Rengoku.
“Yah, lemot jaringannya! Yaudah ayo makan dulu..” Uzui memutuskan menaruh ponselnya di meja dalam keadaan terbuka. Iguro juga meninggalkannya, membantu Rengoku membagikan bentuk syukur karena telah berumur panjang.
“Kocho-sensei, silahkan..” Rengoku dengan ramah menyodorkan kotak lain.
Tapi tidak ada jawaban
Sejenak semuanya bertukar tatapan diam-diam.
.
.
Semalam.. Kanae menangis pilu sekali. Kanae melewati para tamu, nyelonong masuk tanpa salam dan mengunci pintu sedetik kemudian. Air mata mengucur tak tertahankan, menetes bak hujan membanjiri hati penuh kecewa, marah, dan keputusasaan.
Masa bodo ia dengan tatapan calon mempelai dan ayah bunda di ruang tengah. Kanae malam itu hanya merasa hatinya sakit.. sakit sekali.
Tuk tuk!
Ketukan pintu dari Shinobu yang khawatirpun ia abaikan.
Tuk! Tuk!
Meja diketuk kembali.
“Kocho..” panggilan dari suara baritone milik guru sejarah memaksa Kocho Kanae kembali ke realita.
“Eh, iya Rengoku-sensei?”
Rengoku tersenyum. Matanya yang menyala bak jilatan api memancarkan cahaya hangat yang mencairkan kecanggungan. Kanae sontak saja merasa malu ketahuan melamun ditengah pembicaraan dan obrolan ringan para guru di siang hari.
“Uzui ulang tahun, nih ada traktiran bento..” jelas Rengoku tanpa kehilangan senyuman.
“Ayo ayo dimakan! Boleh nambah sepuasnya gue yang tanggung!” Uzui menunjuk setumpuk bento di dalam ruangan sambil berteriak ke penjuru ruang guru.
“Nambah apaan, orang dapetnya masing-masing 1 biji..”
“Eh, diem lu ya Uler. Jangan berisik udah, makan aja.”
Kocho Kanae tertawa kecil. Melihat tingkah akrab mereka yang biasanya tidak selesai cepat karena saling bersahutan dengan satu orang lagi.
Kanae langsung terdiam. Biasanya orang itu duduk di sebelahnya, menyahuti dengan sindiran tak kalah menyebalkan dan sarat emosi. Namun saat ini, kursi di sisinya kosong meninggalkan hampa seperti lubang hitam.
Uzui dan Iguro diam-diam bertukar tatapan. Berlawanan dengan Rengoku yang sudah mulai membuka kotak bento dan mematahkan sumpit menjadi dua.
Kocho Kanae melamun. Bodohnya ia merasa ingin memperpanjang cuti karena belum sanggup ketemu Sanemi. Tapi betapa baik Tuhan kepadanya, karena sang guru matematika tidak masuk hari ini.
Seharian mengajar di kelas Sanemi tempat adiknya sendiri berada, Kanae tidak menyangka akan sebegini terluka.
“Neee Kocho-sensei.. kemana Shinazugawa-sensei kami pergi?” tanya anak-anak saat jeda setelah penjelasannya selesai.
“Eh? Aku juga tidak tahu tuh..” Kanae menggeleng.
Kocho sulung yang berusaha tegar sejak pagi dimulai, retak sedikit pertahanannya begitu nama belakang impian disebut akrab.
“Bohooong.. kalian pasti sedang merencanakan sesuatu sampai gantian cuti seperti itu kan? Ayolah, kami ini siswa kesayangannya Shinazugaawa-sensei, bertahu kami sedikitt..”
“Apa?”
“Kapan kalian menikah? Kami diundang kan?”
Shinobu bersenandung dengan tenang. Kanae diberondong pertanyaan sampai pusing.
“Kalian akan tinggal dimana?”
“Bagaimana awalnya kalian jatuh cinta?”
“Benarkah kalian pernah ke Shibuya bersama?”
“Eeeeii…! Kata siapa kami menjalin hubungan?” Kocho-sensei setengah menjerit geregetan karena isengnya siswa kelas 3.
“Eeeehh? Memangnya tidak?” ramai-ramai sekelas menyerang Kocho-sensei dengan heboh.
“Uhm, soal itu..”
“Ahh wajahnya memerah! Kocho-sensei maluuu..”
“ECIE ECIE ECIEEE..!” beberapa bersiul ribut, melupakan pelajarannya yang tersisa 10 menit.
Kanae menghela napas. Bodohnya ia terperosok dalam usil murahan anak didik Sanemi. Tapi memang apapun yang berkaitan dengan Sanemi, belakangan membuatnya agak kacau.
Kalau dipikir lagi, beberapa hari selama Kanae tidak masuk, berarti Sanemi menghadapi ini? Dan ia sendirian tanpa jawaban maupun pegangan tentang situasi mereka sebenarnya.
Sekarang Sanemi sudah tahu ia dijodohkan, mau mengobrol malah jadi marahan, dan mereka tidak lagi berkirim pesan. Bahkan ketika ia dengar Himejima-san bilang Sanemi tidak masuk karena sakit.. Kanae belum berbicara lagi sedikitpun dengannya sejak malam itu.
Sial Sanemi.. kamu pasti marah padaku ya? Sekarang membiarkan aku menghadapi semua ini seorang diri? Supaya aku merasakan hal yang sama seperti yang kamu rasakan?
Dasar jahat.
Kepalanya sekarang terkulai di meja guru. Kanae sudah tidak sanggup lagi. Haduh.. rasa sakit di dada ini benar-benar—
“UMAI!”
Uzui dan Iguro melotot pada Rengoku yang cuek bebek menikmati lezatnya bento hangat dengan tiga buah nugget dan acar mayonnaise. Padahal di samping ada guru biologi yang sedang kehilangan makna kehidupan.
Tapi alih-alih kesal, Kanae malah menyetujui kata-kata Rengoku dari nurani yang paling dalam.
Benar kata Rengoku—
“AAAA…! HARI YANG MANTAP!” postingan cerita di social media Uzui telah selesai loading.
Aduh, sedap.
Kanae memejam pasrah.
.
.
Habis itu Iguro menyuruh Kaburamaru mematuk surai putih yang terlampau sampah.
“Kalau ada Shinazugawa, pasti langsung dibanting deh hapenya Uzui..” Tomioka Giyuu entah muncul dari mana, dengan cuek mengambil satu kotak bento untuk makan siangnya.
Himejima mengatupkan kedua tangan dengan lelah, air matanya menetes prihatin. Goto memukul wajah pelan. Kyogo menabuh gendang bernada rendah. Uzui menyetel dinamit sampai memercik. Obanai dengan mata memicing jijik menatap entitas rambut hitam gondrong minta dijambak sampai botak.
“Patok dia juga Kaburamaru.”
.
.
Chapter Text
.
.
Shinobu Kocho selalu tersenyum. Ia jarang sekali marah, tidak juga kelihatan kapan emosinya lepas selain tawa sadis dan mengerikan bagi siapa saja yang mengganggunya. Ini sudah menjadi asumsi dasar bagi semua orang di Akademi Kimetsu agar tidak jahil padanya, apalagi membuat kekesalan Miss Tercantik meledak.
Tapi siang ini, Shinobu Kocho sama sekali tidak berusaha menahan emosinya barang sedikitpun.
BRAAKK..!
Shinobu Kocho sampai pada tujuannya. Kaki kecil menendang kursi kantin sekolah dengan keras. Tanjiro dan Zenitsu terjengkang ke lantai. Seorang siswa bersurai mohawk dengan bekas luka di wajah terperanjat dan beringsut ketakutan.
“Ko-Ko-Kocho-senpai..”
“AAHH..!”
“ADUH!”
Tiga orang siswa kelas 1 sedang persiapan ujian. Genya yang kemarin dapat seratus sedang mengulang sunatullah yang sama bersama sahabat-sahabatnya.
“Shinazugawa Genya!” Satu jarum suntik mengambang di bawah urat nadi.
“KOCHO-SENPAI, TOLONG TENANG DULU!”
“HIII..!”
Zenitsu sudah menjerit. Tanjiro berusaha melerai sampai sebuah jarum suntik menggores pipi seolah memakunya di lantai.
Manik ungu Shinobu menyalang marah. Ditambah kerut di dahi menambah seram tatapan intimidatif yang kelewat menusuk.
Sejak pagi, gossip antara guru biologi dan guru matematika sudah seliweran semakin panas. Kocho Shinobu adalah adik yang berbakti pada kakaknya. Ia benci setengah mati jika ada yang membicarakan yang buruk-buruk tentang Kanae.
“Kau lihat itu? Kocho-sensei diantar sekolah oleh pria lain..!? Jadi benar Shinazugawa-sensei dan Kocho-sensei bubar..??”
“Hah? Padahal belum official menjalin hubungan, tapi sudah bubar?”
“Ingat gak 3 hari kemarin Kocho-sensei cuti, Shinazugawa-sensei murung? Sekarang gantian kan? Mereka sekacau itu perasaannya sampai gak mau ketemu satu sama lain!”
“Kalau lihat tadi pagi, berarti Kocho-senseinya ada cowok lain gak sih? Berarti Shinazugawa-sensei dicampakkan Kocho-sensei, makanya patah hati sampai gak masuk ngajar?”
“Tapi chemistry-nya mereka berdua cocok banget..! Masa sih Kocho-sensei setega itu mainin perasaannya Shinazugawa-sensei?"
"Aku tau sih Shinazugawa-sensei galak, tapi sebenernya Shinazugawa-sensei itu baik..”
"Yah, kalau ada yang lebih baik kenapa enggak kan?"
“Wahh parah, padahal Kocho-sensei tampangnya manis dan baik. Aku kira dia tipe yang gak mandang fisik atau latar belakang, ternyata—”
.
“AKU TIDAK AKAN MEMBIARKANMU LOLOS HARI INI!”
Kali ini, wajah datarnya bahkan tidak bisa menyembunyikan kemarahannya. Kakak perempuan yang sangat Shinobu kagumi itu, tidak pantas dijelek-jelekkan seperti itu. Jika Shinobu boleh memilih, ia sebetulnya tidak ingin Kanae menikah dengan siapapun. Tidak usah meninggalkan rumah, tidak perlu menangis dan bersedih untuk orang yang tidak jelas!
Kanae adalah orang yang baik, pintar, lembut! Dia pantas untuk mendapatkan kebaikan dunia dan seisinya.
Shinobu sangat marah, terutama pada Sanemi yang sudah sejauh ini mempermainkan perasaan kakaknya sampai Kocho sulung kehilangan sinarnya.
“SHINAZUGAWA GENYA! JAWAB PERTANYAANKU. DIMANA ABANGMU BERADA?”
Shinobu Kocho memutuskan membuat langkah terobosan. Ia tidak bisa meraih Sanemi sama sekali, namun ia sebagai siswa peringkat parallel 1 di sekolah ini masih punya cara lain. Sanemi gak ada, Genyapun jadi. Pokoknya Shinobu akan melakukan apa saja demi kakaknya!
Siswa di kantin sudah ramai. Tontonan gratis Shinazugawa dan Kocho generasi kedua memperkeruh suasana.
Genya menelan ludah. Melirik ke kanan dan ke kiri mencari bantuan yang dapat menyelamatkan. Tanjiro dan Zenitsu sudah tumbang, tidak bisa lagi diandalkan.
“BERANI KAU MENGABAIKANKU.”
BRAAK!
Meja ditendang lagi dengan keras, menjatuhkan buku pelajaran dan alat tulis yang dipakai belajar.
Hari ini jum’at, weekend sebentar lagi dan semuanya bersiap menutup minggu tanpa tugas berarti. Apalagi minggu ujian segera tiba. Semua orang berusaha fokus belajar.
“Ma-maaf.. Kocho-senpai.. a—aku belum bisa mengatakan apa-apa..”
Genya sejak kemarin memang sudah diterror oleh Kocho bungsu perihal kelanjutan rencana mereka menjadi saudara ipar. Namun mengambangnya jawaban yang diberi Genya membuat Shinobu geregetan. Puncaknya hari ini pesannya tidak dibalas satupun, dan ancaman melabraknya pada tengah hari siang bolong di kantin yang ramai beneran diwujudkan.
“Apa ini? Aku tidak menyangka kalau Shinazugawa-sensei adalah seorang pengecut—”
“ABANGKU BUKAN PENGECUT!”
Shinobu terkejut. Zenitsu dan Tanjiro di lantai juga tak kalah kaget melihat Genya yang malu di depan perempuan itu bisa bersuara keras.
“Abangku bukan pengecut.. tolong jangan katakan hal-hal buruk tentang dia..”
Genya memejamkan mata. Setengah hati menyesal karena refleknya mengeluarkan suara keras kepada Kocho-senpai; satu hal yang selalu Sanemi tanamkan padanya seluruh adik laki-laki mereka untuk tidak bersikap kasar pada anak kecil dan perempuan.
Tapi Genya tidak mau menyesal jika itu untuk membela kakaknya. Berapa kalipun orang-orang menjelekkan Sanemi, jika itu masih terjangkau telinganya Genya tidak akan diam saja.
Sanemi yang kuat dan tangguh. Selalu bekerja keras melindungi Genya dan adik-adiknya. Memikirkan ia jatuh cinta dan akan menikah saja membuat seisi rumah banjir air mata. Tidak kebayang bagaimana jika sosok yang hangat dan kuat itu tidak ada lagi diantara mereka.
Genya jika boleh memilih, ia juga mau merengek seperti adik-adiknya yang menggelendot pada kaki Sanemi agar tidak pergi meninggalkan rumah seperti saat Sanemi berangkat kerja.
Beratnya melepas orang yang kau sayangi, seperti melepas separuh hatimu pergi.
Genya dan Shinobu sama-sama memahami itu. Jika mereka bisa, mereka ingin selamanya seperti ini saja. Kalau kakak mereka pergi, kemana lagi mereka harus bercerita, siapa yang akan memperhatikan mereka, siapa yang akan mencintai mereka sebegininya. Hati yang mereka punya itu, sekarang telah terbagi..
Baiklah, kesampingkan itu.
Gossip jelek ini harus selesai minggu ini. Mereka tidak boleh membiarkan ini berlarut-larut.
“S-senpai, aku mohon! Sampaikan ini pada Kocho-sensei untuk bertahan sedikit lagi! Sebentar lagi saja, aku mohon!” Genya mengatupkan kedua tangan di depan wajah dengan mata terpejam.
“Apa? Apa ini pesan dari abangmu yang sok keras itu?”
Jangan salahkan Shinobu. Ia punya alasan mengapa masih bersikap sedingin ini pada Shinazugawa.
Malam itu setelah privat prematurnya selesai, Tuan dan Nyonya Kocho tidak bisa tidak khawatir pada putri sulungnya yang cantik, cerdas serta berbakat. Melihat Kanae menangis, berarti ada sesuatu yang tidak sanggup ia kontrol telah terjadi. Bahwa ini berhubungan dengan sesuatu yang sangat berharga baginya. Kemudian ia sudah melakukan berbagai cara, namun hasil yang didapat telah membuatnya kecewa.
Sekarang, kedua orang tuanya bertanya-tanya. Benarkah sesuatu yang membuat Kanae putus asa begini berhubungan erat dengan guru privat yang mengajar matematika putri bungsu mereka? Apa karena itu Kanae tidak semangat menghadpai tamu-tamu tampan yang datang dari jauh?
Shinobu lihat sang ibu memeluknya. Ayah di ambang pintu memperhatikan Kanae menangis tersedu-sedu.
“Tidak, dia tidak pernah mengatakan apapun padaku." Genya menggeleng. "Tapi dari situasi yang sedang kami hadapi saat ini, abangku hanya butuh waktu sedikit lagi untuk membahagiakan kakakmu..”
Genya lalu menatapnya dengan penuh tekad. Shinobu tersentak kecil, ia merasakan hatinya bergetar sedikit.
“Tolong.. bersabarlah sedikit lagi Kocho-senpai.. Beri aniki ku kesempatan..”
Kesempatan, huh?
PRIIIIITTT
“KOCHO SHINOBU!”
Tiupan peluit dari mulut Tomioka-sensei menyadarkan lamunan semua orang. “Cepat masuk kelas! Jangan buat ribut di kantin!”
Dengan cepat kerumunan bubar, Shinobu mendelik malas, menurunkan kakinya dari atas meja kafetaria dan meninggalkan Shinazugawa yang lebih muda dengan tatapan beracun berbunyi ‘Ini belum selesai’, membawa Genya kembali bergidik ngeri.
“Maaf Sensei..” Kocho Shinobu sudah kembali ke setelan defaultnya.
“Ke ruang guru setelah ini. Kalian juga, Shinazugawa Genya, Agatsuma, Kamado,”
“HEGH?”
“Kenapa kami juga sensei?” Zenitsu protes.
“Tentu saja karena rambutmu kuning, dan Kamado tidak mau melepas anting-antingnya,”
Tanjiro dan Zenitsu membatu. Genya tertunduk dan merapikan alat tulisnya yang berhamburan ke lantai. Kemudian mereka bertiga merapikan kembali kursi dan meja yang tadi ditendang jatuh oleh Shinobu.
“Sensei, aku izin ke ruanganmu setelah mengembalikan buku ini ke perpustakaan. Permisi..”
Tomioka-sensei dengan itu mengangguk, kemudian Genya pergi dengan berlari.
Tinggalah Tanjiro, Zenitsu dan Tomioka-sensei di tengah kantin yang mulai sepi.
“Ano.. Tomioka-sensei.”
“Hm?”
Tapi Tanjiro merefleksi. Tidak bisa tidak kepikiran kejadian yang tadi.
“Apa anda tahu sesuatu, tentang kebenaran hubungan Shinazugawa-sensei dan Kocho-sensei?” biar bagaimanapun, sulit mengabaikan gossip yang setiap hari kau dengar di kelas.
Tomioka-sensei menatapnya dengan datar. Zenitsu sudah khawatir mereka berdua akan disuruh lari keliling lapangan dan berencana memukul Tanjiro jika itu kejadian.
“Apa itu sesuatu hal yang penting?”
“TENTU SAJA..! KALAU KOCHO-SENSEI BETULAN BERSAMA PRIA GARANG ITU, HATIKU DAN SERIBU SISWA LAKI-LAKI DISINI POTEK DUA..!”
Zenitsu menjawab dengan berapi-api.
“ZENITSU! TIDAK BOLEH BERTERIAK PADA TOMIOKA-SENSEI..! CEPAT MINTA MAAF PADA SENSEI! Maaf sensei, maaf ..”
Tanjiro marah dan membungkuk berkali-kali sambil menyuruh Zenitsu meminta maaf juga.
Tomioka terdiam menatap mereka berdua.
Bukan salah mereka yang menjalani pubertas untuk tertarik pada topik seperti ini. Biar bagaimanapun, guru-guru di Kimetsu Gakuen memegang peran penting memberikan pengajaran, bahkan tentang cinta dan hubungan dua insan manusia.
Tomioka Giyuu menatap langit-langit sejenak. Menimbang jawaban seperti apa yang sebaiknya diberikan pada anak-anak seperti Tanjiro dan Zenitsu.
Karena pada usia dewasa seperti Shinazugawa, Kocho, bahkan dirinya sendiri, cinta tidaklah sesedarhana memberi coklat valentine. Cinta pada masa mereka adalah tentang pencarian jati diri. Tentang melanjutkan mimpi dan masa depan, serta bersiap menghadapi tantangan yang belum pernah ditemukan. Mencintai artinya siap menerima kurang, serta melengkapi kekurangan. Mencintai artinya menjadi utuh.
Dahulu sekali, katanya semua jiwa manusia diciptakan bersama.
Ada belahan jiwa yang sejak dulu sudah beresonansi berdua, kemudian karena lahir ke dunia mereka terpisah, akhirnya tumbuh dewasa, dan saling mencari, sampai akhirnya menemukan satu sama lain. Mereka tidak punya ingatan, tapi mereka mengenali tiap getaran.
Walau artinya, kebersamaan mereka meninggalkan jiwa lain yang lahir dan tumbuh besar bersama mereka.
Ayah, Ibu, adik kakak, semua juga mencintaimu. Tapi cinta yang ini bermakna lain dari itu. Ketidaklengkapan dan kekosongan jiwa, tidak ada siapapun juga yang dapat mengisinya, selain dia yang memang ditakdirkan buatmu.
Betapa sedikitnya orang-orang beruntung yang saling menemukan.
“Kalau mereka tidak bersama, kalian akan bahagia?” Tomioka Giyuu menatap Zenitsu dengan datar seperti permukaan air yang tenang.
“Pertanyaan macam apa itu—”
“Jangan takut Agatsuma. Kau juga akan menemukan belahan jiwamu suatu hari nanti.” Setidaknya itulah yang diyakini oleh Giyuu.
Sebagaimana Tsutako-nee chan yang menikah dan meninggalkannya. Giyuu tidak bisa tidak ingin mendorong orang-orang yang ia sayangi bahagia. Mereka sudah setengah mati mencari sampai akhirnya bertemu belahan hati. Walau sebagai adik Giyuu masih sangat membutuhkan Tsutako, membutuhkan masakannya, membutuhkan kehadirannya apalagi ditengah orangtua yang sudah tidak ada, bukan haknya menghalangi sang kakak untuk tidak pergi bersama dengan pria yang ia cinta.
Jika Shinazugawa dan Kocho belum bisa bersama saat ini, pasti mereka akan bersatu pada suatu hari nanti.
“Sebelum itu, ganti dulu warna rambutmu jadi hitam.”
.
Kocho Shinobu berhenti melangkah. Ia berada beberapa meter dari kelasnya setelah panggilan dari Tomioka-sensei.
Percakapannya dengan Genya di kantin siang tadi kembali muncul mengahantui pikirannya.
“Tolong.. bersabarlah sedikit lagi Kocho-senpai.. Beri aniki ku kesempatan..”
Shinobu mengangkat kepala. Bicara soal kesempatan, ayahnya semalam berkata begitu juga.
"Maukah Kanae memberikan Douma-kun kesempatan?”
Shinobu terbelalak. Kanae terlampau lelah tidak sanggup menjawab.
“Jika ada seorang pria baik datang, lalu ia berniat baik untuk meminangmu, maka sebaiknya jangan ditolak bukan?”
“Benar kata ibumu Kanae. Kalau niat baik itu ditolak, nanti jodohmu jauh lagi..”
Baik Shinobu dan Kanae sama-sama tidak menjawab. Maka dengan itu kedua orangtuanya mengatur satu pertemuan lagi untuk Kanae dan Douma mendekatkan diri. Barangkali, senyum dari pria bermata pelangi bisa mengahapus sedikit kesepiannya.
Akhirnya Shinobu menghela nafas. Lalu menunduk mengabaikan pikirannya seolah menjawab Genya dengan gumam pelan dari bibirnya.
“Tanpa aku beritahupun, Kakakku sudah percaya padanya lebih dari itu.”
Shinobu hanya khawatir.. saat Sanemi kembali, semuanya sudah terlambat.
Notes:
Chapter besok kita ketemu Abang ganteng sanemiii ✨✨