Chapter 1: just one night
Chapter Text
Hyuntak baru saja menyelesaikan pekerjaannya. Semua anak-anak SD itu memberikan dia ucapan terimakasih lalu pamit meninggalkan Dojang. Beberapa anak SD laki-laki meminta tos kepada sang sabam sambil memberi tau hyuntak kalau dia sabam favoritnya. Hyuntak selalu merasa hangat dan tak berhenti tersenyum setiap melihat anak-anak ini. Bahkan beberapa orangtua juga sering memujinya dan jika mereka sedang sangat berbaik hati hyuntak kerap mendapatkan sangu seperti makanan atau minuman yang terkadang hyuntak bingung menghabiskannya.
Ketua sabam datang dari belakang dan menepuk pundaknya. Hyuntak yang sedikit terkejut dengan cepat berbalik badan.
“Jadi kamu ikut turnamen nggak?” tanya ketua sabam, atau hyuntak sering panggil dengan sabam Jang.
Berhari-hari sabam jang menunggu kepastian hyuntak terkait turnamen taekwondo itu. Hyuntak meminta waktu seminggu sejak pertama kali ditawari ikut turnamen. Sampai sekarang pun sejujurnya hyuntak belum tau harus jawab apa. Entah apa yang membuatnya ragu menjawab. Tapi akhir-akhir ini hyuntak merasa tidak percaya diri dengan dirinya sendiri. Biasa, konflik batin yang tak kunjung usai memang selalu merusak mimpinya.
“Nggak tau, sabam. Sabam udah tanya anak-anak yang lain?”
“Yang saya mau itu kamu, kok. Kamu itu bisa, hyuntak. Kamu ini kenapa? Saya udah tunggu seminggu ternyata jawabannya gitu doang. Gak jelas lagi.” jawab sabam jang dengan raut wajah penuh kekecewaan bercampur penasaran.
Hyuntak, sebagai orang yang penuh pertanyaan dalam dirinya sendiri, termenung. Dia menatap kedua kakinya. “Maaf, sabam.”
“Ayo, dong, tak!” sabam jang menepuk pundaknya kedua kali dan memanggilnya dengan panggilan akrab yang Hyuntak baru dengar sekarang, “kamu secara fisik oke, skill luar biasa, pengalaman turnamen juga dari kamu SMP udah banyak. Mumpung kamu masih 25. Kamu tau kan jadi atlet itu ada umurnya? Saya cuma mau anak didik saya bersinar.”
Belum sempat hyuntak merespon sabam jang, beliau sudah berjalan menjauhinya dan masuk ke kantornya. Hyuntak setengah merasa bersalah. Karena separuhnya lagi dia merasa tidak suka dipaksa untuk melakukan sesuatu, apalagi sesuatu itu hal yang besar dan serius. Itu terlalu banyak tekanan baginya. Tak peduli kalau sabam jang adalah orang yang sudah memperlakukannya dengan baik semenjak hyuntak memutuskan kursus sampai dia sudah menjadi seorang pelatih di tempat yang sama.
Hyuntak memutuskan mampir ke mini market saat berjalan pulang. Dia mengisi perutnya yang kosong karena ternyata mengurus anak-anak SD selain membuatnya bahagia juga membuat perutnya menjadi kosong. Dia duduk di pinggir menghadap kaca, menyantap mie instan kuah pedas sambil melihat keluar. Menurutnya ini hal yang paling menyenangkan untuk dilakukan saat dia stress sekaligus lapar. Semenjak dia tinggal sendiri di seoul, menemukan hal yang menyenangkan dan murah untuk diri sendiri menjadi sulit. Terkadang–di akhir bulan–dia selalu merindukan duit orangtuanya.
Dia menenggak seluruh kuah pedas itu sampai benar-benar habis dan tidak lupa dengan sekaleng minuman soda yang dibersihkan isinya sampai dia bisa meremuk kalengnya. Dia melihat pemandangan di depannya. Orang-orang berlalu-lalang, beberapa berjalan lebih cepat seperti sangat sibuk, beberapa hanya berdiri dengan ponselnya sambil menunggu. Ada juga yang berdiri tepat di depan kaca minimarket sambil merokok. Hyuntak benci rokok, itu mengingatkannya dengan seseorang. Dia juga benci karena dia sendiri bukan perokok dan dia seorang atlet sehingga dia selalu berusaha menjaga tubuhnya dengan baik.
Tanpa dia sadari dia memperhatikan perokok itu cukup lama. Seakan-akan dunia sedang ingin menertawakannya, perokok itu menengok ke belakang lalu mengalihkan pandangannya ke arahnya sehingga mereka bertukar pandang.
Hyuntak hampir terjatuh dari kursinya. Wajah itu, sesuatu yang hyuntak kira tidak akan pernah dia lihat lagi. “Geum Seongje?” begitu nama itu keluar dari mulutnya, orang yang di balik kaca langsung memalingkan wajahnya.
Itu benar-benar geum seongje. Itulah sebabnya siluet orang itu dari belakang terlihat tidak asing. Tinggi badan dan lebar bahu itu tidak berubah. Yang membuatnya tidak yakin adalah ukuran tubuh itu tiap kali dia menarik jaket hitamnya dan memperjelas lekukan tubuhnya. Dia terlihat sangat kurus, tidak seperti seongje yang dulu.
Hyuntak memutuskan untuk keluar mini market dengan sebuah kantung plastik berisi gimbab segitiga rasa tuna mayo dan sebotol air mineral. Melihat seongje masih di posisi yang sama dan kegiatan yang sama, hyuntak menghampirinya. Saat seongje merasakan kehadirannya dia dengan cepat membuang rokok itu ke bawah dan menginjaknya. Seakan-akan dia masih ingat hyuntak benci melihat seongje merokok. Melihat itu hanya membuat hyuntak sedih. Semakin sedih saat hyuntak melihat bagaimana kaosnya yang belel itu memperlihatkan kalivikulanya yang sangat menonjol.
“Ngapain lu?” tanya hyuntak, tidak ramah sama sekali.
Seongje hanya memalingkan pandangannya. Dia tampak seperti menggenggam sesuatu di balik kantong jaketnya.
“Ini. dimakan.” tidak peduli kalau seongje tidak menjawab, dia tetap menyodorkan kantong plastik itu kepada seongje. Namun seongje hanya meliriknya. “Nggak mau? Yaudah.”
Sebelum hyuntak pergi, seongje merebut kantong plastik itu dari tangan hyuntak. Seongje mengecek isinya. “Makasih.”
“Gak nyangka ketemu lu disini.”
Seongje tidak terlalu mendengar itu. Dia sibuk membuka bungkus gimbab segitiga dan melahapnya.
“Apa kabar?”
Seongje mengangkat kepalanya kepada hyuntak. Seongje tertawa. “Lu masih nanya gua apa kabar? Setelah lu beliin ini karena lu kasian kan sama gue? Jangan pura-pura bego.”
“Lu gak berubah sama sekali ya.” ujar hyuntak penuh rasa heran. “Makan, je. Jangan ngerokok terus.”
“Peduli amat.”
“Ya, mumpung gua ngeliat lu disini, kan? Dari pada gua ngeliat lu mati di pinggir jalan.”
Seongje menghabiskan kimbab itu dengan cepat. Melihat pakaian hyuntak, seongje curiga. “lu masih main taekwondo?”
“Masih. Pelatihnya sih.” hyuntak tertawa kecil mengingat seongje yang selalu menyebutnya dengan ‘bermain’ saat merujuk ke taekwondo.
“Wow.”
“Lu gemana?”
Seongje mengangkat kedua bahunya.
“Lu nganggur? Terus lu masih sama orangtua lu?”
Seongje menggelengkan kepalanya.
“Terus? Gemana lu hidup?” hyuntak benar-benar dibuat seongje heran. Di dunia seperti ini ada orang yang hidup seperti ini dan belum mati kelaparan. “Jangan bilang lu judi.”
“Diem, deh. Lu gak tau apa-apa.” seongje kali ini memutar tubuhnya agar benar-benar menghadap ke hyuntak yang alisnya sudah terangkat satu. “Lagian kalo gue judi urusan lu apa?”
Hyuntak mengaku kalah. Walaupun sebenarnya perasaannya hancur mendengar seongje mengatakan itu. Tentu saja itu menjadi urusannya. Karena di dalam hatinya, bagian kecil dari seongje tidak pernah hilang. Bagaimana pun juga dulu mereka pernah bersama dan hyuntak masih belum menemukan orang lain setelah mereka berpisah.
“Terus lu tinggal dimana?”
“Dimana kek. Yang dibolehin.”
Hati hyuntak seperti turun ke perut. Tidak mungkin hidup seongje sehancur ini. Dulu dia hidup penuh rangkulan. Orangtuanya juga tajir melintir. Apa yang terjadi dengan mereka? Hyuntak benar-benar tidak tau apa-apa semenjak mereka berpisah dan memblokir segalanya soal seongje di sosial media.
“Udah ada rencana malem ini tidur dimana?” tanya hyuntak, sedikit lebih lembut.
Seongje menggeleng.
“Kos gue model yang flat gitu, ada ruang tamunya luas. Lu bisa disitu malem ini. kalo mau.”
Seperti urusan taekwondonya tidak cukup membuatnya pusing hari ini, seongje datang dengan segudang masalah baru untuknya. Hyuntak pikir, dari pada dia meninggalkan seongje disini dan terus kepikiran soal bagaimana seongje akan tidur malam ini dia memilih untuk menawarkannya tempat tinggal sementara.
Sementara. Hyuntak yakin hanya untuk sementara saja. Malam ini saja.
Chapter 2: just one more night
Chapter Text
Kos Hyuntak tak jauh dari tempat taekwondo. Hanya 15 menit jika berjalan kaki. Dia memang mencari kosnya khusus untuk bekerja disana agar tidak sering terburu-buru dan takut telat. Namun, karena seongje yang mengekor di belakangnya membuat berjalan 5 menit terasa seperti 15 menit. Artinya perjalanan menuju kosnya akan terasa seperti 45 menit. Entah kenapa rasanya begitu. Hatinya juga berdegup kencang. Seketika hyuntak menyesali keputusannya sendiri.
Mereka berjalan menyusuri gang-gang kecil yang tetap ramai karena banyak cafe. Tempat ini memang asik saat malam. Kalau menurut kebanyakan orang ini tidak nyaman karena berisik, menurut hyuntak ini justru asik karena dia jadi tidak takut saat pulang malam-malam. Berada di antara anak-anak muda juga membuatnya tidak merasa terlalu tua diumurnya yang segitu.
Setelah perjalanan panjang yang terasa hampir satu jam mereka tiba di depan kos, hyuntak berhenti dan berbalik badan ke seongje yang sudah menatapnya. Hyuntak memalingkan wajahnya sebelum berbicara, “jangan liat gue kaya gitu.”
“Kaya gemana?” tanya seongje, benar-benar bingung.
Hyuntak mengabaikannya, “kos gua no-smoking, be-te-we. Kalo mau ngerokok disana aja.” kata hyuntak sambil menunjuk ke sebuah area kecil dekat tempat sampah besar.
Seongje hanya mengangkat alisnya saat melihat tempat itu. Kotor, banyak sampah yang belum diangkut, dan kemungkinan banyak serangga. Dia tidak peduli. Rokok yang tadi dia buang itu rokok terakhirnya.
Hyuntak melihat kearah seongje. Sejujurnya dia tidak tega karena area pembuangan itu benar-benar tidak layak. Tetapi hyuntak juga tidak bisa melakukan apa-apa. Lagi pula perokok itu tidak seharusnya diberi tempat. Atau mungkin hyuntak hanya mencoba mengabaikan perasaannya sendiri dengan berfikir begitu.
Hyuntak naik ke atas. Kamarnya di lantai 3, lantai paling atas bangunan kos nya. Jelas dia mendapat keuntungan dengan memiliki kamar paling atas. Karena begitu sampai lantai 3, hanya ada dua pintu kamar dan yang terisi hanya 1, kamar hyuntak sendiri. Sehingga lantai ini sepi dan tidak perlu takut berpapasan dengan orang asing dengan tidak sengaja. Kamarnya juga lebih luas dari yang di lantai bawah. Bahkan sangat leluasa sampai hyuntak bisa berlatih taekwondo di kamarnya. Dia juga memiliki berapa alat-alat olahraga. Hyuntak pikir dengan harga yang tidak sampai satu juta per bulan, jelas ini sangat sepadan. Yang dulu membuat hyuntak semakin yakin memilih menyewa kamar ini adalah karena ada balkon yang membuka pandangannya ke kota seoul dan gedung-gedung tinggi. Menurutnya ini juga tempat terbaik di seluruh seoul.
Mulut seongje membentuk huruf O saat melihat isi kos hyuntak. Dia tidak menyangka mantan pacarnya yang dulu sering dia belikan ini itu akan jadi sesukses ini. Seongje terdiam di balik pintu untuk beberapa saat sebelum hyuntak memanggilnya untuk mandi.
“Lu bau banget. Gak mandi berapa hari, sih?” omel hyutak sambil menyodorkan sebuah handuk dan sikar gigi. “Sabun, shampoo, pake aja.”
Seongje hanya diam.
“Diliatin doang gabakal bikin lu wangi. Cepet mandi!”
“Bajunya?”
“Nanti gua anter. Lu mandi dulu aja.”
Selesai seongje mandi, hyuntak menyuruhnya duduk di sofa dengan TV yang menyala. Seperti menyuruh anak kecil untuk diam. Sementara hyuntak di dapur sibuk dengan nasi gorengnya. Asap dari wajan itu mengepul dan terus tersedot oleh exhaust fan. Hyuntak sampai batu-batuk sendiri. Dia memang bukan seorang pemasak, hanya melakukan ini saat benar-benar lapar atau sedang berhemat.
Seongje yang bisa mencium masakan itu dari ruang TV jadi penasaran. Dia berjalan ke arah dapur dan melihat kondisi hyuntak yang sangat berkeringat walau hanya memasak nasi goreng. Itu membuat seongje tertawa.
Wajah hyuntak memerah, “ketawa lu? abisin ya ini nasi goreng. Gua buatin susah-susah.”
“Sebanyak itu buat gue doang?” seongje menunjuk sepiring penuh nasi goreng di tangan hyuntak dengan topping telur mata sapi itu. “Kok lu baik banget?”
“Orang tuh ‘makasih’ aja. Gak usah nanya kebaikan orang lain. Gua gak ngeracunin lu kok. Gua juga ngasih lu makan biar lu gak mati di kos gua terus gua jadi pembunuhnya.” hyuntak menyerocos sambil berjalan ke ruang TV. seongje diam-diam tersenyum di belakangnya. Hyuntak meletakkan piring itu diatas meja kayu yang kecil di depan sofa.
Saat melihat seongje yang berdiri di seberangnya, hyuntak menyadari kalau seongje kini terlihat seperti dirinya dengan kaos dan celana pendek miliknya. Membuatnya merasa geli di perutnya. Entah apa yang dia telah lakukan, dia tidak ingin melihat ini lebih lama lagi. Dia bersumpah besok dia akan mengusir seongje dari kosnya.
Tanpa melihat ke arah seongje lagi, hyuntak masuk ke kamar mandi.
Hyuntak selesai mandi dengan seongje yang masih setengah jalan menghabiskan nasi gorengnya. TV nya juga masih menyala namun sepertinya seongje tidak menaruh banyak perhatian pada acaranya karena dia terlihat fokus pada layar ponselnya. Entah apa yang dia lihat sampai tersenyum-senyum sendiri. Saat hyuntak menaruh baju kotornya di keranjang baju, hyuntak jadi teringat baju kotor seongje.
“Baju kotor lu dimana?”
Seongje mendongak dari ponselnya, melihat hyuntak separuh telanjang dan hanya dengan sehelai handuk melilit pinggang sampai betisnya. Seongje terkecoh sesaat sebelum menjawab, “di mesin cuci.” jawabnya singkat.
“Mesin cuci?!” seongje terkejut dan langsung berlari ke mesin cuci di dapur. Dia membuka mesin cuci front load itu dan benar saja. Baju bau milik seongje itu ada di dalam. Seongje tidak membiasakan dirinya langsung menaruh baju kotor di dalam mesin cuci karena takut mesin cucinya jadi bau. Dia juga tipe yang memilah baju yang akan dicuci. Melihat ini dia sangat geram. Namun dia mencoba mengatur amarahnya dan memilih untuk melakukan yang terbaik.
Mencuci baju seongje.
Sambil menggerutu dan menyumpah-serapahi seongje di dapur dia menuangkan deterjen dan pewangi. Padahal cuma ada 4 helai pakaian namun dia jadi harus mencucinya terpisah dengan yang lain karena bajunya benar-benar bau dan dia tidak ingin mencampurnya dengan baju yang lain.
“Kalo udah selesai makannya, cuci piring terus itu baju lu jemur sendiri di balkon, ya.”
Hyuntak langsung naik ke kasurnya dan menarik selimutnya. Dan sebelum dia terlelap, dia menyempatkan untuk melempar bantal ke arah seongje di depan TV.
“Matiin juga TV nya. Hemat listrik!”
Dia pikir dengan membawa seongje ke kos nya dia bisa mengurangi beban pikirannya. Dia benar-benar keliru.
***
Pagi itu hyuntak terbangun. Amarah memenuhi seluruh inci tubuhnya. Piring kotor. Baju basah. Seongje yang masih tertidur di atas sofa dengan posisi yang, aduh, bahkan gotak sulit menjelaskannya. Sangat kacau. Bantal berserakan di bawah. Ponselnya tergeletak di lantai dengan video yang terus terulang-ulang, volume hampir penuh. Ini membuatnya sangat risih. Rasanya dia sudah tidak bisa membendungnya lagi.
Dia menuang segelas air ke kepala seongje yang terbenam di sofa sehingga air itu jatuh di rambut seongje.
Seongje terbangun, terkejut setengah mati. Dia langsung mendaratkan kepalan tangannya ke pipi kiri hyuntak.
“Ah!” hyuntak teriak.
Mendengar itu seongje semakin terbangun. Dia mulai mengumpulkan nyawa dan menyadari apa yang terjadi. Dia baru saja meninju hyuntak. Panik. Jantungnya berdebar. Ini seperti saat bangun tidur pagi-pagi di depan toko kosong dan langsung diusir pemiliknya.
Hyuntak dengan wajah yang memerah, alisnya berkerut tajam. Dikepalkan tangan kanannya yang terlatih itu. Dia balik meninju seongje tepat di hidungnya.
Darah itu mulai mengalir keluar dari hidung seongje. “Ah! Sialan! Lu kenapa sih?”
“Lu juga kenapa? Hah? Piring gak di cuci! Baju gak di jemur! Bau tuh baju lu! Mesin cuci gua bau!” hyuntak marah-marah di wajah seongje yang berdarah. Hyuntak, dengan sedikit rasa bersalah, menarik kerah kaos yang dikenakan seongje dan membawanya paksa ke tempat cuci piring. Dia mengambil tisu yang dibasuh sedikit air dan mengelap darah yang menetes itu dari wajah seongje perlahan.
Hyuntak benar-benar tidak tau apa yang dia lakukan ke seongje. Seongje melihat wajahnya dari dekat. Melihat bintik coklat alami pada pipi hyuntak. Dia juga melihat mata tulus hyuntak yang fokus ke hidungnya sehingga tidak menyadari tatapannya. Semua itu masih sama. Namun seongje dengan cepat memalingkan pandangannya.
“Kalo lu gak tulus nerima gue disini mending lu gak usah ajak gue kesini, tak.”
“Awalnya gue tulus.” jawab hyuntak sambil menekan lembut hidung seongje agar darahnya mengalir ke luar dan jatuh ke wastafel, “tapi lu kayak gak tau diri.”
“Ya gue lupa. maaf.”
“Ya itu gak bisa jadi alasan.” mengabaikan kata maaf dari seongje, hyuntak pergi sebentar untuk mengambil es batu di kulkas dan membalutnya dengan kain bersih. Dia mengompres hidung seongje. “Udah. pokoknya abis ini lu keluar. Cari kerja kek. Cari duit. Biar lu bisa nyewa kos.”
Seongje hanya diam. Saat hyuntak mengoper kompresan itu ke seongje, seongje menerimanya dan mengompres hidungnya sendiri. Seongje menyadari pipi kiri hyuntak yang sedikit lebam namun dia diam saja karena sepertinya hyuntak tidak terlalu merasakan itu. Walaupun seongje merasa maaf kepada hyuntak.
Hyuntak pergi ke ruang TV, membereskan sofa dan lantai yang becek karena ulahnya sendiri. Dia juga sekalian membereskan semuanya. Piring kotor bekas seongje dia bawa ke tempat cuci piring lalu dia terpaksa mencucikannya untuk seongje yang masih berdiri kaku dan mengompres hidungnya sendiri sambil menyandar ke meja dapur. Dia juga menjemur baju seongje di balkon.
Saat sedang menjemur jaket seongje, sesuatu jatuh ke lantai. Beberapa lembar uang receh dan sebungkus permen karet mint juga sebuah korek. Hyuntak kaget dia mencuci sebuah korek. Untung saja tidak kenapa-napa. Kenapa juga seongje tidak mengeluarkan ini semua terlebih dahulu sebelum memasukkannya ke mesin cuci? Bodoh sekali.
“Ini ada di jaket.” hyuntak meletakkan itu di depan seongje yang kini terduduk di sofa.
Seongje hanya mengangguk. Tidak tau harus menyimpannya dimana.
“Kok ada permen karet, tapi gak ada rokok? Lagi nyoba berhenti?” hyuntak bertanya, pura-pura cuek.
“Itu buat nahan laper.”
Mendengar itu, hati hyuntak rasanya remuk berkeping-keping. Seongje menjawabnya dengan sangat santai. Seakan-akan itu bukan hal yang serius. Seakan-akan seongje sudah terbiasa hidup seperti itu. Seakan-akan hidup seperti itu tidak akan membunuhnya. Seakan-akan seongje tidak peduli jika dia tergeletak tak bernyawa di jalan, sendirian, kelaparan.
Apa yang mantan pacarnya lakukan sampai dia menjadi seperti ini? Ini benar-benar tidak seperti seongje yang dulu hyuntak kenal.
‘Oh,” hyuntak jawab dengan singkat seakan-akan hatinya tidak baru saja hancur, “Um..nanti gua berangkat kerja jam setengah 1. Lu boleh bareng keluarnya atau sebelum gua berangkat juga, silahkan. Sama, itu bajunya,” hyuntak berfikir sejenak melihat baju yang seongje pakai.
Dilematis. Itu bajunya, kalau dia berikan ke seongje maka seongje akan memilikinya dan bayang-bayangnya akan tetap bersama seongje. Tapi, kalau tidak dia berikan seongje tidak punya baju karena bajunya masih basah di jemuran, “Karena gua orang baik, lu pake dulu aja. Besok lu kesini lagi buat ambil baju lu terus lu balikin itu ke gue.”
Wajah seongje agak menunjukkan kekecewaan. Namun dia hanya mengangguk, pasrah.
Masih pagi, sudah ada saja masalah. Ini sangat di luar rutinitasnya. Hyuntak benar-benar merasa stress dengan seluruh tekanan ini. Ditambah masalah turnamen. Ya ampun, sabam Jang. hyuntak benar-benar melupakan beliau. Dia bahkan belum sempat memikirkan lagi soal keputusannya.
Di benaknya dia benar-benar tidak percaya diri untuk ikut turnamen. Kehilangan kepercayaan diri membuatnya mundur dari banyak kesempatan. Namun itu juga menyelamatkannya dari tatapan kekecewaan orang-orang. Hyuntak hanya ingin hidup normal, melatih taekwondo, dapat gaji, dan menikmati gaji. Secinta-cintanya dia pada taekwondo, mengikuti turnamen sudah bukan semangatnya lagi. Dia paham betul umur atlet tidak panjang. Namun, melakukan ini dari SMP dan menjuarai turnamen hampir belasan kali membuatnya merasa lelah. Dia lelah selalu membawa ekspektasi orang-orang di sekitarnya. Masa mudanya sudah dia habiskan dengan ambisi pelatih dan orangtuanya. Dia sudah kenyang dengan itu semua. Kini dia benar-benar hanya ingin kehidupan normal.
Siang itu hyuntak sudah siap dengan celana taekwondo dan kos biru elektriknya. Dia juga sudah menenteng ranselnya dan berjalan keluar pintu. Tentu saja dengan seongje di belakangnya. Mereka keluar bersamaan. Dengan seongje yang masih mengenakan pakaian hyuntak. Seongje masih tidak percaya hyuntak tidak memperbolehkannya menginap untuk satu malam lagi. Dia benar-benar tidak tau harus kemana setelah ini selain ke warung dan membeli rokok ketengan.
“Tak,” panggil seongje pelan. Mendapatkan hyuntak yang menjawab dengan ‘hm’. “Kalo gua gak nemu tempat lagi gemana?”
“Pulang, je. Orangtua pasti nyariin.”
“Satu malem lagi, gemana tak? Gua janji abis itu gua pergi.”
Hyuntak menghela nafas panjang, “gua gak tau gua bisa pegang kata-kata lu apa nggak.” hyuntak memalingkan pandangannya. Terlalu muak untuk melihat wajah seongje yang kasihan. “Gua juga gak ada waktu buat bahas ini sekarang.”
“Terus gua gemana?”
“Ya gue gak tau, je.” hyuntak melihatnya lagi, tidak ada pilihan. “Kenapa lu tanya ke gue? Gua bukan orangtua lu.”
Kata-kata itu tajam, menusuk seongje.
“Dan jangan coba-coba ungkit masa lalu karena gua udah lupain itu semua.” hyuntak mengatakan itu sebelum seongje mencoba membuatnya bodoh dan merasa bersalah dengan kata-katanya. Masa lalu ada musuh terbesar hyuntak. Khususnya masa lalu di bagian dimana ada geum seongje-nya.
Sekali lagi itu menusuk seongje.
Seongje masih mengingat semuanya. Seongje bahkan masih tidak percaya semesta membuatnya bertemu dengan cinta dari masa lalunya. Selama ini seongje selalu mencari hyuntak. Berharap di suatu malam yang sunyi hyuntak akan datang dan menyelamatinya dari keterpurukannya. Seongje benar-benar sedang jatuh. Dulu hanya hyuntak yang bisa membangkitkannya. Hanya hyuntak yang bisa menolongnya. Dia menganggap hyuntak adalah kompasnya. Begitu semua ini terjadi seongje merasa sedang bermimpi dan seongje pikir dia tidak ingin terbangun dari mimpi ini.
***
Hyuntak tiba di tempat taekwondo dengan wajah yang terus menunduk. Ditambah hari ini dia mengajar anak SMP. anak-anak baru puber yang jauh lebih sulit diatur. Ada yang sering bolos, ada yang datang terlambat, ada yang hanya duduk selama latihan. Melebih-lebihi anak SD. hyuntak harap hari ini emosinya tidak meledak dan tidak menendang anak-anak itu.
Dia absen di kantor sabam Jang. tentu sabam Jang langsung memanggilnya dan mengeluarkan kalimat yang diluar dugaannya. Sabam jang tidak lagi bertanya, tidak lagi menunggu. Sabam jang langsung berkata, “kamu sudah saya daftarkan. Persiapkan diri kamu, latihan dengan saya tiap hari sebelum mulai mengajar anak-anak. Saya tidak mau mendengar protes. Saya yakin kamu bisa.”
Hyuntak tidak bisa berkata-kata lagi. Dia menjadi gagu. Dia keluar kantor tanpa meninggalkan sepatah kata pun kepada sabam Jang. Humin, seorang pelatih lain menghampirinya saat melihat wajah kusut Hyuntak.
“Lu kenapa?”
“Sabam udah daftarin gue buat turnamen. Kenapa gak lu aja sih?”
“Pengalaman lu lebih banyak kali dari pada gue.”
“Ah, anjir.”
Kelas sore itu berjalan lancar. Anak-anak SMP giat berlatih. Entah apa yang merasuki mereka. Mungkin sabam Jang akhirnya menegur mereka dan orangtuanya. Untuk sesaat hyuntak melupakan semuanya dan hanya fokus pada anak-anak. Melupakan turnamen. Melupakan sabam Jang. Melupakan tagihan listriknya. Melupakan Seongje. Ah, Seongje. Sebenarnya tidak sepenuhnya dia melupakan mantannya itu.
Dia benar-benar sudah melupakan seongje semenjak dia masuk kuliah. Dia bahkan tidak jarang kencan singkat dengan teman kuliahnya untuk mencari yang baru. Tapi, namanya kencan singkat, itu tidak pernah meninggalkan apa-apa di hati seongje. Namun berkat semua kencan itu hyuntak jadi mulai benar-benar melupakan seongje. Sampai kemarin malam, dia dibuat semesta untuk mengingatnya lagi. Bahkan tidak berhenti disana. Dia dibuatnya melihat lagi sosok mantan yang dulu pernah membuatnya nangis tiga hari dua malam. Namun kali ini seongje sungguh berbeda. Mungkin hanya di kepalanya saja kalau seongje tetap orang yang sama. Tapi tiap kali hyuntak melihat matanya, seongje seperti bukan seongje yang dulu. Seongje yang sekarang seperti tidak akan–
“Sabam! Kaki jihoon kekilir!” teriakan seorang anak membuatnya terbangun dari lamunannya.
Saat hari mulai gelap, hyuntak sibuk mondar mandir di rumah sakit. Dia masih menunggu wali sang murid sambil terus mencoba mengubungi nomor wali anak itu. Di sisi lain sabam jang sibuk mengurus administrasi.
“Sepertinya orangtuanya sibuk, sabam.” kata hyuntak dengan kecewa.
“Yasudah. Kamu pulang saja. Biar saya yang urus.”
Hyuntak merasa bersalah. Dia lengang. Anak itu terkilir karena dia menyepelekan anak-anak. Isi kepalanya membuatnya terkecoh. Hyuntak ingin secara langsung bertemu walinya dan meminta maaf. Tetapi sabam jang menghentikannya dan memaksanya untuk pulang.
Hyuntak pulang dengan rasa terpaksa. Dia tidak bisa banyak melawan. Betapa hari yang berat. Untungnya dia tidak akan melihat seongje. Ah, seongje lagi seongje lagi. Persetan anak itu sekarang dimana. Hyuntak ingin tidur nyenyak malam ini.
Begitu sampai di depan kos dia langsung dikecewakan dengan kehendak semesta. Di dekat tempat sampah itu seongje berjongkok sambil menghisap rokoknya dan memainkan ponselnya. Asap itu mengepul di wajahnya sebelum menghilang dan menampakkan kembali wajah bodohnya. Hyuntak benar-benar frustasi. Dia pikir seongje belum melihatnya saat dia berjalan masuk kos dan mencoba mengabaikannya. Dia tidak ingin berurusan dengan anak itu untuk kedua kalinya sama sekali. Tidak sampai suara itu memanggilnya.
“Hyuntak!” langkah seongje terdengar mendekat, mengejar, sebelum hyuntak naik tangga. Seongje meraih pergelangan tangan hyuntak, “Satu malem lagi. Gua janji! Besok gua pergi dan kita,” seongje menggesturkan tanda silang dengan kedua tangannya, “kita gak akan pernah ketemu satu sama lain lagi.”
Chapter Text
Disinilah mereka sekarang. Seongje dengan wajah sok polosnya duduk di sofa, memerhatikan hyuntak yang sedari tadi mondar-mandir di depannya membereskan kos. Kepalanya terus mengikuti kemana hyuntak pergi.
Hyuntak terus menggerutu. Dia mengerjakan semuanya dengan emosi yang sudah diujung tanduk. Menyenggol ini itu, menjatuhkan ini itu, semuanya serba bikin jengkel. Hyuntak seperti ingin menangis. Oh, tapi seongje tidak akan pernah melihatnya menangis. Tidak akan. Hyuntak terus membereskan kosnya, mengabaikan keberadaan seongje sepenuhnya. Seselesainya hyuntak dengan segala kehebohannya itu dia juga masih tidak melihat ke arah seongje yang malah asik bermain dengan ponselnya. Dia langsung mandi dan menuju kasurnya. Menarik selimutnya sampai ujung kepala.
Pagi itu seongje duluan terbangun. Karena suara ponsel yang jelas bukan dari miliknya karena baterainya habis. Seongje dengan hati-hati mengecek ke atas nakas dimana itu tepat di sebelah hyuntak tidur sekarang.
Ponsel itu terus berbunyi, tertulis “sabam Jang” pada layar ponsel yang menyala. Seongje menebak ini urusan taekwondonya yang mungkin mendesak. Sambil merunduk, Seongje menepuk bahu hyuntak sambil memanggil namanya pelan. Namun hyuntak malah memukul tangannya, mengusirnya.
“Ini nelfon mulu, sabam jang,” seongje protes, “takutnya penting.” seongje terus menepuk-nepuk pundak hyuntak.
“Sabam jang!” hyuntak membuka matanya, menjerit saat melihat wajah seongje benar-benar di atasnya. Jantungnya berdebar. “Muka lu jumpscare anjing.” hyuntak melempar bantal ke wajah seongje.
Hyuntak langsung meraih ponselnya sementara seongje membawa bantal itu ke sofa dan membawa bantal hasil lemparan itu ke sofa. Hyuntak mengangkat telfon itu di balkon. Selesai menelfon hyuntak terlihat buru-buru ke kamar mandi. Sementara seongje, mulutnya sudah membuka dan menutup karena ingin mengucapkan sesuatu tapi terus gagal karena hyuntak benar-benar terlihat buru-buru dan tidak enak jika menyela.
Maka seongje memilih menunggu sambil menyalakan TV. Dia menunggu hyuntak keluar dari kamar mandi dan setelah itu dia akan bicara pada hyuntak.
Begitu hyuntak selesai mandi, seongje sudah beraada di depan pintu kamar mandi. Hyuntak lagi-lagi menjerit.
“Minggir! Gua buru-buru!”
Seongje menahannya di tempat dengan memegang kedua lengan seongje. Sehingga mereka berada di ambang pintu kamar mandi, hyuntak di dalam dan seongje di luar. “Gua mau pinjem charger. Lu type-c bukan?”
Hyuntak melepas paksa cengkraman kuat di lengannya. “Yaudah gak usah sampe kaya gini, jir!” hyuntak bergegas keluar dari kamar mandi dengan penuh amarah, sampai menyenggol pundak seongje dengan pundaknya saat melakukannya.
Hyuntak seperti tidak langsung mengindahkan permintaan seongje. Dia malah pergi ke lemari dan memakai bajunya dengan cepat. Seongje pun mengekor kemanapun hyuntak berjalan agar hyuntak segera meminjamkannya charger type-c itu. Tapi hyuntak seperti tidak memperdulikannya karena dia terus mengumpulkan barang-barang yang kemudian dimasukkan ke dalam ranselnya.
Tiba-tiba hyuntak berbalik badan menghadap seongje dengan wajah putus asanya.
“Udah ya, lu kan janji hari ini minggat. Gua ada urusan dari pagi jadi lu juga harus keluar sekarang!” hyuntak memaksa.
“Yah, HP gua batrenya abis, tak. Nge-cas dulu barang sejam, deh. Gua gabisa ngapa-ngapain kalo HP gak nyala. Abis itu gua cabut.” seongje dengan sadar mengeluh pada si pemilik kamar kos. Seongje sadar dia seperti tidak tau malu, tapi hyuntak juga terlalu kejam.
“Lu kan bisa sewa power bank tuh di luar. Dari kemaren juga lu gemana nge-casnya?”
“Ya kemaren-kemaren kan masih ada duit.” seongje tiba-tiba menundukkan kepalanya.
Hyuntak tidak mau membuat perasaannya menang kali ini.
“Gua gak peduli lagi ya, je. Pokoknya lu keluar sekarang!” hyuntak meraih jaket seongje yang tergeletak sembarangan di lantai dan melemparnya ke dada seongje. “Gua juga gak akan percayain kos gua sama lu!”
Hyuntak berjalan keluar kos, hentakan kakinya keras. Seongje mengejarnya. “Tak, please. Gue bener-bener gak tau abis ini harus ngapain, kemana.”
“Gua bilang itu bukan urusan gue. Gue ini cuma orang baik yang mau nolong lu,” saat mereka berdua sudah berdiri di luar pintu kamar dan hyuntak telah mengunci pintunya, dia menghadap seongje yang dengan wajah melasnya itu, “gue bukan orangtua lu. Gue bukan pacar lu, je. Lu paham gak?”
Hyuntak pergi meninggkan seongje yang masih berdiri di depan pintu dengan jaket dan ponsel yang dia peluk erat di tangannya. Hyuntak benar-benar berharap hari ini seongje enyah dari hidupnya.
***
Sore yang melelahkan untuk Hyuntak. Dari mulai pagi yang terlalu cepat sampai sore yang penuh teriakan dan tangisan. Dia berlatih dari pagi sampai siang dan disambung dengan mengajar anak-anak SD. Namun, semua itu terbayarkan–secara harfiah–karena ini hari gajian! Selain itu, para orangtua juga memberikan dia kue dan segala macam hadiah. Humin menggodanya dengan bilang “lu cakep sih.” sambil membandingkan jumlah hadiah yang dia dapat dengan milik hyuntak yang jumlahnya hanya beda 1. Hyuntak membantah karena dia yakin selama ini dia berhasil membimbing anak-anak-anak itu dengan baik.
Hyuntak pulang dengan suasana hati yang baik. Dia bisa membayar tagihan kos, listrik, belanja bulanan, beli daging merah. Dia akan melakukan itu semua di akhir pekan. Untuk sementara dia hanya pergi ke restoran ayam goreng dan membelinya untuk dimakan di rumah. Dia sudah merindukan ayam goreng milik ayahnya Humin.
Sesampainya di kos, hyuntak langsung membagikan beberapa makanan yang dia dapat dari orangtua tadi ke para tetangga lantai bawah. Dia pikir dia tidak akan bisa menghabiskannya sendirian dan jika dia terus simpan bisa-bisa keburu basi. Karena beberapa berupa roti-rotian yang mudah sekali berjamur. Dia menyisakan 1 roll cake vanilla favoritnya.
Begitu dia memasuki kamarnya dia langsung merasakan sesuatu yang aneh. Entah kenapa rasanya kosnya lebih kosong. Padahal semua barang masih pada posisinya, dia juga tidak banyak membuang furniture selain lemari buku yang sudah rusak. Itu juga sudah seminggu yang lalu. Hyuntak mengabaikannya.
Dia membereskan kosnya yang masih berantakan karena pagi yang terburu-buru itu. Melipat selimut, mengumpulkan bantal yang tersebar, menyapu lantai, mengepel, dia juga memilah baju kotor dari keranjang baju untuk dicuci. Hyuntak bersumpah suasana hatinya sedang baik. Tetapi melihat sepasang baju yang dipinjam seongje kemarin berada di dalam keranjang baju kotor dan tidak langsung seongje masukkan ke mesin cuci membuat perasaannya campur aduk. Hyuntak mencoba mengabaikan perasaan itu dengan melempar kaos dan celana itu ke dalam mesin cuci.
Selagi menunggu cucian, hyuntak duduk di depan TV dan memakan ayam gorengnya. Sesulit apapun hyuntak mencoba mengabaikan perasaan yang mengganjal di hatinya, dia masih tidak bisa mengabaikan itu. Bahkan acara TV-nya menjadi terabaikan. Ayam gorengnya menjadi tidak seenak itu di lidahnya. Hyuntak tidak mengerti apa yang terjadi padanya.
Apakah dia merasa rindu? Tapi itu hanya dua hari. Mana mungkin dia rindu semudah ini dengan orang yang bahkan tidak seperti bagaimana dulu dia mengenalnya.
Apakah dia khawatir? Tapi seongje sudah terbiasa hidup diluar. Bagaimanapun caranya, seongje pasti tetap hidup, kan?
Atau, apakah dia hanya kesepian dan seongje datang dengan tiba-tiba untuk mengisi kesepian itu? Ah, tidak mungkin. Pikir hyuntak. Tidak mungkin mereka ditakdirkan untuk bersama lagi. Iya kan?
Hyuntak membenci pikirannya sendiri. Karena itu ayam gorengnya tidak dia habiskan dan dia simpan saja di dalam kulkas untuk dia panaskan besok. Dia mencoba menyibukkan diri. Melakukan apapun untuk menghilangkan seongje dari pikirannya. Dia bahkan sampai membersihkan rak piring hanya untuk menunggu cucian yang belum selesai.
Hyuntak menjemur baju-bajunya di balkon. Malam itu sejuk. Sepertinya musim kemarau segera datang. Pohon maple di seberang jalan kosnya juga mulai menunjukkan tanda-tanda meranggas. Entah kenapa instingnya membawanya ke pinggir balkon dan melihat kebawah.
Apa yang dia lihat di bawah benar-benar di luar dugaannya. Pucuk kepala itu. Asap rokok yang mengepul dan jaket itu. Apa lagi yang dia mau?
Hyuntak segera mengambil langkah mundur dan segera menyelesaikan urusannya di balkon sebelum seongje menyadarinya. Tapi hyuntak melupakan satu hal, dia belum membuang sampah yang sudah menumpuk dari tiga hari lalu.
Hyuntak menunggu beberapa menit untuk memastikan seongje tidak lagi ada di bawah. Tiga kali dia mengecek dari balkonnya dan pucuk kepala itu masih terlihat. Sampai yang ke-empat, kepala itu akhirnya tidak terlihat. Tidak ada juga asap rokok yang mengepul. Maka hyuntak pun kebawah dengan membawa tiga kantong plastik sampah sesuai dengan jenis sampahnya
Dia melempar sampah itu masuk ke tempat sampah besar sesuai dengan jenisnya. Sukses, pikirnya. Namun seketika runtuh saat dia melihat bayangan bergerak di sampingnya. Benar saja,hyuntak dikecewakan dengan seongje yang sedang berjongkok di samping pintu masuk. Kedua mata itu menatapnya. Kapan dia ada di sana? Atau dia dari tadi di sana? Persetan. Hyuntak memilih masuk ke dalam dan meninggalkan seongje disana.
Saat berusaha untuk tidur, dia terus berguling di kasurnya. Ke kanan. Ke kiri. Sampai dia tidak merasa nyaman di balik selimutnya lagi dan memutuskan untuk pindah ke sofa. Tapi justru membuatnya makin tidak bisa tidur karena mengingat seongje kemarin tidur di sini. Dia pun pindah ke lantai. Tapi sangat dingin. Dia pindah lagi ke kasur. Dengan mata yang masih terbuka lebar, dia terlentang menghadap ke langit-langit kosnya. Tubuhnya terasa sangat lelah namun sampai jam 12 malam juga dia belum bisa tertidur. Dia benar-benar hanya ingin tidur.
Hyuntak membenamkan wajahnya ke bantal sambil berteriak.
***
Hyuntak menemui seongje dibawah. Dia yakin anak keras kepala ini pasti masih di bawah. Lebih baik menjadi orang baik dan membantu orang susah dari pada kesulitan tidur seperti orang gila.
“Masuk, je.” kata hyuntak sambil memalingkan wajahnya. Kedua tangannya di saku celananya karena angin malam yang benar-benar dingin. Melihat seongje yang hanya diam sambil melihat hyuntak dengan wajah melas. “Dingin.”
Dengan begitu hyuntak masuk ke dalam. Diikuti seongje yang berjalan sambil menguap. Entah kenapa setelah kembali ke kamar tubuh hyuntak seperti sudah tidak bisa menahan rasa kantuknya. Tubuhnya terasa lemas, matanya lima watt. Dia langsung melemparkan dirinya ke atas kasur dan seketika tertidur.
Di sisi lain seongje membuka jaketnya dan seperti biasa, tidur di sofa.
***
Seongje terbangun dengan suara minyak yang meletup-letup. Wangi margarin yang meleleh bercampur lada dan garam itu menguak dan merasuki kepala seongje. Dia lapar. Perutnya berbunyi.
Menghampiri hyuntak di dapur yang sedang menggoreng telur mata sapi, seongje tersenyum. Namun saat hyuntak meliriknya dengan wajah masam, senyumnya langsung menyusut.
“Bawa piringnya ke depan!” perintah hyuntak setelah dia meletakkan telur mata sapi ke tiap piring.
Seongje menurut. Dia duduk bersila di depan meja menunggu hyuntak datang. Begitu hyuntak datang, dituangnya saos tomat di tiap piring. Kemudian hyuntak duduk bersila bersebrangan dengan seongje. Dia juga langsung menyantapnya.
Awalnya hening. Hanya suara sendok yang bergesekkan dengan piring keramik dan kunyahan pelan dari mulut mereka. Sampai akhirnya hyuntak buka suara.
“Inget ya je, gue begini bukan karena apa. Gue kasian aja sama lu.”
“Iya, tau.”
“Yaudah.”
“Yaudah kenapa?”
“Lu boleh tinggal disini sampe lu dapet kerjaan. Tapi lu harus dapet kerjaan ya!” ancam hyuntak sambil menunjuk-nunjuk seongje.
Mata seongje berbinar, seakan-akan dia sedang melihat bintang. Benar, masa depan yang indah.
“Janji?” hyuntak mengangkat jari kelingkingnya.
“Janji.” seongje mengaitkan jari kelingngnya ke jari kelingking hyuntak, tersenyum sumringah.
“Dan lu harus nurut sama semua perintah gue karena gue yang bayar sewa sama listrik.”
Seongje mengangguk sambil mengambil satu suapan nasi dan telur.
“Gue bakal pinjemin lu baju. Tapi,” hyuntak menunjuk ke arah dapur, “lu cuci sendiri baju lu, Cuci piring sama gelas tiap abis makan, sapu-pel lantai tiap pagi soalnya gue sibuk kalo pagi. Sofa tiap abis tidur juga lu beresin sendiri. Dan lu harus cari kerjaan! Liat aja gua bakal pantau lu tiap hari.”
Seongje hanya mengangguk-anggukkan kepalanya sambil terus tersenyum.
“Hari ini gue ada sparring. Lu jaga kos.”
“Gue boleh ikut gak? Mau deh liat lu main lagi.”
“Gak ada ya, jing!” hyuntak melayangkan kepalannya, namun dia tahan sebelum benar-benar mendarat di wajah seongje, “Yang ada lu malah jadi pertanyaan semua orang.”
Seongje meringis, menundukkan kepala sambil memejamkan mata. Dia membuka matanya kembali saat merasa tidak ada pergerakan.
“Nanti gue pinjemin laptop. Buat lu cari kerjaan jangan nonton bokep!”
“Iya, iya..”
“Sama charger hp.”
Seketika sinar di matanya timbul lagi.
Begitu selesai makan, mereka berdua mencuci piring secara bergantian di dapur. Pertama hyuntak yang mencuci piring sambil memberikan seongje tutorial seperti menggunakan spons dan sabun yang mana, sebesar apa air yang boleh digunakan, menaruh piring basah dimana, sendok basah dimana, lalu kalau kering dimana, sampah makanan dibuang dimana, dan tidak berhenti disana.
Pagi itu di hari sabtu hyuntak sibuk dengan mengajari seongje tentang berbagai sudut kosnya. Seongje hanya manggut-manggut dan percaya semua itu tersimpan di otaknya. Padahal begitu hyuntak bilang “paham?” dengan nada yanga agak kasar, seongje langsung melupakannya.
Nanti juga paham. Awalnya pasti salah, kan? Pikir seongje.
Hyuntak memberikan laptopnya pada seongje sebelum berangkat.
“Passwordnya,” aduh, belom di ganti. “Satu-dua-satu-dua-dua-kosong-satu-sembilan.”
“Hah? Tanggal jadian kita?” seongje tersenyum.
“Lu diem!” hyuntak sudah mengepal kedua tangannya, siap mendaratkannya di seluruh tubuh seongje kapanpun. Tapi untungnya dia tidak ada waktu untuk itu. “Gua cabut. Gua udah buka blokiran, kalo ada apa-apa telfon aja langsung. Dan jangan sekali-sekali sentuh kompor sama kasur gua!”
Setelah yakin untuk meninggalkan seongje sendirian di kosnya, hyuntak pergi dengan tergesa-gesa. Berharap dia tidak akan terlambat karena tempatnya lebih jauh dari tempat mengajarnya. Dia juga berharap seongje tidak menghancurkan kosnya dan mengingat semuanya yang telah dia ajarkan.
Notes:
lesson learn: jangan terlalu baik nanti kaya hyuntak. chapter ini bakal jadi awal DA REAL domestic seongtak. aww. penulis sendiri senyam-senyum nulisnya.
please leave a kudos and share your thoughts in the comments! hope u enjoy!
paletteofbeing on Chapter 1 Mon 22 Sep 2025 02:42PM UTC
Comment Actions
unikoo on Chapter 1 Tue 23 Sep 2025 02:17AM UTC
Comment Actions
Vanillabluez4 on Chapter 1 Wed 24 Sep 2025 02:34PM UTC
Comment Actions
unikoo on Chapter 1 Thu 25 Sep 2025 07:44AM UTC
Comment Actions